"KALAU memang harus menunggu kami para seniman ini mati, baru lagu-lagu Lampung bisa terkenal, kami siap. Kami terima itu sebagai risiko agar karya-karya kami dihargai," kata Entus Alrafi tanpa ekspresi.
Entus memang tak sedang berteori, tetapi ia mengaku ada kecenderungan seperti itu. Banyak lagu yang baru dikenal dan terkenal setelah penciptanya meninggal. "Bukan meninggalkan, tetapi meninggal dunia dalam arti sebenarnya. Lihat saja bagaimana perkembangan lagu-lagu Lampung saat ini," ujar Entus, mantan ketua Komite Musik Dewan Kesenian Lampung (DKL) ini.
Pemain perkusi sekaligus pencetus jazztik atau jazz cetik itu bersama beberapa rekannya tak pernah lelah mengenalkan lagu Lampung ke berbagai daerah. Termasuk dalam event-event festival, khususnya festival-festival musik etnik.
Beberapa festival terkenal, seperti NgayogJazz, Surabaya Jazz Festival, Bali Jazz, hingga Hitam Putih Jazz International di Pekanbaru beberapa waktu lalu, tak luput dari sasarannya untuk mengenalkan lagu-lagu Lampung.
Ia bahkan mengaransmen sejumlah lagu-lagu Lampung menjadi keroncong dan ikut serta dalam festival musik keroncong internasional di Solo beberapa tahun yang lalu. Dan ia mendapat apresiasi yang tinggi dari sejumlah seniman besar keroncong, seperti almarhum Gesang dan Waldjinah. "Tetapi, di Lampung sendiri, lagu Lampung seperti asing dan seperti tamu di rumahnya sendiri.”
Lagu-lagu Lampung yang digubahnya ke aliran keroncong sempat diputar sehari penuh saat peluncuran salah satu radio di Bandung. "Anda bayangkan bagaimana sambutan mereka terhadap musik Lampung. Tetapi lihat di Lampungnya. Bahkan ada tempat karaoke yang tidak menyediakan lagu-lagu Lampung. Padahal mereka cari uang di Lampung, tapi justru menghambat lagu daerahnya dinyanyikan. Padahal dengan menyediakan lagu Lampung tidak akan merugikan bisnis karaoke mereka.”
Demikian halnya, ketika komunitas Jazztik yang digagasnya ikut serta dalam Jakjazz Festival dan dinilai oleh komposer terkenal Dwiki Dharmawan sebagai sesuatu yang baru. Musik etnik itu dianggap out of the box dan terobosan musik jazz yang bernuansa etnik yang hebat. Dwiki Dharmawan bahkan berencana membawa komunitas Jazztik ke ASEAN Jazz Festival pada April mendatang.
Entus lagi-lagi hanya bisa tersenyum kecut ketika membandingkan keadaan cetik di tempatnya sendiri. Saat berada di Solo, ketika sedang mengikuti festival keroncong, lanjut dia, ia bahkan bertindak seperti pengamen. Ia masuk ke bus-bus dan membagi-bagikan keping cakram berisi lagu-lagu keroncong Lampung. Tujuannya, hanya agar lagu-lagu itu diputar di dalam bus dan didengar oleh para penumpang.
Entus yang justru bukan berdarah Lampung, tapi begitu mencintai lagu-lagu Lampung. Ia menuturkan lagu Lampung termasuk instrumen-instrumen musiknya adalah anugerah Tuhan kepada orang Lampung sebagai bagian dari sebuah tradisi luhur. "Lihat saja, cetik itu unik. Cetik itu tidak ada nada fa, ia hanya terdiri do re mi sol la si do, tapi alat itu bisa menciptakan begitu banyak lagu, dan alat musik cetik ini justru menjadi penanda yang membedakan alat-alat musik dari daerah lain.”
Selain cetik, ada pula gambus lunik, sebagai satu-satunya instrumen pengiring lagu-lagu yang klasik Lampung. "Dulu orang Lampung menciptakan lagu sambil duduk di kali, di kebon. Isi lagunya umumnya soal pengalaman hidup, penderitaan. Tetapi hebatnya sebagai pencipta, orang-orang dulu tak pernah mengharap nama mereka tertera sebagai pencipta,” kata dia.
Sejak 1978, Entus Alrafi sudah aktif berkesenian. Sejak pertama hingga kini, Entus konsisten mengembangkan musik-musik Lampung. Ia mengaku darah seninya mengalir dari orang tuanya yang juga seniman melayu terkenal di tahun ‘50-an yang aktif mentas dari panggung ke panggung.
