Oleh Kuswinarto*
KETIKA saya dan rekan saya, Bambang Ismanto Ubaidilah, menyusun buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung, saat itu bahasa Lampung sudah mulai diajarkan di sekolah-sekolah di Lampung sebagai muatan lokal (mulok). Saat itu, Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) sebagai salah satu perangkat kurikulum sudah ada, tetapi buku ajar pendukung mata pelajaran tersebut belum ada.
Yang ada baru buku Bahasa Lampung karya Prof. Hilman Hadikusuma, yang isinya gado-gado dan tentu saja tidak sesuai dengan GBPP karena memang disusun Prof. Hilman tidak secara khusus untuk keperluan mata pelajaran Mulok Bahasa Lampung.
Jadi, saat itu ada kekosongan buku pelajaran yang sesuai dengan GBPP Bahasa Lampung. Sebab itu, buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung untuk SD kami susun.
Tidak mudah menyusun buku tersebut; saya kira lebih mudah menyusun buku pelajaran Bahasa Indonesia karena penyusun buku pelajaran Bahasa Indonesia sudah dibekali pedoman yang lengkap dan jelas, yakni (1) tata bahasa baku Bahasa Indonesia, (2) Kamus Besar Bahasa Indonesia, (e) ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, (4) pedoman pembentukan istilah, dan ditambah seabrek referensi lain baik yang berkaitan dengan bahasa Indonesia maupun teori pengajarannya.
Buku-buku pedoman semacam yang dimiliki bahasa Indonesia itu belum tersedia untuk bahasa Lampung. Referensi yang ada pun terbatas. Saya kira kondisi itu tidak saja menyulitkan penyusunan buku pelajaran bahasa Lampung, tetapi juga menyulitkan guru Bahasa Lampung.
Mata kuliah Bahasa Lampung yang kami dapatkan dari A. Effendi Sanusi di Universitas Lampung--yang bobotnya hanya 2 SKS, tetapi serasa 10 SKS--sangat membantu kami.
Beruntung juga Prof. Hilman saat itu sangat terbuka dan mendukung kami hingga kami bisa berkonsultasi dengan budayawan Lampung tersebut. Pemakaian nama dialek nyow dan dialek api (bukan dialek o dan dialek a), itu salah satu saran Prof. Hilman.
Karena memang dimaksudkan sebagai penunjang proses belajar-mengajar (PBM) mata pelajaran Bahasa Lampung, buku yang kami susun sengaja disesuaikan dengan GBPP.
Belakangan, ada beberapa kritik terhadap buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung yang saya susun bersama Bambang Ismanto tersebut. Setidaknya, kritik saya temukan dalam tulisan Oyos Saroso H.N. berjudul Problem Kultural Bahasa Lampung (Lampung Post, 24 Februari 2007). Kritik juga ada pada tulisan Udo Z. Karzi berjudul Bacaan dan Pengajaran Bahasa Lampung (Lampung Post, 4 Januari 2009).
Namun, perlu saya luruskan, buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung untuk SD yang kami susun tidak diterbitkan Penerbit Karya Media sebagaimana yang ditunjuk Oyos Saroso, tetapi oleh PT Kesain Krakatau Indah. Saya tidak merasa menerbitkan buku di Penerbit Karya Media.
Salah satu kritik Oyos Saroso soal penerapan teori pengajaran bahasa. Sebagai alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Oyos Saroso saya kira sebetulnya sudah paham bahwa teori pengajaran yang digunakan dalam buku itu adalah pendekatan komunikatif-integratif dalam pengajaran bahasa. Dan teori itulah yang diarahkan GBPP Bahasa Lampung. Materi apa saja yang harus diberikan kepada siswa, juga sudah diarahkan GBPP.
Oyos Sarono juga menyampaikan keberatan karena, menurut dia, siswa harus memahami dua logat bahasa sekaligus: logat a (api) dan logat o (nyow). Munculnya dua dialek dalam buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung karena memang bahasa Lampung belum memiliki bahasa Lampung standar. Sebab itu, saya mendukung gagasan perlunya diupayakan adanya bahasa Lampung standar sebagaimana diwacanakan Oyos Saroso, Udo Z. Karzi, dan Agus Sri Danardana. Karena belum ada bahasa Lampung standar, yang diajarkan adalah dua dialek besar dalam bahasa Lampung itu.
