September 19, 2013

[Fokus] Membumikan Festival Krakatau

Meskipun sudah memasuki kali ke-23, gaung Festival Krakatau (FK) tidak sedahsyat letusan Gunung Krakatau yang mengguncang dunia pada 1883. Malah yang terasa dari tahun ke tahun, event budaya tahunan ini makin hambar saja.

NAMA festival sih tidak salah-salah, mengambil nama Krakatau, gunung berapi teraktif yang letusannya menggelegarkan dunia pada 26?27 Agustus 1883. Inilah event utama di provinsi ujung pulau untuk memperkenalkan budaya dan wisata Lampung bagi wisatawan Indonesia dan dunia. Namun, sebagai salah satu ikon pariwisata Lampung, festival ini kurang mendapat apresiasi dari masyarakat Lampung sendiri.


Wajar jika ada anggapan penyelenggaraan FK untuk setiap tahunnya ini kurang membumi. Sastrawan Isbedy Stiawan Z.S. mengatakan festival yang kali ini dilangsungkan di Kabupaten Lampung Selatan dan berlangsung dari 12 hingga 20 Oktober mendatang, dari penyelenggaraan efeknya kurang dirasakan masyarakat Lampung sendiri.

?Kata membumikan dari setiap penyelenggaraan Festival Krakatau selama ini berarti festival hajatan Pemerintah Provinsi Lampung ini masih berada di awang-awang atau lebih tegasnya tidak berpijak di tanah,? ujar Isbedy dalam seri diskusi Lampung Bangkit II yang bertema Membumikan Festival Krakatau di Lampung Post, Selasa (17-9).

Dengan melihat itu, kata dia, pantas jika Festival Krakatau dampaknya kurang memasyarakat dan asing di mata masyarakat Lampung sendiri. Fenomena nyata itu bersumber dari indikasi masih banyaknya masyarakat Lampung yang tidak tahu tanggal penyelenggaraan, di mana saja diadakan, hingga apa agenda yang ada di festival itu. Berkaca pada hal itu, wajar dalam setiap perhelatan agenda wajib wisata di daerah yang menjuluki dirinya Sang Bumi Jura Jurai ini FK kurang dapat animo memuaskan.

Isbedy menambahkan kurang ciamiknya strategi Pemerintah Provinsi dalam melakukan promosi dan publikasi menjadi biangnya. Tidak hanya itu, bila mencakup pentingnya acara itu sebagai corong pariwisata daerah, Pemprov kurang bisa mengakomodasi jajaran terkait dalam menggiring festival dalam sisi marketing yang utama, terutama dalam menjual objek-objek wisata, seni, dan kebudayaannya.

Dia melihat persoalan mendasar dari penyelenggaraan FK ini terletak pada tanggal dan tempat pelaksanaan yang berubah-ubah, hingga kurang konsistennya pemerintah dalam menggelar maupun mengonsepkan format festival yang mengusung aspek kerakyatan tersebut. Akibatnya, FK masih kalah greget dari festival sejenis di daerah-daerah lain, seperti Ubud Writters dan Readers International Festival di Bali.

Ajang kumpul pertemuan penulis dan pembaca internasional di Ubud ini mampu menggiring 300 penulis dan pembaca di seluruh dunia. Bahkan, acara yang rutin diselenggarakan tiap tahunnya ini mampu memberikan manfaat dan tambahan devisa bagi masyarakat sekitar.

Isbedy melihat penyelenggaraan FK atau pun berbagai objek wisata Lampung lainnya yang pengelolaanya masih jalan di tempat. Bahkan, banyak objek wisata yang menarik, seperti Tanjungsetia di Kabupaten Pesisir Barat, Pantai Marina di Lampung Selatan, dan wisata lain, tetapi akses ke lokasi sulit.

Di luar itu, kata Isbedy, Lampung kaya akan beragam objek wisata, misalnya Pantai Way Muli, atau di sekitar Gunung Tampak, Lemong, Pesisir Barat. Juga di Lampung Barat, ada pusat Kerajaan Skala Barak, hingga ada berbagai wisata religi di Kabupaten Tulangbawang dan Tulangbawang Barat yang memang layak bisa dijual.

Dikecilkan

Kritik pedas disampaikan sastrawan Asaroedin Malik Zulqornain Ch. Ia melihat nama Krakatau dalam FK telah dikecilkan oleh orang Lampung sendiri. Padahal, nama Krakatau adalah sebuah nama yang telah mendunia.

"Kita ini ketulahan, kita ini berdosa karena telah mengecilkan sesuatu yang besar. Kesenian, kebudayaan Lampung, ini telah kita kerdilkan sendiri dengan penyelenggaraan FK yang tidak pernah menggaungkan nama Lampung," kata dia.

