BEBERAPA orang suku Bali menggali dan mempelajari kesenian Lampung. Mereka melakukan penelitian ke berbagai pelosok untuk mempelajari seni dan budaya Lampung. Hasilnya, kesenian Lampung pun berkembang dan dikenal berkat sentuhan orang Lampung yang beretnis Bali.
I Wayan Mustika memperoleh gelar magister dan doktor dari Universitas Gadjah Mada (UGM) berkat penelitiannya soal seni pertunjukan di Lampung. Wayan menjadi doktor pertama yang khusus meneliti soal kesenian Lampung. Anak transmigrasi asal Bali ini kini menjadi pengajar di Pendidikan Seni Tari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung.
Selama tujuh tahun Wayan melakukan penelitian ke desa-desa di Lampung Barat dan Tulangbawang. Ia mewawancarai puluhan orang Lampung untuk menggali soal seni pertunjukan, khususnya seni sakura dan tari bedayu.
Berkat penelitiannya panjangnya, tari bedayu asal Tulangbawang yang hampir punah berhasil direkonstruksi kembali dan menjadi tarian tradisional Lampung. Tarian ini menyimbolkan pemujaan, permohonan mengusir penyakit, mengharapkan kesejahteraan, keselamatan, dan hasil panen yang berlimpah. ?Tari bedayu ini menjadi tarian sakral yang di pura-pura di Lampung. Tarian ini ditetapkan oleh PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Lampung menjadi pengiring upacara di pura,? kata dia.
Kini, Wayan sudah menulis empat buku tentang kesenian Lampung. Keempat judul buku itu adalah Mengenal Tari Budaya Tulangbawang Sebagai Sebuah Seni Pertunjukan, Mengenal Sekilas Budaya Lampung dan Seni Pertunjukan Tradisionalnya, Tari Muli Siger, dan Teknik Tari Lampung Sebagai Pembelajaran. Buku yang terbit rentang 2009 hingga 2012 ini menambah referensi soal kesenian Lampung yang saat ini sangat jarang ditulis dan diterbitkan.
Wayan tiba di Lampung pada usia 5 tahun bersama ayahnya yang ikut dalam program transmigrasi. Saat itu, pria kelahiran Bali pada 1975 itu tinggal di Seputihbanyak, Lampung Tengah. Meskipun beretnis Bali, Wayan punya rasa tanggung jawab moral untuk meneliti soal kesenian Lampung yang kini sudah menjadi daerahnya.
?Saya orang Lampung dan punya kewajiban untuk meneliti soal kesenian Lampung. Referensi soal kesenian Lampung masih sangat sedikit dan ini menjadi tantangan untuk terus melakukan penelitian lebih jauh,? kata dia.
Ketika melakukan penelitian soal seni dan budaya Lampung, guru besar dan dosen yang membimbingnya mengusulkan agar Wayan memilih kesenian daerah lain yang banyak referensi, Bali atau Jawa. Namun, Wayan tidak menyerah dan terus melakukan penelitian hingga sukses menyabet gelar doktor.
Seniman asal Bali lainnya, I Wayan Sumerta Dana Arta, punya andil besar dalam mengenalkan dan mengangkat cetik atau gamolan. Wayanlah yang menjadi penemu nada alat musik khas Lampung yang terbuat dari bilah bambu ini.
Pria 41 tahun ini mengajarkan cetik ke sekolah-sekolah. Dia pun menggali kesenian Lampung dan mengajarkannya pada orang Bali yang sekarang tinggal dan sudah menjadi warga Lampung. Kini, sekolah-sekolah di Bandar Lampung menjadikan cetik salah satu materi muatan lokal.
Wayan pun mendapat anugrah Mahakarya Kebudayaan dari Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) tahun 2011 atas kerja kerasnya menemukan laras pelog enam nada pada cetik. Dia bersama seniman tradisi Lampung lainnya menjadi jaura dalam Festival Seni Tradisional Nusantara di Yogyakarta pada 2012.
