TAHUN 1999, di Lampung terjadi pemekaran wilayah. Kabupaten Lampung Tengah dipecah menjadi Kota Metro, Kabupaten Lampung Timur, dan Kabupaten Lampung Tengah. Sementara Kabupaten Lampung Utara dipecah menjadi Kabupaten Way Kanan, Tulang Bawang, Lampung Barat, dan Lampung Utara.
Alasan utama pemekaran adalah menekan rentang kendali dan pelayanan yang terlampau jauh. ”Saat itu alasan pemekaran sangat tepat,” demikian komentar Syafarudin, pengamat otonomi daerah dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Lampung, 5 Februari lalu.
Selama 10 tahun pemekaran berjalan, Metro mampu mengembangkan diri menjadi kota yang maju dari aspek pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Khusus tentang infrastruktur, Metro mewarisi peninggalan Belanda yang infrastrukturnya relatif teratur dalam tata ruang ataupun tata kota. Selain itu, Pemerintah Kota Metro melangsungkan pembangunan dengan mengikuti tata ruang yang direncanakan.
Pengamat ekonomi dari Universitas Lampung, Asrian Hendi Caya, mengatakan, Metro juga menjadi kota yang terus berkembang karena didukung sumber daya manusia yang memahami kebutuhan kota.
Dampak pembangunan selama ini, sebagai kota berpenduduk 118.448 jiwa, Metro memiliki jumlah warga miskin paling sedikit di Lampung. Dilihat dari penerima beras untuk rakyat miskin (raskin), jumlahnya hanya 7.419 keluarga. Berbeda jauh dengan kabupaten/kota lainnya di Lampung, yang jumlah warga miskinnya puluhan ribu bahkan ratusan ribu keluarga.
Herdimansyah, Ketua Koalisi untuk Lampung Sehat (KULS), menambahkan, aparat pemerintah sebagai agen perubahan juga tercatat di sektor kesehatan. ”Dukungan aparat kesehatan menjadikan masyarakat memiliki kesadaran tinggi terhadap kesehatan,” ujarnya.
Kurang berkembang
Soal pembangunan infrastruktur, menurut Syafarudin, Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Lampung Utara pun tergolong baik, sedangkan Kabupaten Tulang Bawang memiliki pusat perekonomian. ”Tapi, Kabupaten Way Kanan kurang berkembang. Lokasinya dikelilingi perkebunan swasta, sementara pemerintah kabupaten tidak memiliki keberanian untuk mencari terobosan,” paparnya.
Hal serupa dialami Kabupaten Lampung Tengah. Sebagai kabupaten induk, Lampung Tengah sampai sekarang belum bisa berkembang lantaran tidak dapat memfokuskan pembangunan sumber daya alam yang tersisa setelah pemekaran.
Satu kabupaten lainnya, Lampung Timur, pembangunannya dinilai stagnan karena aparat pemerintah kurang jeli mengembangkan potensi wilayah. Pemerintah Kabupaten Lampung Timur hanya mengembangkan pertanian tanpa berpikir untuk mengembangkan industri pengolahan.
Dari penelitian yang dilakukan, kata Syafarudin lagi, tidak berkembangnya daerah-daerah induk ataupun daerah baru di Lampung karena tidak adanya manajemen transisi. Manajemen tersebut juga tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2000.
Di dalam manajemen transisi, daerah baru seharusnya masih menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten. ”Daerah baru masih perlu dibina dan didampingi. Setidaknya, selama lima tahun sebelum betul-betul bisa dilepas,” ujar Syafarudin.
Melalui manajemen transisi, pemerintah kabupaten baru mendapat pendampingan ketika memilih dan menempatkan sumber daya manusia untuk duduk di pemerintahan, penyusunan dan pengelolaan APBD, penetapan batas wilayah, serta pengelolaan administrasi.
Tak ada kemudahan
Ringkasnya, pemekaran wilayah di Lampung tidak seperti yang dicita-citakan, lebih banyak nilai merahnya. Rakyat pada umumnya tidak mendapat kemudahan pelayanan di berbagai bidang, di samping tak ada kemajuan pembangunan berarti.
Asrian Hendi Caya mengatakan, dampak tidak adanya pendampingan, pemerintah baru memiliki kualitas yang tidak bagus dan tidak bisa memfokuskan pembangunan yang penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi, seperti infrastruktur.
Di samping itu, daerah pemekaran pada umumnya hanya menjadi obyek politis segelintir elite politik. Dampaknya, aparat pemerintah diisi orang yang tidak tepat karena faktor kroni.
”Faktor tersebut menjadikan pemanfaatan anggaran keuangan daerah atau APBD tidak seimbang. Sebesar 70 persen dari APBD lebih banyak dipakai untuk belanja aparatur dan 30 persen untuk rakyat,” tambah Syafarudin. (hln)
Sumber: Kompas, Rabu, 11 Februari 2009
No comments:
Post a Comment