Sementara bagi penyair Juperta Panji Utama, yang mengecilkan nama Krakatau adalah pemerintah sendiri. "Membicarakan FK itu dari waktu ke waktu itu sama. Tidak ada perbaikan untuk mendekatkan event ini kepada masyarakat. Pemerintah tidak bisa menjelaskan dengan benar apa yang hendak dicapai dari festival ini. Bahkan, pemerintah tidak tahu apa permalasalah yang melilit FK."

Mantan Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka pun menyebutkan kecenderungan FK makin berkurang geregetnya. Padahal, seharusnya, jika FK ini menjadi festival yang dinanti-nantikan dan memberi efek yang kuat, ia harus mempunya daya ledak.

"Kalau tidak ada daya ledak, sulit bagi festival tahunan ini bisa menjadi event yang menarik, yang membumi, dan menjadi milik masyarakat Lampung. Soalnya enggak ada apa-apanya," kata Syaiful.

Jendela Promosi Wisata

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Lampung Masri Yahya mengakui Festival Krakatau 2013 yang merupakan salah satu jendela promosi pariwisata dan budaya Lampung masih banyak kekurangan. Meskipun demikian, ia optimistis festival itu akan mengangkat citra seni budaya dan pariwisata Lampung.

Dia optimistis pasalnya festival ini tidak hanya dianggap sebagai simbol pariwisata, tetapi makna yang ingin direngkuh yakni merangsang potensi wisata dengan seni budaya Lampung. Pasalnya, seni dan budaya Lampung punya warna tersendiri.

?Pasti ada buah dari side kunjungan para turis, tamu undangan, dan duta besar ke Festival Krakatau. Namun, pertanyaannya itu terjawab karena objek wisata bagus dan layak dijual,? kata dia.

Masri menjelaskan FK tahun ini dibasiskan menjadi objek wisata komunitas. Aspek wisata yang dijual tidak hanya pada objek alamnya, tetapi mencakup seni, budaya dari kekayaan alam, musik, dan sastranya.

?Ini jenis wisata masa depan karena keunikan dan kehidupan masyarakatnya. Hal ini bisa diefektifkan karena orang mulai jenuh dengan wisata pantai. Dinas Pariwisata sudah meriset dan member workshop artinya aspek budaya dan kekayaan alam di Lampung yang dapat dikemas dari banyak hal, misalnya tanaman kopi, alunan musik, dan kekayaan sastra yang tersebar banyak di tiap kabupaten/kota,? ujar Masri.

Berkaca pada hal itu, FK yang tahun ini mengambil tema Ejo Lampung kham, inji Lampung kham, ini Lampung kita! ini akan menampilkan tidak hanya event dan kegiatan pariwisata yang beragam dan menarik sehingga sasaran pengunjung bisa memingkat serta efeknya bisa terlihat keunggulan varietas wisatanya.

?Harapan live of stay di Lampung biasanya 1,4 hari/tahun, dengan festival ini diharapkan rata-ratanya naik 2 hari/tahun. Kalau ini terjadi, keunggulan wisata kita naik 2,4% dari sebelumnya.

Untuk menggeliatkan itu, Masri melihat ada tiga aspek yang menjadi pilar dalam regulasi kegiatan pariwisata, yakni objek wisata, akses menuju objek wisata, dan cost atau harga yang harus dikocek wisatawan untuk datang ke objek wisata.

?Saya yakin tiga pilar itu bisa menjadi alat promosi pariwisata tidak hanya untuk memperkenalkan, tetapi memancing turis untuk cari informasi wisata. Festival Krakatau bisa menjadi jembatannya. Namun, di Lampung memang semua (pilar) mesti dibenahi agar potensi wisata Lampung bisa bersaing dengan daerah-daerah lain di nusantara,? ujar dia.

Walaupun begitu, Masri tetap yakin pariwisata Lampung bisa bersaing. Pasalnya, hal itu sudah dimulai dengan strategi menempatkan tempat acara di Lampung Selatan (Lamsel) yang lebih strategis. ?Festival itu baik dilaksanakan di sana karena Lamsel adalah gerbang transportasi sebagai akses utama pariwisata dengan keberadaan Pelabuhan Bakaheuni.?

"Ini potensi untuk mendekatkan potensi Lampung Selatan, ditambah akses tranportasi laut dan darat yang unggul dari sana. Jadi, biaya dan waktu lebih efisien. Apalagi dengan rencana pembukaan yang akan dihadiri 35 duta besar dan tamu kehormatan serta akan disambut Bupati Lamsel di Menara Siger dengan tarian selamat datang dan lantunan musik akustik," ujar dia. (INSAN ARES/P1) 

Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 September 2013

No comments:

Post a Comment