Wayan berencana mengadakan syukuran di Desa Balinuraga, Lampung Selatan, atas kemenangan lomba di Yogyakarta. Namun, rencana itu belum sempat terealisasi sampai tragedi Balinuraga pecah, Oktober tahun lalu. Pemuda dan remaja di Balinuraga juga dididik untuk mempelajari kesenian Lampung. Beberapa remaja Balinuraga pun tampil dalam lomba di Yogyakarta membawakan kesenian musik dan tari Lampung.
Beberapa seniman lain pun mengajarkan seni tradisi Lampung di sanggar masing-masing. Seniman lain, I Gusti Nyoman Arsana, lewat Sanggar Kertibuana juga mengajarkan seni tradisi Lampung. Pada berbagai kesempatan lomba di yang diabawakan bukan kesenian Bali, melainkan Lampung. ?Saya sudah menjadi orang Lampung sehingga harus menampilkan kesenian Lampung. Aneh dan lucu jika saya malah menampilkan kesenian Bali,? kata pria yang kini bekerja sebagai PNS di Taman Budaya Lampung ini.
Nyoman Arsana memasukkan tari dan sastra lisan Lampung dalam pertunjukan yang ia gelar. Bahkan, dia belajar langsung bagaimana berdendang seperti orang Lampung yang membawakan sastra lisan, seperti wawancan, bubandung, dan muwaya. Nyoman sendiri yang berdendang langsung memakai bahasa Lampung untuk melangkapi pertunjukan.
Selain itu, ada Nyoman Mulyawan yang menciptakan tari bala (Bali-Lampung). Tarian ini adalah perpaduan antara kesenian Bali dan Lampung. Musik yang mengiringi pun memadukan alat dari Lampung dan Bali.
Wayan Mustika menceritakan tari bala menjadi primadona tarian di Lampung tahun 1995?1997. Tidak hanya dipentaskan di Lampung, tapi juga dibawakan hingga ke tingkat nasional dan luar negeri. Ketika gubernur kunjungan ke luar daerah, yang diperkenalkan adalah tari bala.
?Tarian ini menjadi pengisi acara pemerintahan dan untuk menyambut tamu. Tari inilah yang menggambarkan bagaimana akulturasi budaya menjadi pertunjukan yang indah,? kata Wayan yang dahulu sempat menjadi penari tarian ini. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Maret 2013
I Wayan Mustika memperoleh gelar magister dan doktor dari Universitas Gadjah Mada (UGM) berkat penelitiannya soal seni pertunjukan di Lampung. Wayan menjadi doktor pertama yang khusus meneliti soal kesenian Lampung. Anak transmigrasi asal Bali ini kini menjadi pengajar di Pendidikan Seni Tari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung.
Selama tujuh tahun Wayan melakukan penelitian ke desa-desa di Lampung Barat dan Tulangbawang. Ia mewawancarai puluhan orang Lampung untuk menggali soal seni pertunjukan, khususnya seni sakura dan tari bedayu.
Berkat penelitiannya panjangnya, tari bedayu asal Tulangbawang yang hampir punah berhasil direkonstruksi kembali dan menjadi tarian tradisional Lampung. Tarian ini menyimbolkan pemujaan, permohonan mengusir penyakit, mengharapkan kesejahteraan, keselamatan, dan hasil panen yang berlimpah. ?Tari bedayu ini menjadi tarian sakral yang di pura-pura di Lampung. Tarian ini ditetapkan oleh PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Lampung menjadi pengiring upacara di pura,? kata dia.
Kini, Wayan sudah menulis empat buku tentang kesenian Lampung. Keempat judul buku itu adalah Mengenal Tari Budaya Tulangbawang Sebagai Sebuah Seni Pertunjukan, Mengenal Sekilas Budaya Lampung dan Seni Pertunjukan Tradisionalnya, Tari Muli Siger, dan Teknik Tari Lampung Sebagai Pembelajaran. Buku yang terbit rentang 2009 hingga 2012 ini menambah referensi soal kesenian Lampung yang saat ini sangat jarang ditulis dan diterbitkan.
Wayan tiba di Lampung pada usia 5 tahun bersama ayahnya yang ikut dalam program transmigrasi. Saat itu, pria kelahiran Bali pada 1975 itu tinggal di Seputihbanyak, Lampung Tengah. Meskipun beretnis Bali, Wayan punya rasa tanggung jawab moral untuk meneliti soal kesenian Lampung yang kini sudah menjadi daerahnya.
