Oleh Kristian Adi Putra
TERDAPAT tiga pola pengajaran suatu bahasa di sekolah: (1) penggunaan bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar proses kegiatan belajar-mengajar, (2) penerapan program dwibahasa (bilingual), dan (3) pengajaran bahasa tersebut sebagai salah satu mata pelajaran. Dari sudut pandang teori pemerolehan bahasa, pola pertama dan kedua memang terkategori paling efektif, karena siswa langsung berada di lingkungan tempat bahasa itu digunakan. Siswa tidak hanya mendapatkan model penggunaan bahasa yang baik (comprehensible input), tetapi juga dipaksa untuk menggunakan bahasa tersebut secara aktif (pushed output) dalam berbagai macam pelajaran.
Pola pengajaran ketiga terkategori sebagai pola terlemah dalam pembelajaranbahasa. Ibarat seorang siswa belajar berenang, siswa hanya bertemu kolam renangdi saat jam pelajaran olahraga. Di luar jam olahraga, siswa hanyamengingat-ingat bagaimana caranya renang dan bagaimana bentuknya kolam renang.Tentu saja, belajar bahasa lebih kompleks dari analogi ini. Tetapi, memangaspek keberlanjutan pemakaian bahasa di luar jam pelajaran bahasa tersebutinilah yang sebenarnya paling krusial dan tampak hilang kalau pola ini diterapkan.
Merujuk pada ketiga pola pengajaran di atas, beberapa negara sudah mencoba menerapkan ketiganya dalam usaha pemertahanan bahasa daerah yang terancam punah dan berhasil. Di kawasan Yup?ik, Negara Bagian Alaska, misalkan, semua buku pelajaran kelas I?III menggunakan bahasa Yup?ik. Bahasa pengantar yang digunakan juga sepenuhnya dalam bahasa Yup?ik. Hal ini sama dengan yang sudah diterapkan pada bahasa Sami di Norwegia, bahasa Maori di Selandia Baru, bahasa Hawaii di Hawaii, dan beberapa kasus-kasus yang sama di negara-negara lain.
Kemudian mulai kelas IV?VI, program dwi bahasa mulai diterapkan, umumnya digunakan untuk transisi ke penggunaan bahasa nasional. Siswa-siswa lulusan dari sekolah-sekolah yang menerapkan kebijakan ini, kemudian secara tidak langsung akan memiliki kemampuan berbahasa daerah dan bahasa nasional yang sama baiknya ketika lulus dari sekolah dasar.
Bagaimana dengan pola pengajaran bahasa Lampung di Provinsi Lampung? Sejauh ini bahasa Lampung hanya diajarkan sebatas sebagai mata pelajaran muatan lokal 2 jam seminggu di kelas IV?VI SD dan VII?IX SMP. Di kelas I?III SD, meskipun pemerintah menganjurkan pemakaian bahasa ibu dalam masa transisi penggunaan bahasa Indonesia, definisi bahasa ibu ini tetaplah rancu. Bahasa ibu di Provinsi Lampung tidak lantas bisa diterjemahkan sebagai bahasa Lampung.
Di Bandar Lampung, misalkan, yang masyarakatnya terkategori majemuk, bahasa yang dipakai di rumah umumnya adalah bahasa Indonesia sehingga, bahasa ibu siswa-siswa tersebut adalah bahasa Indonesia. Di daerah lain, yang mayoritas penduduknya berbahasa Jawa, umumnya bahasa Jawa digunakan di rumah dan lingkungan keluarga sehingga bahasa ibu mereka adalah bahasa Jawa. Kemudian apabila penyebutan istilah bahasa ibu tersebut dimaksudkan untuk pelestarian bahasa daerah, mungkin benar adanya kalau kita bertanya bahasa daerah yang mana dan oleh siapa.
Pertanyaannya, seberapa efektifkah pengajaran bahasa Lampung yang diterapkan di sekolah selama ini dan apa saja kendalanya. Data Kantor Bahasa Provinsi Lampung tahun 2008, menyebutkan bahwa jumlah penutur bahasa Lampung di kisaran angka 11,92%. Tentu ini menarik untuk melihat apakah jumlah ini mengalami peningkatan atau justru penurunan setelah 5 tahun. Apakah, dengan diajarkannya bahasa Lampung 2 jam di sekolah mulai kelas IV SD sampai IX SMP di sekolah, jumlah penutur bahasa Lampung kemudian bertambah?
Jawabannya sekali lagi, tentu tidak sesederhana itu. Karena yang diterapkan oleh sekolah-sekolah selama ini adalah kebijakan pengajaran bahasa Lampung hanya sebagai mata pelajaran. Dalam pelajaran lain dan pergaulan di luar kelas, siswa tidak menemukan lagi tempat di mana mereka bisa menggunakan bahasa Lampung sehingga tujuan pengajaran bahasa Lampung di sekolah untuk menghasilkan siswa yang cakap berbahasa Lampung harus diakui tidak tercapai.
