Oleh Karina Lin
Lampung Post, 29 Mei 2013 lalu memuat opini Mengkaji Lampung secara Komprehensif, ditulis Parjiono. Jujur, tulisan tersebut membuat kening saya berkerut antara tanda bingung dan tidak setuju. Mengapa?
Parjiono dalam awal paragrafnya menulis demikian; membaca opini Andry Saputra (Lampost, 11/5/2013) berjudul Horison Lampung untuk Kaum Muda, sebelumnya opini Darojat Gustian Syafaat (Lampost, 24/4/2013) yang berjudul Menyegarkan (Kembali) Rumusan Kelampungan dan Hardi Hamzah (Lampost, 5/5/2013) berjudul Obsesi Punahnya Lampung?, tampaknya ketiga penulis tersebut belum secara komprehensif mengulas buku Udo Z. Karzi.
Lampung Post, 29 Mei 2013 lalu memuat opini Mengkaji Lampung secara Komprehensif, ditulis Parjiono. Jujur, tulisan tersebut membuat kening saya berkerut antara tanda bingung dan tidak setuju. Mengapa?
Parjiono dalam awal paragrafnya menulis demikian; membaca opini Andry Saputra (Lampost, 11/5/2013) berjudul Horison Lampung untuk Kaum Muda, sebelumnya opini Darojat Gustian Syafaat (Lampost, 24/4/2013) yang berjudul Menyegarkan (Kembali) Rumusan Kelampungan dan Hardi Hamzah (Lampost, 5/5/2013) berjudul Obsesi Punahnya Lampung?, tampaknya ketiga penulis tersebut belum secara komprehensif mengulas buku Udo Z. Karzi.