Meskipun buku itu berisi dua dialek sekaligus, sebagai penulis buku itu, saya tidak menyarankan dua dialek itu diajarkan sekaligus pada siswa yang sama. Adanya dua dialek dalam satu buku itu pun tidak dimaksudkan memperkenalkan dua dialek sekaligus kepada pelajar, seperti dipahami Udo Z. Karzi. Yang kami sarankan, guru memilih satu dialek. Dialek api ataukah nyow yang dipilih, itu disesuaikan dengan lingkungan siswa. Dan, itu sudah dinyatakan dalam pengantar buku, juga dalam petunjuk aktivitas siswa.
Jadi, untuk memilih dialek bahasa Lampung yang akan diajarkan, guru perlu mengamati lingkungan. Jika masyarakat di lingkungan sekolah kebanyakan berdialek api, misalnya, dialek itulah yang mestinya diajarkan. Peta bahasa-budaya Lampung yang ditunjukkan Udo Z. Karzi (Lampung Post, 16 dan 23 Maret 2008) dapat membantu guru menentukan dialek yang akan diajarkan kepada siswa.
Jika yang diajarkan guru tidak sesuai dengan yang digunakan masyarakat sekitar, terjadilah kasus seperti yang diceritakan Udo Z. Karzi, yakni kosakata bahasa Lampung yang diajarkan guru tidak sama dengan yang dipraktekkan siswa di lingkungannya. Kalau ini terjadi, pengajaran bahasa Lampung menjadi kurang bermakna.
Adanya orang berbicara dalam bahasa Lampung dengan dialek campuran api dan nyow, sebagaimana ditemukan Udo Z. Karzi, bisa jadi karena kekurangtepatan guru memilih dialek yang diajarkan. Bisa jadi juga karena guru mengajarkan dua dialek sekaligus. Namun, bukan tak mungkin juga itu terjadi karena bahasa Lampung, baik dialek api maupun dialek nyow memang belum memiliki pedoman yang jelas dan resmi.
Oyos Saroso juga menggugat karena melalui buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung yang kami susun, siswa kelas II SD sudah diajari menulis aksara Lampung, memahami wacana dalam bahasa Lampung, membuat kalimat dalam bahasa Lampung, cara menggunakan kata umum bidang pertanian, menulis surat gabungan tanda baca, bertanya kepada guru tentang pelajaran, apresiasi puisi, menulis anak surat gabungan dan tanda baca, melagukan kalimat tanya yang menggunakan kata tanya, bertanya kepada guru tentang kebersihan, dan memahami puisi dalam bahasa Lampung.
Gugatan Oyos Saroso itu sebetulnya lebih mengarah kepada penyusun GBPP Bahasa Lampung karena buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung disusun berdasar pada GBPP. Namun, saya kira tidak ada yang keliru dengan itu karena memang seperti itulah antara lain penerapan pendekatan komunikatif-integratif.
Lewat pendekatan itu, pencapaian tujuan pengajaran memang ditempuh dengan mengintegrasikan semua aspek kebahasaan (membaca, menyimak, berbicara, dan menulis). Tentu saja, materinya dipilih yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
Materi pelajaran bahasa seperti itu juga ada pada pelajaran bahasa Indonesia di tingkat yang sama. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, aspek-aspek kebahasaan, termasuk menulis dan berbicara, juga diajarkan sejak dini.
Namun, ketika hal yang sama diberikan dalam bahasa Lampung, mengapa digugat? Kalau sistem pengajaran seperti itu dianggap menyalahi prinsip-prinsip perkembangan anak, mengapa sistem pengajaran bahasa Indonesia tidak dianggap menyalahi juga? Padahal, kalau melihat eksistensi bahasa Lampung yang gawat-darurat, pengajaran bahasa Lampung mestinya mendapat perhatian lebih.