Hal ini sama dengan wacana Pemerintah Provinsi Lampung dan kabupaten-kabupaten di Provinsi Lampung, yang mengeluarkan kebijakan bahasa Lampung diwajibkan atau dianjurkan untuk digunakan di kantor-kantor pemerintahan. Dengan asumsi bahwa 88,08% masyarakat Lampung tidak bisa berbahasa Lampung, kebijakan ini juga akan menjadi sebatas wacana tanpa penerapan nyata. Untuk itu, perlu dilakukan perencanaan kebijakan bahasa yang komprehensif apabila memang semua pihak masih merasa bahwa bahasa lampung perlu dipertahankan.
Merangkum proposal Richard Ruiz (2013), setidaknya memang ada 4 langkah yang harus dilakukan pemegang kebijakan dalam usaha pemertahanan bahasa Lampung. Pertama, bahasa Lampung harus mempunyai status yang jelas, dalam hal ini aturan legal penggunaannya di ranah pendidikan, media, masyarakat, dan kantor-kantor pemerintahan (status planning). Kedua, pemerintah harus menetapkan standar baku bahasa Lampung yang akan dipromosikan (corpus planning). Ketiga, pemerintah harus mempunyai rencana yang jelas bagaimana bahasa Lampung diajarkan dan digunakan di sekolah, media, masyarakat, dan kantor-kantor pemerintahan (acquisition planning). Terakhir, pemerintah harus mencari cara bagaimana bahasa Lampung dipromosikan dan mendapatkan sambutan baik dari masyarakat sehingga mereka mau mempelajari dan menggunakannya (attitude planning).
Apabila saya diperkenankan berandai-andai, yang akan saya lakukan adalah mengumpulkan semua pihak yang terkait dalam usaha pelestarian bahasa Lampung untuk menstandardisasi bahasa Lampung dialek A dan O, dan memetakan daerah mana saja yang akan menggunakan dialek tersebut. Kedua, saya akan memutuskan bahasa Lampung menjadi bahasa pengantar kelas I?III SD dengan semua buku yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Lampung, dan dengan pola dwibahasa dengan bahasa Indonesia mulai kelas IV?VI SD.
Dari kelas VII SMP sampai XII SMA, bahasa Lampung bisa diajarkan hanya sebagai mata pelajaran. Buku-buku pelajaran dan koleksi perpustakaan, seperti majalah, buku cerita, dan film. Dalam bahasa Lampung juga harus diproduksi sebanyak-banyaknya agar siswa memiliki akses yang mudah untuk belajar bahasa tersebut.
Di media, saya juga akan melegalisasi 30%?50% kontennya dalam bahasa Lampung sehingga masyarakat mau tidak mau membaca dan mendengar berita dalam bahasa Lampung. Acara pemerintahan dan dokumen pemerintahan juga sebisa mungkin menggunakan dua bahasa; bahasa Lampung dan bahasa Indonesia. Secara perlahan, hal ini akan membantu masyarakat belajar bahasa Lampung dengan sendirinya. Kemudian yang terakhir adalah mencetak guru-guru bahasa Lampung dan guru-guru SD yang memiliki kemampuan mengajar dalam bahasa Lampung yang berkualitas sehingga semua program yang saya rencanakan bisa terimplementasi dengan baik di lapangan.
Tetapi sekali lagi, ini masih hanya sebatas pengandaian dan wacana-wacana saja. Apabila diterapkan, tentu mungkin masih ada sedikit harapan bahwa kepunahan bahasa Lampung hanya kekhawatiran para peneliti bahasa yang berlebihan. Apabila kembali ditanya apakah sekolah bisa membantu revitalisasi bahasa Lampung? Jawabannya jelas, bisa. Dengan catatan bahwa apabila bahasa Lampung hanya diajarkan sekadar sebagai salah satu mata pelajaran dan bukan bahasa yang digunakan untuk belajar, yang dikenang siswa adalah sebatas hafalan kosakata dan aksaranya saja. Tetapi tentu saja, semua kebijakan-kebijakan ini sepenuhnya ada di tangan pemerintah, yang memutuskan dan mengeluarkan kebijakan.
