September 10, 2013

Kepunahan Bahasa Lampung Tinggal Menunggu Waktu

Oleh Imron Nasri


TULISAN ini hanya sekadar mengingatkan bahwa kita --warga, masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan juga kalangan Pemerintah Provinsi Lampung--punya tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan bahasa-budaya Lampung. Senyampang peringatan Hari Aksara Internasional, 8 September kemarin, dan setelah membaca Tajuk Lampung Post, 12 Juli 2013, berjudul Kuburan Bahasa Lampung dan opini Chairul Anwar berjudul Jurusan Bahasa Lampung di Perguruan Tinggi (Lampung Post, 3 Agustus 2013).

Tanda-tanda kepunahan bahasa Lampung sudah mulai tampak. Orang Lampung saat ini sudah banyak yang tidak bisa berbahasa Lampung. Apalagi kalangan mudanya. Mereka lebih senang dan lebih bangga berbahasa Indonesia (dengan logat Betawi) dalam pergaulan sehari-hari. Ini, tidak hanya terjadi di kota, tetapi sudah merambah ke perdesaan di daerah-daerah di Lampung. Keluarga-keluarga muda di Lampung berkomunikasi dengan anak-anaknya lebih bangga dengan menggunakan bahasa Indonesia. Padahal kedua orang tuanya berasal dari kampung (pekon) yang sama. Yang lebih memprihatinkan lagi, perhatian pemerintah daerah terhadap keberadaan bahasa Lampung, sepertinya sudah mulai berkurang juga.


Betapa memprihatinkan dan menyedihkan kondisi bahasa Lampung sebagaimana ditulis tajuk Lampung Post: ?Contoh terbaru bagaimana kebijakan pemerintah di sektor pendidikan justru semakin memarginalkan bahasa Lampung adalah peniadaan kode sertifikasi guru Bahasa Lampung tahun ini. Kebijakan ini sangat mengancam keberadaan guru Bahasa Lampung. Secara perlahan-lahan dan diam-diam, guru Bahasa Lampung hendak disingkirkan begitu saja. Anehnya, Dinas Pendidikan di berbagai daerah di Lampung menyarankan agar guru Bahasa Lampung SD mengajukan sertifikasi sebagai guru SD dan bagi guru Bahasa Lampung SMP mengajukan sertifikasi sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Saran itu, justru mendorong peniadaan guru Bahasa Lampung dan bahkan peminggiran pelajaran Bahasa Lampung dari sekolah. Kalau anjuran ngawur ini dilaksanakan, maka semakin kacaulah pengajaran bahasa Lampung di Bumi Ruwa Jurai ini.

Sejauh ini, kita belum tahu bagaimana reaksi dan tanggapan dari pihak terkait. Terutama dari Dinas Pendidikan. Padahal kalau kita baca dari sisi perundang-undangan, sebenarnya sudah ada Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung.

Di dalam peraturan daerah tersebut, dalam Bab II, Bagian Kesatu, Pasal 2 dinyatakan bahwa ruang lingkup Pemeliharaan Kebudayaan Lampung mencakup aspek-aspek bahasa dan aksara Lampung, kesenian, kepurbakalaan dan pakaian daerah.

Dalam Pasal 7 secara tegas dikatakan bahasa dan aksara Lampung sebagai unsur kekayaan budaya wajib dikembangkan. Pasal 8 menyebutkan tujuh cara pelestarian bahasa dan atau aksara Lampung. Hanya beberapa dikutipkan di sini. Pertama, penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan pendidikan/belajar mengajar, forum pertemuan resmi pemerintahan daerah dan dalam kegiatan lembaga/badan usaha swasta serta organisasi kemasyarakatan di daerah.

Kedua, sosialisasi, pemberdayaan dan pemanfaatan media massa daerah, baik cetak maupun elektronik, maupun media lain untuk membuat rubrik/siaran yang berisi tentang bahasa dan aksara Lampung.

Ketiga, penyediaan bahan-bahan pengajaran untuk sekolah dan luar sekolah serta bahan-bahan bacaan untuk perpustakaan dan penyediaan fasilitas bagi kelompok-kelompok studi bahasa dan aksara Lampung.

Keempat, pengenalan dan pengajaran bahasa dan aksara Lampung mulai jenjang kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan yang diberlakukan di daerah, kondisi, dan keperluan.

Kelima, keharusan penggunaan bahasa Lampung sebagai: bahasa komunikasi sehari-hari baik dilingkungan keluarga atau pergaulan dan masyarakat, maupun di kantor-kantor atau sekolah-sekolah pada hari-hari tertentu sesuai dialek bahasa daerah masing-masing; Bahasa pembuka dalam penyampaian sambutan, baik oleh tokoh adat, tokoh masyarakat maupun pejabat pada acara-acara tertentu (yaitu ungkapan tabik pun).

Lalu, tentang peran dan kewajiban pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemeliharaan kebudayaan Lampung dinyatakan dalam Bab IV, Bagian Kesatu, Pasal 6 Ayat 1.

Kalau kita baca dari apa yang termuat dalam perda itu, sudah jelas lembaga pendidikan, khususnya sekolah-sekolah, mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mempertahankan dan mengajarkan bahasa Lampung kepada murid-muridnya. Masalahnya, kalau dari pihak yang berwenang sendiri dalam hal ini Dinas Pendidikan saja sudah tidak punya perhatian, dan tidak punya rasa tanggung jawab sebagaimana yang ditulis dalam tajuk Lampung Post itu, lalu siapa lagi yang akan mengajarkan bahasa Lampung?

Sekali lagi, tulisan ini hanya sekadar mengingatkan. Untuk selanjutnya? Entahlah.

Imron Nasri, Peminat masalah-masalah sosial, politik, dan keagamaan

Sumber: Lampung Post, 10 September 2013 

No comments:

Post a Comment