September 8, 2013

[Perjalanan] Di Tanggaraja Menggala

ALIRAN Sungai (way) Tulangbawang adalah magnet bagi kehidupan orang. Menggala, seruas tempat di pinggir kali itu, mencatatkan sejarah peradaban berkepemimpinan. Ada Tanggaraja, petilasan para raja saat turun mandi pada masa jayanya.

Memasuki Kota Menggala, ibu kota Kabupaten Tulangbawang, atmosfer kota menyambut dengan simbol-simbol modern. Jalan dua jalur dengan media dan trotoar memagari setiap pendatang. Lampu-lampu gemerlap di malam hari. Toko, kantor, rumah, dan segala jenis entitas ekonomi menghidupkan suasana.



Terus melaju ke Kampung Ujunggunung Ilir, satu pagar tembok setinggi 3 meter sepanjang sekira 200 meter membedakan suasana. Jalan yang semua dua lajur, pada ruas itu tak diberi garis tengah atau media jalan. Itulah kompleks permakaman terbesar di Kota Menggala.

Begitu banyak prasasti berupa cungkup, batu nisan, atau sekadar kayu penanda bahwa di bawah tanah itu bersemayam jenazah atas nama sesuai tulisan. Tempat itu adalah muara terakhir begitu banyak kiprah orang asal Menggala ketika wafat. "Orang Menggala ini banyak sekali yang sukses di kota, bahkan di luar negeri. Tetapi banyak juga yang baru pulang kalau sudah meninggal. Kebanyakan dimakamkan di sini," kata Sarwan, lelaki atletis yang sedang beraktivitas di dekat permakaman itu, Kamis (5-9).

Melewati kompleks itu, suasana etnik mulai terasa. Tanda-tanda Menggala sebagai kota lama yang pernah jaya sejak zaman Belanda bisa dilihat dari beberapa banguna rumah yang masih bertahan dengan arsitektur Lampung. Namun, sebagian besar rumah-rumah sudah dipugar dengan model modern dengan beton dan ornamen profil dominan.

Di pertigaan Jalan I (Straat 1), satu monumen berupa tugu jung bertakhta. Meski tidak terawat, terasa bahwa tugu setinggi sekira 15 meter itu adalah bangunan baru, bukan peninggalan zaman lama. Ia berdampingan dengan tiang lampu hias yang telah almarhum.

Meskipun bangunan baru, beberapa rumah yang mengitari pertigaan itu masih bisa membangun nuansa lama. Rumah-rumah kayu panggung dengan jendela-jendala model lama masih teguh berdiri. Pilar-pilar beton yang menjadi pagar rumah, tangga, dan penyangga, dari modelnya terdeteksi hunian itu sudah berumur.

Di sisi utara tugu itu, satu jalan beraspal dan menurun memperkenalkan diri dengan plang sederhana dengan sebutan ?Jalan Tangga Raja?. Jalan itulah yang menjadi saksi sejarah bahwa para raja-raja yang bertakhta di bilangan Menggala itu menuju Sungai Tulangbawang untuk mandi dan keperluan kebersihan lainnya.

Tangga Raja

Satu lembah di belakang permukiman warga ini sejak 2010 telah ditahbiskan menjadi tempat wisata. Meskipun tidak sepenuhnya menjadi tujuan kunjungan wisata, Pemerintah Kabupaten Tulangbawang menandai tempat yang dipercaya sebagai tangga raja-raja Menggala turun ke Sungai Tulangbawang itu dengan satu unit bangunan gazebo jumbo.

Bangunan bentuk pendopo ukuran sekira 12 x 12 meter itu cukup megah dan indah. Berlantai keramik warna tanah lempung, bangunan panggung yang disangga dengan beton setinggi kira-kira empat meter itu menjadi selter dengan view ke Way Tulangbawang.

Sebelum sampai ke pendopo, satu buah prasasti cukup besar menatap pengunjung dengan tulusan ?Tangga Raja Menggala?. Di sampingnya, tatanan tangga-tangga bertingkat dengan keramik cokelat mengantar pengunjung turun diayomi beberapa pohon palem.

Bangunan pendopo dihias dengan ukiran kayu bermotif jung (perahu) di bagian atas pada seluruh sisi. Di pagar serambi keliling setinggi 1 meter yang terbuat dari kayu, di bawahnya juga dihiasi ukiran dengan motif muli Lampung berdiri di atas perahu.

?Enak tempatnya. Saya sudah dua kali ke sini sama teman-teman,? kata Syamsul, bersama tiga teman asal Gedongmeneng, Tulangbawang.

Syamsul dan teman-temannya sengaja membawa nasi bungkus untuk dimakan di tempat ini. Sambil menikmati pemandangan Sungai Tulangbawang yang deras mengalirkan air kekuningan, mereka bercanda dan berfoto-foto dengan ponselnya.

Dari pendopo itu, terdapat akses ke sungai sepanjang sekitar 40 meter berupa jembatan selasar beton. Titian berpagar catur selebar 2 meter itu di ujungnya ada tangga turun setinggi 2 meter.

?Kalau kondisi sungai normal seperti saat ini, tangga turun ke air itu tidak bisa menjangkau sungai. Tetapi kalau pas banjir, tangga itu juga tenggelam. Nah, yang pas itu kalau lagi mau surut dari banjir,? kata Syamsul.

Di sungai selebar sekira 50 meter itu, aktivitas warga memancing ikan dan petani ikan menanam keramba terlihat menenteramkan. Di atas sampan kayu kecil, mereka dengan asyik dan sabar menunggu kailnya dimakan ikan yang dikelabui. Dan itu menjadi rezeki bagi nelayan. ?Ikannya macam-macam. Ada bawal, ada gabus, kadang dapat baung,? kata Syamsul.

Di pinggir-pinggir sungai, beberapa jalur akses warga juga terlihat bergeliat. Perahu-perahu kecil terlihat parkir. Sesekali perahu dengan tenaga motor itu melintas mengantar anak sekolah melawan arus air mengarah ke atas.

?Dari sini, kita bisa ke mana aja. Kalau naik ke sana (hulu, red) ke Pagardewa. Kalau turun (hilir, red) ke Teladas sampai ke laut. Jadi, mau ke Jakarta dari sini juga bisa,? ujar Syamsul seperti berkelakar.

Meskipun demikian, kondisi sungai yang tidak terlalu besar membuat setiap perahu bermotor kecil itu lewat, perahu-perahu lain yang parkir ikut berayun-ayun. Tampaknya itu yang membuat proyek mercusuar kapal cepat Tulangbawang Jaya yang sempat ditaja untuk pelayaran di sungai ini tidak sukses.

Di Tangga Raja Menggala, warna wisatanya memang belum begitu kentara. Namun, jika pengelolaannya diserahkan kepada ahlinya atau investor, bisa mungkin kawasan ini menjadi resor menarik. Way Tulangbawang yang melegenda dan atmosfer Menggala yang klasik bisa menjadi jualannya. (SUDARMONO/M2)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 September 2013

No comments:

Post a Comment