February 8, 2009

Dunia Syahnagra dalam Impresionis

MEMBUKA pameran lukisan umumnya memiliki daya tarik tersendiri. Maka tak heran dilakukan oleh orang yang dianggap punya nama, punya jabatan penting, memiliki reputasi, artis top, sebagai tokoh, pengusaha, kolektor dan sebagainya. Ujung-ujungnya dianggap bisa mendatangkan calon kolektor atau lukisannya bakal laku dijual.

Berbeda dengan pameran tunggal Syahnagra Ismail lebih cendrung memilih orang yang idealis yaitu Anhar Gonggong, pakar sejarah. "Ketika saya diminta membuka pameran, alasan Syahnagra karena satu idealisme," ucap Anhar dalam sambutannya sebelum meresmikan pameran tunggal Syahnagra. Pameran tunggal ke-8 bertajuk My World berlangsung di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (21 - 30 Januari 2009).

Kepala Bidang Program PKJ - TIM Sri Warso Wahono dalam sambutannya, menceritakan ibarat seorang mpu membuat keris, ditempa terus, dipanasi dengan bara api tetapi hasilnya tidak jelas, belum bisa melihat seketika. Akhirnya kelelahan dan kepasrahan seorang mpu, keris itu selesai. Begitulah Syahnagra, dalam proses melukis ia tidak sadar apa yang akan dilukis, walaupun tema ada di depan mata. Kadang-kadang lukisannya sangat jelek, kadang-kadang bagus sekali.

Tetapi titik penilaiannya bukan jelek atau bagus. Menurut hemat kurator senirupa itu, lukisan Syahnagra punya sikap estetik, punya pegangan kreativitas. Sehingga gaya-gaya yang muncul dalam diri dia itu mengatas namakan apa yang tadi dikatakan sebagai jelek sekali atau baik sekali. Dengan kata lain dia memiliki keakuan yang jelas, jalan yang jelas, berbeda dengan yang ditempuh orang lain. Syahnagra seorang seniman yang patut kita banggakan karena ia hidup dari karyanya. Ia yakin dengan karyanya dan dia akan terus bergulat menghasilkan karya-karya yang baru.

Prof Dr Abdul Hadi Wiji Muthari dalam sambutannya menilai Syahnagra adalah pelukis mutakhir dari generasi 1980-an.. Dia adalah sedikit dari banyak teman segenerasinya yang tidak tergoda untuk melukis hanya untuk memenuhi tuntutan selera khalayak dan pasar.

Menurut penyair/guru besar dalam bidang Ilmu Falsafah dan Agama Universitas Paramadina itu sejak awal Syahnagra memilih impresionisme sebagai wadah pengucapan estetikanya. Pilihan itu dilakukan secara sadar. Alam memberikan daya tarik sendiri sebagai sumber renungan seninya.Obyek-obyek akan tidak ia tangkap sebagaimana obyek-obyek itu menampakan diri melalui bentuk formalnya kepada mata manusia.

Yang ditangkap dari alam dan obyek itu di dalamnya adalah suasananya yang memberikan kesan tertentu kepada jiwa penikmat lukisannya.Tidak jarang goresan Syahnagra berupa garis-garis kasar, begitu juga sapuan warnanya. Namun kesembronoan seperti itu tidak membuat lukisan-lukisannya kehilangan sifat lembut yang lahir dari perasaan dan suasana hatinya.

Dengan melakukan deformasi terhadap obyek dan sapuan warna lembut yang memancarkan kegembiraan spritual, ia berhasil menenggelamkan obyek-obyek itu ke dalam dunia perasaannya sendiri yang berada di alam lain.

Dominasi Merah

Syahnagra Ismail lahir di TelukBetung, Bandar Lampung, 18 Agustus 1953 tidak hanya seorang pelukis juga senang menulis puisi. Beberapa puisinya sempat ia bacakan pada acara pembukaan. Ia mengawali karir melukis sejak remaja ketika mengikuti pendidikan di Taman Siswa,Yogyakarta yang seterusnya memperdalam di Sekolah Seni Rupa Yogyakarta dan Institut Kesenian Jakarta.

Pengalaman melalang buana di berbagai mancanegara semakin mempertajam kepekaan mantan Ketua Himpunan Pelukis Jakarta (HIPTA) itu untuk diekspresikan di atas kanvas. Lukisannya cendrung didominasi warna merah yang merupakan warna yang memberinya spirit untuk berkarya. Namun ada sebuah lukisan : "Kaabah dan Dua Menara" didominasi warna putih merupakan rekaman kesannya ketika menunaikan rukun Islam di Tanah Suci (2002).

"Waktu itu saya melihat suasana serba putih, dan spirit itu yang saya tangkap. Sepulang dari Mekah, saya melukis. Ini bukan sekedar kenangan, tetapi saya berusaha mengekspresikan itu dengan segala hati saya," papar mantan Sekretaris I DPH Dewan Kesenian Jakarta (1996 - 2001).

Gaya lukisan Syahnagra dalam permainan warna dan garis cenderung dapat ditangkap dengan mata batin yang berbeda dengan obyek realita. Sebagai seorang yang idealis, Syahnagra melukis sesuai nurani tanpa mengikuti keinginan selera pasar.

"Saya melukis dengan jiwa. Bagi saya lukisan adalah diri sendiri. Lukisan adalah jiwa yang menggembara". Itulah prinsip Syahnagra yang merasa bahagia menjadi seorang pelukis meskipun banyak tantangan.

Sesuai dengan prinsip tadi, Syahnagra senang merekam obyek alam, kota, sosok manusia dan lingkungan. Sapuan cat minyak di atas kanvas dituangkan dengan spontan dan bebas dalam garis dan warna. Antara lain Keindahan Kota Tua, Merapi Elok, Menara Jakarta, Pelabuhan, Hutan Warna, Pohon Cinta, Perahu Merdeka, Pohon Kelapa di Lembah, Gadis Sunyi, dan Pohon di Tengah Kota.

Sejak 1975, Syahnagra mengadakan pameran tunggal sebanyak delapan kali antara lain Yogyakarta dan Jakarta. Sedangkan pameran bersama lebih dari 45 kali, Bandung, Yogyakarta, keliling berbagai kota di Jawa, Swedia dan Montana (AS). *** (Susianna)

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 7 Februari 2009

No comments:

Post a Comment