"Ayah saya dulu penyanyi di orkes melayu. Dia dan grupnya terkenal di tahun ‘50-an, tidak hanya di Bandar Lampung, tapi di daerah lain,” kata dia. (MEZA SWASTIKA/DIAN WAHYU/M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 September 2013
Entus Alrafi |
Pemain perkusi sekaligus pencetus jazztik atau jazz cetik itu bersama beberapa rekannya tak pernah lelah mengenalkan lagu Lampung ke berbagai daerah. Termasuk dalam event-event festival, khususnya festival-festival musik etnik.
Beberapa festival terkenal, seperti NgayogJazz, Surabaya Jazz Festival, Bali Jazz, hingga Hitam Putih Jazz International di Pekanbaru beberapa waktu lalu, tak luput dari sasarannya untuk mengenalkan lagu-lagu Lampung.
Ia bahkan mengaransmen sejumlah lagu-lagu Lampung menjadi keroncong dan ikut serta dalam festival musik keroncong internasional di Solo beberapa tahun yang lalu. Dan ia mendapat apresiasi yang tinggi dari sejumlah seniman besar keroncong, seperti almarhum Gesang dan Waldjinah. "Tetapi, di Lampung sendiri, lagu Lampung seperti asing dan seperti tamu di rumahnya sendiri.”
Lagu-lagu Lampung yang digubahnya ke aliran keroncong sempat diputar sehari penuh saat peluncuran salah satu radio di Bandung. "Anda bayangkan bagaimana sambutan mereka terhadap musik Lampung. Tetapi lihat di Lampungnya. Bahkan ada tempat karaoke yang tidak menyediakan lagu-lagu Lampung. Padahal mereka cari uang di Lampung, tapi justru menghambat lagu daerahnya dinyanyikan. Padahal dengan menyediakan lagu Lampung tidak akan merugikan bisnis karaoke mereka.”
Demikian halnya, ketika komunitas Jazztik yang digagasnya ikut serta dalam Jakjazz Festival dan dinilai oleh komposer terkenal Dwiki Dharmawan sebagai sesuatu yang baru. Musik etnik itu dianggap out of the box dan terobosan musik jazz yang bernuansa etnik yang hebat. Dwiki Dharmawan bahkan berencana membawa komunitas Jazztik ke ASEAN Jazz Festival pada April mendatang.
Entus lagi-lagi hanya bisa tersenyum kecut ketika membandingkan keadaan cetik di tempatnya sendiri. Saat berada di Solo, ketika sedang mengikuti festival keroncong, lanjut dia, ia bahkan bertindak seperti pengamen. Ia masuk ke bus-bus dan membagi-bagikan keping cakram berisi lagu-lagu keroncong Lampung. Tujuannya, hanya agar lagu-lagu itu diputar di dalam bus dan didengar oleh para penumpang.
Entus yang justru bukan berdarah Lampung, tapi begitu mencintai lagu-lagu Lampung. Ia menuturkan lagu Lampung termasuk instrumen-instrumen musiknya adalah anugerah Tuhan kepada orang Lampung sebagai bagian dari sebuah tradisi luhur. "Lihat saja, cetik itu unik. Cetik itu tidak ada nada fa, ia hanya terdiri do re mi sol la si do, tapi alat itu bisa menciptakan begitu banyak lagu, dan alat musik cetik ini justru menjadi penanda yang membedakan alat-alat musik dari daerah lain.”
Selain cetik, ada pula gambus lunik, sebagai satu-satunya instrumen pengiring lagu-lagu yang klasik Lampung. "Dulu orang Lampung menciptakan lagu sambil duduk di kali, di kebon. Isi lagunya umumnya soal pengalaman hidup, penderitaan. Tetapi hebatnya sebagai pencipta, orang-orang dulu tak pernah mengharap nama mereka tertera sebagai pencipta,” kata dia.
Sejak 1978, Entus Alrafi sudah aktif berkesenian. Sejak pertama hingga kini, Entus konsisten mengembangkan musik-musik Lampung. Ia mengaku darah seninya mengalir dari orang tuanya yang juga seniman melayu terkenal di tahun ‘50-an yang aktif mentas dari panggung ke panggung.
"Ayah saya dulu penyanyi di orkes melayu. Dia dan grupnya terkenal di tahun ‘50-an, tidak hanya di Bandar Lampung, tapi di daerah lain,” kata dia. (MEZA SWASTIKA/DIAN WAHYU/M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 September 2013
No comments:
Post a Comment