Data buku Moral, Hukum, dan Keadilan di Tengah Pusaran Korupsi Slamet Hariyadi Indepth Publishing, Bandar Lampung I, Juni 2013 128 hlm. |
MUNCULNYA praktik korupsi kepada aparat penegak hukum sangat akrab kaitannya dengan moral yang dimiliki aparat penegak hukum itu sendiri. Moral yang sering diartikan sebagai hukum dengan bentuk perintah dan larangan yang mengatur perilaku manusia dan masyarakat di mana manusia itu berada, menunjuk pada suatu konsep yang keseluruhannya memaknai suatu perbuatan itu berkenaan dengan hakikat nilai, dan dalam perkembangannya di masyarakat lazim dikenal dengan moralitas.
Dengan melihat realitas sosial yang ada, moral sebenarnya bisa terekonstruksi menjadi individu-individu yang ingin keluar dari blokade hukum modern, yang tidak memiliki roh moralitas. Secara sosiologis, kehidupan sosial masyarakat kita sangat kuat oleh nilai-nilai budaya, yang meskipun beragam, berlabuh pada moral dan keyakinan religius masing-masing. Karena itu, pemberantasan korupsi untuk menegakkan hukum yang adil hampir sulit tanpa melibatkan moral dari tiap-tiap individu.
Perilaku korupsi aparat penegak hukum saat ini sudah menjadi proses yang melembaga sebagai sebuah sistem yang membudaya. Melalui berbagai aktivitas, korupsi dimaknai sebagai mentalitas yang diwujudkan dalam perilaku sadar manusia, baik secara individu maupun kelompok dengan berbagai macam jenis dan bentuknya. Berbagai upaya untuk mengamankan hasil korupsi mereka, seperti mengalihkan harta kekayaan (asset), pencucian uang (money loundring), dan uang hasil korupsi digunakan untuk melemahkan hukum.
Pada korupsi skala besar, dana korupsi dipersiapkan untuk melemahkan penegakan hukum. Sering didapati bahwa uang yang dikorupsi digunakan pula sebagai “biaya perlindungan diri” pelakunya dan dipakai dengan cara gratifikasi penegak hukum, khususnya hakim, untuk melindungi diri dari sanksi hukum.
Realitas korupsi dalam lembaga peradilan adalah perilaku hakim dengan budaya ekonomi hukum dan pola rasional ekonomisnya. Pola-pola berperilaku tersebut berasal dari pengalaman-pengalaman dalam rekruitmen dan mutasi. Hal itu mencakup cara-cara menangani perkara, yang seperti telah melembaga dan menjadi budaya bangsa.
Nyatanya, bak gayung bersambut, para pejabat publik, yang didakwa korupsi di pengadilan, diputus bebas oleh majelis hakim ataupun perkara tindak pidana korupsi yang diputus hakim cenderung dikenai sanksi pidana minimum (paling ringan). Hal itu memang menimbulkan pro dan kontra. Karena di satu sisi, masyarakat mempertanyakan keadilan putusan tersebut. Di sisi lain, masyarakat mempersoalkan putusan tersebut dengan adanya suap atau kolusi yang dilakukan pelaku dengan Hakim.
Keadaan yang demikian semakin menambah buruk upaya penegakan korupsi yang sedang gencar dilaksanakan dalam semua sendi kehidupan bangsa, sehingga dengan adanya kekacauan tersebut dituntut kekuatan moral dari seorang aparat penegak hukum khususnya hakim dalam menegakkan hukum yang pada akhirnya kekuatan moral itu akan menciptakan keadilan seperti yang diharapkan masyarakat.
Moralitas untuk membimbing tindakan dalam peran hakim, menganjurkan kepada manusia untuk menghentikan, mengambil, merevisi, dan menyusun kembali peran-peran yang membentuk masyarakat, dalam budaya yang materialistis dan kapitalis serta tidak memberikan penilaian. Moral, idealnya dapat merefleksi kritis persoalan berhukum yang tidak terjawab hukum modern.
Dalam kaitan tersebut, buku ini menyajikan konsepsi moral sebagai nilai dasar yang melekat dalam konsep keadilan sekaligus dalam konsep hukum, sehingga memungkinkan tetap mengabadi dalam berbagai pergeseran paradigma yang selama ini konsepsi moral dipahami secara beragam dan cenderung menghilangkan bentuk aslinya, sebagai konsep yang terang dan jelas dalam hubungannya dengan hukum.