* Kuswinarto, Penulis Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 21 Februari 2009
KETIKA saya dan rekan saya, Bambang Ismanto Ubaidilah, menyusun buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung, saat itu bahasa Lampung sudah mulai diajarkan di sekolah-sekolah di Lampung sebagai muatan lokal (mulok). Saat itu, Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) sebagai salah satu perangkat kurikulum sudah ada, tetapi buku ajar pendukung mata pelajaran tersebut belum ada.
Yang ada baru buku Bahasa Lampung karya Prof. Hilman Hadikusuma, yang isinya gado-gado dan tentu saja tidak sesuai dengan GBPP karena memang disusun Prof. Hilman tidak secara khusus untuk keperluan mata pelajaran Mulok Bahasa Lampung.
Jadi, saat itu ada kekosongan buku pelajaran yang sesuai dengan GBPP Bahasa Lampung. Sebab itu, buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung untuk SD kami susun.
Tidak mudah menyusun buku tersebut; saya kira lebih mudah menyusun buku pelajaran Bahasa Indonesia karena penyusun buku pelajaran Bahasa Indonesia sudah dibekali pedoman yang lengkap dan jelas, yakni (1) tata bahasa baku Bahasa Indonesia, (2) Kamus Besar Bahasa Indonesia, (e) ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, (4) pedoman pembentukan istilah, dan ditambah seabrek referensi lain baik yang berkaitan dengan bahasa Indonesia maupun teori pengajarannya.
Buku-buku pedoman semacam yang dimiliki bahasa Indonesia itu belum tersedia untuk bahasa Lampung. Referensi yang ada pun terbatas. Saya kira kondisi itu tidak saja menyulitkan penyusunan buku pelajaran bahasa Lampung, tetapi juga menyulitkan guru Bahasa Lampung.
Mata kuliah Bahasa Lampung yang kami dapatkan dari A. Effendi Sanusi di Universitas Lampung--yang bobotnya hanya 2 SKS, tetapi serasa 10 SKS--sangat membantu kami.
Beruntung juga Prof. Hilman saat itu sangat terbuka dan mendukung kami hingga kami bisa berkonsultasi dengan budayawan Lampung tersebut. Pemakaian nama dialek nyow dan dialek api (bukan dialek o dan dialek a), itu salah satu saran Prof. Hilman.
Karena memang dimaksudkan sebagai penunjang proses belajar-mengajar (PBM) mata pelajaran Bahasa Lampung, buku yang kami susun sengaja disesuaikan dengan GBPP.
Belakangan, ada beberapa kritik terhadap buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung yang saya susun bersama Bambang Ismanto tersebut. Setidaknya, kritik saya temukan dalam tulisan Oyos Saroso H.N. berjudul Problem Kultural Bahasa Lampung (Lampung Post, 24 Februari 2007). Kritik juga ada pada tulisan Udo Z. Karzi berjudul Bacaan dan Pengajaran Bahasa Lampung (Lampung Post, 4 Januari 2009).
Namun, perlu saya luruskan, buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung untuk SD yang kami susun tidak diterbitkan Penerbit Karya Media sebagaimana yang ditunjuk Oyos Saroso, tetapi oleh PT Kesain Krakatau Indah. Saya tidak merasa menerbitkan buku di Penerbit Karya Media.
Salah satu kritik Oyos Saroso soal penerapan teori pengajaran bahasa. Sebagai alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Oyos Saroso saya kira sebetulnya sudah paham bahwa teori pengajaran yang digunakan dalam buku itu adalah pendekatan komunikatif-integratif dalam pengajaran bahasa. Dan teori itulah yang diarahkan GBPP Bahasa Lampung. Materi apa saja yang harus diberikan kepada siswa, juga sudah diarahkan GBPP.
Oyos Sarono juga menyampaikan keberatan karena, menurut dia, siswa harus memahami dua logat bahasa sekaligus: logat a (api) dan logat o (nyow). Munculnya dua dialek dalam buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung karena memang bahasa Lampung belum memiliki bahasa Lampung standar. Sebab itu, saya mendukung gagasan perlunya diupayakan adanya bahasa Lampung standar sebagaimana diwacanakan Oyos Saroso, Udo Z. Karzi, dan Agus Sri Danardana. Karena belum ada bahasa Lampung standar, yang diajarkan adalah dua dialek besar dalam bahasa Lampung itu.
