MENURUT UNESCO, 2.500 bahasa di dunia, termasuk bahasa-bahasa daerah di Indonesia, terancam punah (Lampung Post, 21-2). Bagaimana bahasa Lampung? Kepunahan bahasa Lampung bukan tidak mungkin jika melihat tanda-tanda kini.
Sepanjang perjalanan sejarah dunia, ratusan bahasa punah. Kepunahan terakhir terjadi pada bahasa Eyak (a Na-Deno language) di Alaska dengan meninggalnya penutur terakhir bahasa tersebut, Marie Jones Smith, 21 Januari 2008 (en.wikipedia.org). Di Indonesia, dari total 726 bahasa daerah kini, 713 di antaranya terancam punah. Dengan kata lain, hanya 13 bahasa daerah di Indonesia yang kelestariannya masih aman, sekurangnya untuk lima tahun ke depan.
Menurut Guru Besar Ilmu Bahasa Universitas Indonesia (UI) Multamia Lauder dalam Kongres Bahasa Daerah Indonesia di Bandar Lampung, November 2007, kini tercatat 13 bahasa daerah yang penuturnya (orang yang terus menggunakannya) lebih dari 1 juta, yakni bahasa Jawa, Sunda, Minangkabau, Madura, Bugis, Makassar, Batak, Melayu, Aceh, Lampung, Rejang (Bengkulu), Sasak, dan Bali (okezone.com/12 November 2007). Beruntung, bahasa Lampung termasuk satu dari 13 bahasa tersebut sehingga masih termasuk kategori aman.
Menurut ahli bahasa, kalau tidak dilestarikan, bahasa Lampung akan punah dalam tempo lebih kurang 70 tahun mendatang. Sebab itu, dilakukan berbagai upaya melestarikan bahasa Lampung di antaranya dengan membuat undang-undang dan perda. Yang paling konkret dengan mengajarkan bahasa Lampung di sekolah-sekolah.
***
Mengapa bahasa bisa punah karena kebanyakan bahasa di dunia ini tidak statis. Bahasa-bahasa itu berubah seiring waktu, mendapat kata-kata tambahan baru, dan mencuri kata-kata dari bahasa lain.
Bahasa hidup dan berkembang ketika masyarakat yang menuturkannya sebagai alat komunikasi utama masih ada. Ketika tidak ada lagi masyarakat penutur asli, suatu bahasa disebut bahasa mati (dead language) atau bahasa punah (extinct language).
Bahkan, meskipun masih ada sedikit penutur asli yang masih hidup, kebanyakan generasi muda tidak lagi menjadi penutur bahasa tersebut. Bahasa tersebut bisa disebut punah atau sekarat (moribund) (wisegeek.com).
Bahasa yang diberi label punah bukan berarti tidak ada seorang pun yang masih hidup yang mampu bicara bahasa tersebut. Beberapa bahasa punah seperti Latin dan Coptic masih digunakan sebagai bahasa dalam pemujaan.
Artinya masih ada orang yang mampu menuturkan bahasa tersebut dan orang masih mempelajari bahasa tersebut di sekolah. Namun, tidak seorang pun, kecuali mahasiswa bahasa Latin dan Coptic yang akan menghabiskan banyak waktu berkomunikasi dengan kedua bahasa itu.
Ada banyak situasi yang bisa menyebabkan bahasa punah. Sebuah bahasa bisa punah ketika bahasa itu berubah bentuk menjadi bahasa baru atau masuk menjadi famili bahasa-bahasa lain. Dalam kasus bahasa Latin, bahasa ini dengan cepat bermetamorfosis dalam bahasa-bahasa Romawi seperti bahasa Prancis, Spanyol, Portugis, Rumania, Italia, dan bahasa-bahasa lain yang berasal dari bahasa Latin.