Secara umum, buku ini menarik dibaca bagi semua kalangan sebagai referensi dalam pembangunan hukum di Indonesia. Namun, di sisi lain, perspektif hakim terhadap bahasan dalam buku ini dan keterkaitan antara teori yang disajikan dan realitas yang ada di kehidupan nyata menjadi catatan tersendiri sebagai perbaikan ke depannya.
Rafli Pramudya, Pegiat pada Pusat Kajian Kebijakan Publik dan HAM Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 September 2013
Dengan melihat realitas sosial yang ada, moral sebenarnya bisa terekonstruksi menjadi individu-individu yang ingin keluar dari blokade hukum modern, yang tidak memiliki roh moralitas. Secara sosiologis, kehidupan sosial masyarakat kita sangat kuat oleh nilai-nilai budaya, yang meskipun beragam, berlabuh pada moral dan keyakinan religius masing-masing. Karena itu, pemberantasan korupsi untuk menegakkan hukum yang adil hampir sulit tanpa melibatkan moral dari tiap-tiap individu.
Perilaku korupsi aparat penegak hukum saat ini sudah menjadi proses yang melembaga sebagai sebuah sistem yang membudaya. Melalui berbagai aktivitas, korupsi dimaknai sebagai mentalitas yang diwujudkan dalam perilaku sadar manusia, baik secara individu maupun kelompok dengan berbagai macam jenis dan bentuknya. Berbagai upaya untuk mengamankan hasil korupsi mereka, seperti mengalihkan harta kekayaan (asset), pencucian uang (money loundring), dan uang hasil korupsi digunakan untuk melemahkan hukum.
Pada korupsi skala besar, dana korupsi dipersiapkan untuk melemahkan penegakan hukum. Sering didapati bahwa uang yang dikorupsi digunakan pula sebagai “biaya perlindungan diri” pelakunya dan dipakai dengan cara gratifikasi penegak hukum, khususnya hakim, untuk melindungi diri dari sanksi hukum.
Realitas korupsi dalam lembaga peradilan adalah perilaku hakim dengan budaya ekonomi hukum dan pola rasional ekonomisnya. Pola-pola berperilaku tersebut berasal dari pengalaman-pengalaman dalam rekruitmen dan mutasi. Hal itu mencakup cara-cara menangani perkara, yang seperti telah melembaga dan menjadi budaya bangsa.
Nyatanya, bak gayung bersambut, para pejabat publik, yang didakwa korupsi di pengadilan, diputus bebas oleh majelis hakim ataupun perkara tindak pidana korupsi yang diputus hakim cenderung dikenai sanksi pidana minimum (paling ringan). Hal itu memang menimbulkan pro dan kontra. Karena di satu sisi, masyarakat mempertanyakan keadilan putusan tersebut. Di sisi lain, masyarakat mempersoalkan putusan tersebut dengan adanya suap atau kolusi yang dilakukan pelaku dengan Hakim.
Keadaan yang demikian semakin menambah buruk upaya penegakan korupsi yang sedang gencar dilaksanakan dalam semua sendi kehidupan bangsa, sehingga dengan adanya kekacauan tersebut dituntut kekuatan moral dari seorang aparat penegak hukum khususnya hakim dalam menegakkan hukum yang pada akhirnya kekuatan moral itu akan menciptakan keadilan seperti yang diharapkan masyarakat.
Moralitas untuk membimbing tindakan dalam peran hakim, menganjurkan kepada manusia untuk menghentikan, mengambil, merevisi, dan menyusun kembali peran-peran yang membentuk masyarakat, dalam budaya yang materialistis dan kapitalis serta tidak memberikan penilaian. Moral, idealnya dapat merefleksi kritis persoalan berhukum yang tidak terjawab hukum modern.
Dalam kaitan tersebut, buku ini menyajikan konsepsi moral sebagai nilai dasar yang melekat dalam konsep keadilan sekaligus dalam konsep hukum, sehingga memungkinkan tetap mengabadi dalam berbagai pergeseran paradigma yang selama ini konsepsi moral dipahami secara beragam dan cenderung menghilangkan bentuk aslinya, sebagai konsep yang terang dan jelas dalam hubungannya dengan hukum.
Secara umum, buku ini menarik dibaca bagi semua kalangan sebagai referensi dalam pembangunan hukum di Indonesia. Namun, di sisi lain, perspektif hakim terhadap bahasan dalam buku ini dan keterkaitan antara teori yang disajikan dan realitas yang ada di kehidupan nyata menjadi catatan tersendiri sebagai perbaikan ke depannya.
Rafli Pramudya, Pegiat pada Pusat Kajian Kebijakan Publik dan HAM Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 September 2013
No comments:
Post a Comment