Meskipun buku itu berisi dua dialek sekaligus, sebagai penulis buku itu, saya tidak menyarankan dua dialek itu diajarkan sekaligus pada siswa yang sama. Adanya dua dialek dalam satu buku itu pun tidak dimaksudkan memperkenalkan dua dialek sekaligus kepada pelajar, seperti dipahami Udo Z. Karzi. Yang kami sarankan, guru memilih satu dialek. Dialek api ataukah nyow yang dipilih, itu disesuaikan dengan lingkungan siswa. Dan, itu sudah dinyatakan dalam pengantar buku, juga dalam petunjuk aktivitas siswa.
Jadi, untuk memilih dialek bahasa Lampung yang akan diajarkan, guru perlu mengamati lingkungan. Jika masyarakat di lingkungan sekolah kebanyakan berdialek api, misalnya, dialek itulah yang mestinya diajarkan. Peta bahasa-budaya Lampung yang ditunjukkan Udo Z. Karzi (Lampung Post, 16 dan 23 Maret 2008) dapat membantu guru menentukan dialek yang akan diajarkan kepada siswa.
Jika yang diajarkan guru tidak sesuai dengan yang digunakan masyarakat sekitar, terjadilah kasus seperti yang diceritakan Udo Z. Karzi, yakni kosakata bahasa Lampung yang diajarkan guru tidak sama dengan yang dipraktekkan siswa di lingkungannya. Kalau ini terjadi, pengajaran bahasa Lampung menjadi kurang bermakna.
Adanya orang berbicara dalam bahasa Lampung dengan dialek campuran api dan nyow, sebagaimana ditemukan Udo Z. Karzi, bisa jadi karena kekurangtepatan guru memilih dialek yang diajarkan. Bisa jadi juga karena guru mengajarkan dua dialek sekaligus. Namun, bukan tak mungkin juga itu terjadi karena bahasa Lampung, baik dialek api maupun dialek nyow memang belum memiliki pedoman yang jelas dan resmi.
Oyos Saroso juga menggugat karena melalui buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung yang kami susun, siswa kelas II SD sudah diajari menulis aksara Lampung, memahami wacana dalam bahasa Lampung, membuat kalimat dalam bahasa Lampung, cara menggunakan kata umum bidang pertanian, menulis surat gabungan tanda baca, bertanya kepada guru tentang pelajaran, apresiasi puisi, menulis anak surat gabungan dan tanda baca, melagukan kalimat tanya yang menggunakan kata tanya, bertanya kepada guru tentang kebersihan, dan memahami puisi dalam bahasa Lampung.
Gugatan Oyos Saroso itu sebetulnya lebih mengarah kepada penyusun GBPP Bahasa Lampung karena buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung disusun berdasar pada GBPP. Namun, saya kira tidak ada yang keliru dengan itu karena memang seperti itulah antara lain penerapan pendekatan komunikatif-integratif.
Lewat pendekatan itu, pencapaian tujuan pengajaran memang ditempuh dengan mengintegrasikan semua aspek kebahasaan (membaca, menyimak, berbicara, dan menulis). Tentu saja, materinya dipilih yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
Materi pelajaran bahasa seperti itu juga ada pada pelajaran bahasa Indonesia di tingkat yang sama. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, aspek-aspek kebahasaan, termasuk menulis dan berbicara, juga diajarkan sejak dini.
Namun, ketika hal yang sama diberikan dalam bahasa Lampung, mengapa digugat? Kalau sistem pengajaran seperti itu dianggap menyalahi prinsip-prinsip perkembangan anak, mengapa sistem pengajaran bahasa Indonesia tidak dianggap menyalahi juga? Padahal, kalau melihat eksistensi bahasa Lampung yang gawat-darurat, pengajaran bahasa Lampung mestinya mendapat perhatian lebih.
* Kuswinarto, Penulis Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 21 Februari 2009
No comments:
Post a Comment