Kristian Adi Putra, Mahasiswa Pascasarjana di Department of English Language and Linguistics, The University of Arizona
Sumber: Lampung Post, Selasa, 24 September 2013
TERDAPAT tiga pola pengajaran suatu bahasa di sekolah: (1) penggunaan bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar proses kegiatan belajar-mengajar, (2) penerapan program dwibahasa (bilingual), dan (3) pengajaran bahasa tersebut sebagai salah satu mata pelajaran. Dari sudut pandang teori pemerolehan bahasa, pola pertama dan kedua memang terkategori paling efektif, karena siswa langsung berada di lingkungan tempat bahasa itu digunakan. Siswa tidak hanya mendapatkan model penggunaan bahasa yang baik (comprehensible input), tetapi juga dipaksa untuk menggunakan bahasa tersebut secara aktif (pushed output) dalam berbagai macam pelajaran.
Pola pengajaran ketiga terkategori sebagai pola terlemah dalam pembelajaranbahasa. Ibarat seorang siswa belajar berenang, siswa hanya bertemu kolam renangdi saat jam pelajaran olahraga. Di luar jam olahraga, siswa hanyamengingat-ingat bagaimana caranya renang dan bagaimana bentuknya kolam renang.Tentu saja, belajar bahasa lebih kompleks dari analogi ini. Tetapi, memangaspek keberlanjutan pemakaian bahasa di luar jam pelajaran bahasa tersebutinilah yang sebenarnya paling krusial dan tampak hilang kalau pola ini diterapkan.
Merujuk pada ketiga pola pengajaran di atas, beberapa negara sudah mencoba menerapkan ketiganya dalam usaha pemertahanan bahasa daerah yang terancam punah dan berhasil. Di kawasan Yup?ik, Negara Bagian Alaska, misalkan, semua buku pelajaran kelas I?III menggunakan bahasa Yup?ik. Bahasa pengantar yang digunakan juga sepenuhnya dalam bahasa Yup?ik. Hal ini sama dengan yang sudah diterapkan pada bahasa Sami di Norwegia, bahasa Maori di Selandia Baru, bahasa Hawaii di Hawaii, dan beberapa kasus-kasus yang sama di negara-negara lain.
Kemudian mulai kelas IV?VI, program dwi bahasa mulai diterapkan, umumnya digunakan untuk transisi ke penggunaan bahasa nasional. Siswa-siswa lulusan dari sekolah-sekolah yang menerapkan kebijakan ini, kemudian secara tidak langsung akan memiliki kemampuan berbahasa daerah dan bahasa nasional yang sama baiknya ketika lulus dari sekolah dasar.
Bagaimana dengan pola pengajaran bahasa Lampung di Provinsi Lampung? Sejauh ini bahasa Lampung hanya diajarkan sebatas sebagai mata pelajaran muatan lokal 2 jam seminggu di kelas IV?VI SD dan VII?IX SMP. Di kelas I?III SD, meskipun pemerintah menganjurkan pemakaian bahasa ibu dalam masa transisi penggunaan bahasa Indonesia, definisi bahasa ibu ini tetaplah rancu. Bahasa ibu di Provinsi Lampung tidak lantas bisa diterjemahkan sebagai bahasa Lampung.
Di Bandar Lampung, misalkan, yang masyarakatnya terkategori majemuk, bahasa yang dipakai di rumah umumnya adalah bahasa Indonesia sehingga, bahasa ibu siswa-siswa tersebut adalah bahasa Indonesia. Di daerah lain, yang mayoritas penduduknya berbahasa Jawa, umumnya bahasa Jawa digunakan di rumah dan lingkungan keluarga sehingga bahasa ibu mereka adalah bahasa Jawa. Kemudian apabila penyebutan istilah bahasa ibu tersebut dimaksudkan untuk pelestarian bahasa daerah, mungkin benar adanya kalau kita bertanya bahasa daerah yang mana dan oleh siapa.
Pertanyaannya, seberapa efektifkah pengajaran bahasa Lampung yang diterapkan di sekolah selama ini dan apa saja kendalanya. Data Kantor Bahasa Provinsi Lampung tahun 2008, menyebutkan bahwa jumlah penutur bahasa Lampung di kisaran angka 11,92%. Tentu ini menarik untuk melihat apakah jumlah ini mengalami peningkatan atau justru penurunan setelah 5 tahun. Apakah, dengan diajarkannya bahasa Lampung 2 jam di sekolah mulai kelas IV SD sampai IX SMP di sekolah, jumlah penutur bahasa Lampung kemudian bertambah?
Jawabannya sekali lagi, tentu tidak sesederhana itu. Karena yang diterapkan oleh sekolah-sekolah selama ini adalah kebijakan pengajaran bahasa Lampung hanya sebagai mata pelajaran. Dalam pelajaran lain dan pergaulan di luar kelas, siswa tidak menemukan lagi tempat di mana mereka bisa menggunakan bahasa Lampung sehingga tujuan pengajaran bahasa Lampung di sekolah untuk menghasilkan siswa yang cakap berbahasa Lampung harus diakui tidak tercapai.