?Saya orang Lampung dan punya kewajiban untuk meneliti soal kesenian Lampung. Referensi soal kesenian Lampung masih sangat sedikit dan ini menjadi tantangan untuk terus melakukan penelitian lebih jauh,? kata dia.
Ketika melakukan penelitian soal seni dan budaya Lampung, guru besar dan dosen yang membimbingnya mengusulkan agar Wayan memilih kesenian daerah lain yang banyak referensi, Bali atau Jawa. Namun, Wayan tidak menyerah dan terus melakukan penelitian hingga sukses menyabet gelar doktor.
Seniman asal Bali lainnya, I Wayan Sumerta Dana Arta, punya andil besar dalam mengenalkan dan mengangkat cetik atau gamolan. Wayanlah yang menjadi penemu nada alat musik khas Lampung yang terbuat dari bilah bambu ini.
Pria 41 tahun ini mengajarkan cetik ke sekolah-sekolah. Dia pun menggali kesenian Lampung dan mengajarkannya pada orang Bali yang sekarang tinggal dan sudah menjadi warga Lampung. Kini, sekolah-sekolah di Bandar Lampung menjadikan cetik salah satu materi muatan lokal.
Wayan pun mendapat anugrah Mahakarya Kebudayaan dari Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) tahun 2011 atas kerja kerasnya menemukan laras pelog enam nada pada cetik. Dia bersama seniman tradisi Lampung lainnya menjadi jaura dalam Festival Seni Tradisional Nusantara di Yogyakarta pada 2012.
Wayan berencana mengadakan syukuran di Desa Balinuraga, Lampung Selatan, atas kemenangan lomba di Yogyakarta. Namun, rencana itu belum sempat terealisasi sampai tragedi Balinuraga pecah, Oktober tahun lalu. Pemuda dan remaja di Balinuraga juga dididik untuk mempelajari kesenian Lampung. Beberapa remaja Balinuraga pun tampil dalam lomba di Yogyakarta membawakan kesenian musik dan tari Lampung.
Beberapa seniman lain pun mengajarkan seni tradisi Lampung di sanggar masing-masing. Seniman lain, I Gusti Nyoman Arsana, lewat Sanggar Kertibuana juga mengajarkan seni tradisi Lampung. Pada berbagai kesempatan lomba di yang diabawakan bukan kesenian Bali, melainkan Lampung. ?Saya sudah menjadi orang Lampung sehingga harus menampilkan kesenian Lampung. Aneh dan lucu jika saya malah menampilkan kesenian Bali,? kata pria yang kini bekerja sebagai PNS di Taman Budaya Lampung ini.
Nyoman Arsana memasukkan tari dan sastra lisan Lampung dalam pertunjukan yang ia gelar. Bahkan, dia belajar langsung bagaimana berdendang seperti orang Lampung yang membawakan sastra lisan, seperti wawancan, bubandung, dan muwaya. Nyoman sendiri yang berdendang langsung memakai bahasa Lampung untuk melangkapi pertunjukan.
Selain itu, ada Nyoman Mulyawan yang menciptakan tari bala (Bali-Lampung). Tarian ini adalah perpaduan antara kesenian Bali dan Lampung. Musik yang mengiringi pun memadukan alat dari Lampung dan Bali.
Wayan Mustika menceritakan tari bala menjadi primadona tarian di Lampung tahun 1995?1997. Tidak hanya dipentaskan di Lampung, tapi juga dibawakan hingga ke tingkat nasional dan luar negeri. Ketika gubernur kunjungan ke luar daerah, yang diperkenalkan adalah tari bala.
?Tarian ini menjadi pengisi acara pemerintahan dan untuk menyambut tamu. Tari inilah yang menggambarkan bagaimana akulturasi budaya menjadi pertunjukan yang indah,? kata Wayan yang dahulu sempat menjadi penari tarian ini. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Maret 2013
Budaya dan tradisi adalah akar dari dari keberhasilan, bayangkan kalau Bali tidak menjaga adat dan tradisi? Mungkin setelah kemerdekaan para bule gk ada yg datang kebali, tapi Bali kuat dengan gempuran budaya asing
ReplyDelete