October 6, 2013

[Buku] ‘Bibliosida’ dan Kita


TAHUN 1258 atau tepatnya dimulai sejak 15 November 1257, kata Fernando Baez dalam Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (2013: 118-122), Hulagu Khan, cucu Genghis Khan, serta balatentara Mongol mengaramkan Bagdad dalam merahnya darah dan hitamnya tinta. Sejarah pun bertutur ihwal mayat-mayat korban pembunuhan balatentara beringas yang menyesaki dan membuat macet jejalanan kota. Juga tentang ribuan judul buku yang dijarah dan konon berhasil menghitamkan warna Sungai Tigris.

Setahun sebelumnya, 1256, pasukan Mongol pun telah menghancurkan satu setengah juta buku koleksi perpustakaan Ismailiyah di Alamut (kawasan Selatan Laut Kaspia). Kekejian yang dilanjutkan Timurleng pada 1393, keturunan Genghis Khan lainnya, dengan menyerbu kembali Bagdad dan Suriah serta menghancurkan semua buku yang mereka temukan.


Kebengisan ala Genghis Khan dan keturunannya di atas kembali berulang pada 12 April 2003. Museum Arkeologi Bagdad dijarah dan dibumihanguskan secara sistematis oleh geng-geng yang menenteng AK-47 dan mengangkut sebagian jarahannya tersebut ke Kuwait, Damaskus, Roma, London, New York, atau Berlin untuk ditadah para kolektor yang siap membelinya dengan harga tinggi.

“Vandalisme profesional” tersebut, begitu Fernando Baez (2013: 1-6) mengistilahkan, terjadi akibat penelantaran dan ketidakacuhan pasukan Amerika Serikat yang tengah menduduki Bagdad untuk melindunginya. Dan, pada 14 April 2003, sekira sejuta buku koleksi Perpustakaan Nasional juga dibakar. Sejumlah perpustakaan dan museum lain di Basra dan Mosul pun menerima nasib serupa. 

Kisah “pembantaian buku”— sebagai terjemahan dari dua istilah yang populer dalam kajian sejarah penghancuran buku: “bibliosida” dan “librisida”—yang saya cuplik dari karya Fernando Baez di atas tentu saja sekadar dua contoh ekstrem bagaimana warisan paling berharga umat manusia dirusak dan dilenyapkan oleh kebengisan manusia. Sebab, selain tragedi yang terjadi di Irak tujuh abad lalu maupun yang baru terjadi satu dekade lampau saat tentara Amerika Serikat melakukan invasi ke negeri 1001 malam itu, pakar perbukuan berkebangsaan Venezuela tersebut juga mengungkai sejarah kelam bibliosida-librisida sejak 5.300 tahun lalu—saat buku pertama kali hadir di wilayah Sumeria, Mesopotamia (dulu), atau Irak selatan (kini)—sampai zaman modern yang wujudnya diwakili amuk fasisme, aneka sensor, maupun kebencian etno-religius.

Wajarlah saat penulis kondang Umberto Eco menulis dalam endorsement-nya: “membacanya membikin merinding”.

Yang tak kurang berharganya dari karya kepala Perpustakaan Nasional Venezuela dan penasihat UNESCO yang di-persona nongrata-kan rezim Amerika Serikat ini—akibat analisisnya atas dosa-dosa AS di Irak—adalah simpul analisisnya bahwa dalam sejarah panjang penghancuran buku, para pelaku bibliosida-librisida tersebut adalah justru masyarakat terdidik atau kaum literasi yang seharusnya memuliakan dan merawatnya. Hal yang tentu saja mengherankan bagi kita. Sama mengherankannya bagi Fernando Baez saat menyaksikan penjarahan besar-besaran di Irak pada 2013 lalu sembari berujar masygul: “mengapa pembunuhan ingatan ini terjadi justru di tempat lahirnya buku?”   

***

Praktik bibliosida-librisida seperti yang diteliti Fernando Baez boleh jadi kini kian jarang terjadi. Ironisnya, merujuk Khaled Abou El-Fadl, tragedi “pembantaian buku” seolah terus berulang dengan wajah berbeda dan modus yang tak kalah lebih canggih. Sebab, jika di masa lalu pembantaian buku hanya dilakukan dengan membakar, menghanyutkan, atau menenggelamkannya ke palung-palung sungai; di masa kini, penghancuran tersebut bisa berbentuk pengeditan diam-diam sebuah buku atau melarangnya beredar di tengah masyarakat.

Hasilnya, menurut Abou El-Fadl dalam Musyawarah Buku: Menelusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab (2002: 123-126), buku Fatawa dan al-Jawab al-Shahih li man Baddala Diin al-Masiih karya Ibn Taymiyah yang kini beredar adalah edisi yang telah disensor. Pun buku Bihar al-Anwar yang beredar sebenarnya tanpa tiga jilid lain yang dianggap melawan arus-utama ortodoksi.

Tak boleh dialpakan, “penyuntingan semena-mena” sebenarnya juga menimpa tafsir masyhur The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary karya Abdullah Yusuf Ali. Berbeda dari teks aslinya, edisi-edisi yang belakangan diterbitkan Amana Corporation/IIIT atau Ifta/King Fahd Holy Qur’an Printing Complex, misalnya, adalah “versi baru” tanpa disertai beberapa apendiks serta penafsiran dengan perspektif tradisi mistisisme Islam. Hal yang, seperti direkam dengan baik oleh M.A. Sherif dalam biografi Yusuf Ali yang ditulisnya (Jiwa yang Resah, 1997), disesalkan banyak kalangan.  

Ancaman bibliosida-librisida “terselubung” sesungguhnya juga tampil dalam wujud gempuran dunia elektronik yang merampas perhatian masyarakat modern dan meminggirkan kepedulian mereka atas dunia literasi. Novel Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken-nya Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup (2006) saya kira telah merangkum dengan baik kecenderungan tersebut.

Selain itu, nasib buku dan tradisi keberaksaraan serta keluasan erudisi intelektual kita juga tengah menghadapi ancaman lain berupa “vokasionalisme baru” (new vocationalism): suatu konsepsi utilitarian dari institusi-institusi pendidikan yang hanya memberhalakan keterampilan teknis. Sebuah tendensi yang akhirnya hanya menghasilkan, apa yang disebut Frank Furedi, “the cult of philistinism”: kultus atau pemujaan berlebihan pada “budaya kedangkalan” akibat pemuliaan ekstrem pada interes-interes yang melulu material-praktis dan sepertinya memang sedang bersimaharajalela di sini (Latif: 2009).

Begitulah. Institusi pendidikan kita mengalami penurunan gairah intelektual akibat terlalu dominannya etos manajerialisme dan instrumentalisme: suatu etos yang menghargai segala hal sejauh bisa melayani preferensi-preferensi praktis-ekonomis. Dan buku, salah satu artefak kebudayaan yang tak selamanya bisa ditakar dengan standar-standar ekonomis itu, akhirnya terasing dan dianggap tidak (terlalu) penting.

***

Akhirnya, sekuplet sajak Joko Pinurbo berjudul Buku berikut ini tampaknya tepat menutup tulisan ini:
Hadiah terindah yang kudapat dari buku adalah ingatan:/
pacar terakhir yang selalu membujukku agar tidak/
mudah mati dalam kehidupan, hidup dalam kematian.
n

Damanhuri, dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Intan Lampung
    
Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Oktober 2013

1 comment:

  1. Di mana saya boleh memesan buku Kearifan lokal dan pembangunan daerah

    ReplyDelete