Bahasa Inggris kini berasal dari bahasa Inggris kuno yang sudah punah, Anglo-Saxon, dan dari infusi kata-kata dalam bahasa Prancis. Dengan kata lain, bahasa Inggris kuno sudah punah, berganti menjadi bahasa Inggris kini.
Kalau kita perhatikan, bahasa Melayu di surat kabar Indonesia pada awal abad ke-20 berbeda dengan bahasa Indonesia kini. Orang Indonesia kini boleh jadi tidak mengerti bahasa Melayu yang digunakan di Indonesia awal abad ke-20.
Karena bahasa Indonesia kini berasal dari bahasa Melayu yang telah mengalami perubahan drastis, membentuk kata-kata baru, dan mengalami infusi kata-kata bahasa asing. Bisa dikatakan, bahasa Melayu bermetamorfosis dalam bahasa Indonesia. Kelak, kalau bahasa Indonesia makin berkembang dan demikian pula bahasa Malaysia, kemungkinan bahasa Melayu akan punah.
***
Sebuah bahasa punah karena bermetamorfosis adalah wajar; itu terjadi secara alami, tidak disengaja atau dengan kesadaran dan tidak terhindari. Jika sebuah bahasa punah secara disengaja atau dengan kesadaran atau karena penuturnya ingin memunahkan bahasa tersebut, ini sangat tidak wajar dan sangat disayangkan.
Akan halnya bahasa Lampung, gejala punah itu sudah tampak nyata, bukan karena bermetamorfosis, melainkan secara disengaja dan dengan kesadaran penuh oleh penuturnya. Gejala itu ditandai dengan kurangnya kesadaran penuturnya melestarikan bahasa tersebut; tidak adanya kebanggaan akan sebuah identitas yang berbau etnis.
Di mana-mana, di daerah yang penduduknya pribumi Lampung yang dulu berbahasa Lampung sebagai alat komunikasi utama antarsesama, kini perlahan berubah menggunakan bahasa Indonesia. Bukan hanya dengan orang non-Lampung, kini sesama orang Lampung pun berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Ini dipelopori anak muda, yang konon karena gengsi, malu berbahasa Lampung.
Celakanya, ini diamini pula kaum setengah baya. Kini terjadi semacam gerakan "malu berbahasa Lampung" di kalangan orang Lampung sendiri, terutama oleh mereka yang tinggal di perkotaan, meskipun hanya kota kecamatan. Anggota gerakan ini sudah menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, baik di lingkungan masyarakat maupun keluarga.
Di Lampung Barat, terutama di kota kecamatan, kini keluarga muda, terpelajar atau tidak terpelajar, rata-rata menggunakan bahasa Indonesia berkomunikasi sehari-hari. Penggunaan bahasa Indonesia ini mereka tanamkan sejak anak-anak lahir sehingga bahasa pertama anak-anak adalah bahasa Indonesia.
Jika kemudian mereka pindah ke kota besar, kemungkinan anak-anak tidak bisa berbahasa Lampung sama sekali. Ironis sekali kalau mengingat mereka adalah orang Lampung yang berasal dari Lampung Barat.
Untuk mencegah punahnya bahasa Lampung diperlukan tindakan konkret, bukan sekadar UU dan perda. Misalnya dengan menciptakan gerakan "bangga berbahasa Lampung", dimulai dengan mewajibkan PNS dan pejabat berbahasa Lampung memakai bahasa Lampung di setiap sektor layanan publik sehari-hari. n
* Muhamad Hasim, Guru SKMN Pesisir Tengah
Sumber: Lampung Post, Rabu, 25 Februari 2009
Yang paling efektif adalah orang tua mengajak anggota kelurga dan anak-anaknya untuk senantiasa berbahasa lampung, baik di rumah maupun saat bepergian bersama keluarga, dan juga hindari kawin campur, yang hanya akan menggiring keluarga baru tersebut menggunakan bahasa indonesia secara penuh dalam keluarga dan meninggalkan bahasa lampung.
ReplyDelete