Hal ini sama dengan wacana Pemerintah Provinsi Lampung dan kabupaten-kabupaten di Provinsi Lampung, yang mengeluarkan kebijakan bahasa Lampung diwajibkan atau dianjurkan untuk digunakan di kantor-kantor pemerintahan. Dengan asumsi bahwa 88,08% masyarakat Lampung tidak bisa berbahasa Lampung, kebijakan ini juga akan menjadi sebatas wacana tanpa penerapan nyata. Untuk itu, perlu dilakukan perencanaan kebijakan bahasa yang komprehensif apabila memang semua pihak masih merasa bahwa bahasa lampung perlu dipertahankan.
Merangkum proposal Richard Ruiz (2013), setidaknya memang ada 4 langkah yang harus dilakukan pemegang kebijakan dalam usaha pemertahanan bahasa Lampung. Pertama, bahasa Lampung harus mempunyai status yang jelas, dalam hal ini aturan legal penggunaannya di ranah pendidikan, media, masyarakat, dan kantor-kantor pemerintahan (status planning). Kedua, pemerintah harus menetapkan standar baku bahasa Lampung yang akan dipromosikan (corpus planning). Ketiga, pemerintah harus mempunyai rencana yang jelas bagaimana bahasa Lampung diajarkan dan digunakan di sekolah, media, masyarakat, dan kantor-kantor pemerintahan (acquisition planning). Terakhir, pemerintah harus mencari cara bagaimana bahasa Lampung dipromosikan dan mendapatkan sambutan baik dari masyarakat sehingga mereka mau mempelajari dan menggunakannya (attitude planning).
Apabila saya diperkenankan berandai-andai, yang akan saya lakukan adalah mengumpulkan semua pihak yang terkait dalam usaha pelestarian bahasa Lampung untuk menstandardisasi bahasa Lampung dialek A dan O, dan memetakan daerah mana saja yang akan menggunakan dialek tersebut. Kedua, saya akan memutuskan bahasa Lampung menjadi bahasa pengantar kelas I?III SD dengan semua buku yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Lampung, dan dengan pola dwibahasa dengan bahasa Indonesia mulai kelas IV?VI SD.
Dari kelas VII SMP sampai XII SMA, bahasa Lampung bisa diajarkan hanya sebagai mata pelajaran. Buku-buku pelajaran dan koleksi perpustakaan, seperti majalah, buku cerita, dan film. Dalam bahasa Lampung juga harus diproduksi sebanyak-banyaknya agar siswa memiliki akses yang mudah untuk belajar bahasa tersebut.
Di media, saya juga akan melegalisasi 30%?50% kontennya dalam bahasa Lampung sehingga masyarakat mau tidak mau membaca dan mendengar berita dalam bahasa Lampung. Acara pemerintahan dan dokumen pemerintahan juga sebisa mungkin menggunakan dua bahasa; bahasa Lampung dan bahasa Indonesia. Secara perlahan, hal ini akan membantu masyarakat belajar bahasa Lampung dengan sendirinya. Kemudian yang terakhir adalah mencetak guru-guru bahasa Lampung dan guru-guru SD yang memiliki kemampuan mengajar dalam bahasa Lampung yang berkualitas sehingga semua program yang saya rencanakan bisa terimplementasi dengan baik di lapangan.
Tetapi sekali lagi, ini masih hanya sebatas pengandaian dan wacana-wacana saja. Apabila diterapkan, tentu mungkin masih ada sedikit harapan bahwa kepunahan bahasa Lampung hanya kekhawatiran para peneliti bahasa yang berlebihan. Apabila kembali ditanya apakah sekolah bisa membantu revitalisasi bahasa Lampung? Jawabannya jelas, bisa. Dengan catatan bahwa apabila bahasa Lampung hanya diajarkan sekadar sebagai salah satu mata pelajaran dan bukan bahasa yang digunakan untuk belajar, yang dikenang siswa adalah sebatas hafalan kosakata dan aksaranya saja. Tetapi tentu saja, semua kebijakan-kebijakan ini sepenuhnya ada di tangan pemerintah, yang memutuskan dan mengeluarkan kebijakan.
Kristian Adi Putra, Mahasiswa Pascasarjana di Department of English Language and Linguistics, The University of Arizona
Sumber: Lampung Post, Selasa, 24 September 2013
Bahasa lampung akan terjaga dan tetap ada sepanjang masa, jika masyarakat suku lampung nya sendiri bangga dan mau berbahasa lampung, lakukan tindakan nyata, jangan hanya berandai-andai, salah satu cara memperkenalkan bahasa lampung kemasyarakat di luar suku lampung adalah, dengan mendirikan radio komunitas, di mana bahasa lampung digunakan sebagai bahasa pengantar sepanjang siarannya, tidak harus selalu menunggu kepedulian pemerintah, kelamaan.
ReplyDelete