February 13, 2009

Dunia Syahnagra Tetap Idealis

TEMPO Interaktif, Jakarta: Mengenakan kemeja merah, pelukis Syahnagra Ismail melayani semua permintaan pengunjung yang ingin memotretnya. "Saya suka sekali kalau difoto," kata dia, terkekeh, sambil berpose di depan lukisan di sela-sela pembukaan pamerannya, Rabu malam lalu. Ia menegaskan tak ada yang politis dalam pemilihan warna baju malam itu. "Biar lebih energetik."

Syahnagra, 55 tahun, memamerkan sejumlah lukisannya di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki hingga 30 Januari nanti. Bertajuk "My World", ia masih setia dengan impresionisme. Merasa dirinya tetap idealis, ia pun meminta sejarawan Anhar Gonggong membuka pamerannya. "Idealisme kami sama: memperjuangkan kejujuran dalam hidup kita sekarang ini," kata Syahnagra.

Anhar menyempatkan diri mengulas kondisi bangsa terkini. "Sekarang idealisme hampir mati," ujarnya. Idealisme Soekarno-Hatta dan kawan-kawan, kata Anhar, yang membawa bangsa ini merdeka, bukan menyerah hidup dengan Belanda. Di masa merdeka, "Sikap-sikap kejujuran kita ditantang untuk selalu diperbarui," ujar Anhar.

Termasuk pula untuk para pelukis yang, kata Anhar, banyak kehilangan idealisme. Anhar berpesan pada Syahnagra agar memegang teguh pendiriannya sebagai pelukis.

Syahnagra, sebagai pelukis impresionis, tidak berkiblat ke Barat. Menurut budayawan dan penyair Abdul Hadi WM, Syahnagra kental dengan nada timur: menekankan pada intuisi dan spiritualitas. Lukisannya tak sejalan dengan obyek yang diamati. "Dalam lukisannya, yang penting adalah warna. Obyek tak berperan penting," kata Hadi.

Mengamati satu per satu lukisan Syahnagra, pemilihan warna pelukis kelahiran Teluk Betung itu segera menarik perhatian. Ada karakter warna yang berbeda-beda.

Dalam karyanya Gedung dan Pohon (2008), warna-warni cerah dan menyala mendominasi. Merah untuk tanah, kuning, jingga, putih, di gedung-gedung abstrak. Pohon di latar depan berwarna cokelat dan kuning. Untuk menegaskan kontras warna, hitam dan biru gelap pun dipakai. Hasilnya adalah lukisan yang tampak bersemangat.

Berbeda dengan Rumah Putih (1998), yang tampak suram dan monoton. Dengan dominasi warna hitam muda, sapuan putih hanya tampak di area rumah. Kesan yang timbul adalah sepi dan muram.

Ada pula karya yang menimbulkan kesan terburu-buru, seperti Gedung dan Cahaya (2007). Warna jingga, kuning, dan merah menyala menguasai lukisan. Garis dasar gedung, dengan cat ungu, masih terlihat. Itu berbeda dengan Pohon Merah Jambu (2005). Dengan warna-warna pastel yang menenangkan, lukisan ini tampak digarap lebih lembut. Gradasi warna di latar belakang dibikin lebih teliti. Kedua lukisan seolah memiliki tempo yang berbeda.

"Saya melukis langsung ke (obyek) alam," kata Syahnagra kepada Tempo. Tiap-tiap obyeknya memiliki karakter yang berbeda. Ia menangkap karakter itu, merasakannya, dan warna-warna pun keluar dari dalam dirinya. Mood Syahnagra saat melukis, kata dia, bisa terbaca dari pemilihan warnanya.

Dalam beberapa lukisannya, Syahnagra menambahkan kalimat puitis. Misalnya, di Bunga di Teras (2007). Di pojok kanan bawah, ada syair "Kau selalu bersama dalam aku". Pada lukisan Pohon dan Cinta (2007), Syahnagra menambahkan Aku mencintaimu setengah mati angin pohon dan suara.

Selain melukis, Syahnagra rupanya gemar dengan syair. Saat membuka pamerannya, ia menyempatkan diri membaca beberapa puisi. Syairnya dibaca eksplosif, dengan suara yang menggelegar dan gestur yang bersemangat.

IBNU RUSYDI

Sumber: Tempo Interaktif, Jumat, 23 Januari 2009

Baca juga:
* Dunia Syahnagra dalam Impresionis
* 100 Tokoh Terkemuka Lampung: Syahnagra Ismail

No comments:

Post a Comment