September 20, 2013

[Tajuk] Perselingkuhan Profesi

EKSISTENSI setiap profesi selalu hadir di tengah persinggungan dua arus deras kepentingan, yaitu kepentingan publik dan elite. Orientasi semata kepada kepentingan publik mestinya menjadi tolok ukur martabat sebuah profesi.

Martabat profesi menjadi harga mati pada profesi yang bersifat tertutup. Sebab, ia memiliki syarat yang sangat ketat, seperti sekolah formal, memiliki undang-undang profesi, izin praktik, kode etik, dan code of conduct.


Namun, pada profesi yang bersifat terbuka, lebih mudah terbawa arus politik. Ia hanya memiliki kode etik dan code of conduct, sekolah apa saja dan tidak ada izin praktik, cukup mengikuti uji standar kompetensi.

Kredibilitas, profesionalitas, dan tingkat kepercayaan masyarakat pada profesi terbuka menjadi sorotan tajam pada tahun politik. Organisasi profesi terbuka sering dimanipulasi oleh kepentingan elitenya untuk mendukung atau tidak mendukung calon tertentu dalam pemilihan gubernur, misalnya.

Lebih celaka lagi, hanya untuk kepentingan sesaat yang sesat pula, kode etik dan code of conduct diterabas oleh para elite. Dalam perspektif inilah kita menyoroti profesi wartawan dan dosen di Lampung khususnya.

Dua profesi itu patut disorot karena mereka mestinya menjadi agen pembaruan dalam proses demokrasi di tingkat lokal. Profesi itu mestinya tidak berselingkuh dengan kepentingan politik, apalagi bila melacurkan diri. Disebut melacurkan diri jika elite memanfaatkan organisasi profesi untuk mendukung atau tidak mendukung calon gubernur tertentu.

Kita bisa memahami kerisauan Sudjarwo, akademisi Universitas Lampung. Kerisauan dia yang dimuat koran ini kemarin sesungguhnya juga menjadi keprihatinan masyarakat Lampung. Karena itu, organisasi profesi harus bisa menjaga martabat dan kepercayaan. Godaan politik uang jangan sampai menggerus idealisme profesi.

Mestinya, sekalipun profesi yang bersifat terbuka, pengurus organisasi menjunjung tinggi kode etik dan code of conduct. Hanya dengan kepatuhan tanpa tawar-menawar pada etika dan moralitas itulah kepercayaan masyarakat diraih.

Fenomena akademisi bersinggungan dengan birokrat sehingga kehilangan kecendekiaan juga patut dikemukakan. Cendekiawan mesti berani memilih jalan sunyi untuk tetap menyuarakan kebenaran. Ia hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan.

Ironisnya, ini yang membuat kita prihatin, tatkala bersinggungan dengan birokrasi, apalagi menceburkan diri dalam birokrasi, kecendekiaan hilang seketika. Tidak sedikit intelektual yang masuk politik pada akhirnya terbawa arus. Tidak sedikit pula contoh intelektual yang menjadi penyelenggara pemilu malah terlibat korupsi.

Harus jujur dikatakan bahaya besar sedang mengintai bila data dan fakta yang suci itu ditukangi jurnalis atau intelektual yang berselingkuh dengan kepentingan politik. Jangan biarkan organisasi profesi secara sembunyi-sembunyi, setengah terang, apalagi terang benderang menyediakan diri sebagai penyelenggara acara kepentingan politik. 

Sumber: Lampung Post, Jumat, 20 September 2013

No comments:

Post a Comment