Oleh Asarpin*
MASIH perlukah kita mempersoalkan seni dalam hubungannya dengan soal-besar kemanusiaan? Masih relevankah mengaitkan teater ke dalam sudut pandang teori fungsional? Untuk apakah sesungguhnya pertunjukan teater digelar dengan dana besar selama ini?
Saya akan menjawab: Masih! Sebab, seni--termasuk teater--berada pada wilayah yang senantiasa mengalami ketegangan antara bersifat pribadi dan komitmen sosial. Tema klasik dalam kesenian ini--juga dalam pemikiran pada umumnya--akan tetap menjadi perdebatan tak selesai.
Tak perlu disikapi dengan cemas jika Iswadi masih mempersoalkan peran dan fungsi sesungguhnya dari teater masa kini dalam esainya di harian ini. Jalankah dan jelajahi saja apa yang kau mau dari teater yang kau suguhkan pada penonton, tanpa merasa rendah diri hanya karena tak ada jaminan sosial yang ditawarkan. Seni akan terus berada dalam ketegangan antara bersifat pribadi dan komitmen sosial.
Iswadi sendiri mengalami kegamangan, kalau bukan paradoks. Di satu sisi Iswadi seperti sedang membela kesunyian seni dan menempatkan teater monolog batin sebagai pilihan dari kerja kreatif. Tapi, di sisi lain Iswadi tampak masih memberi harapan pada pemerintah untuk menjadikan teater bukan sebagai anak haram karena apa yang selama ini diupayakan terus-menerus oleh insan-insan teater itu pada dasarnya bukanlah untuk diri mereka sendiri. Melainkan pula untuk lingkungan; masyarakat dan bangsa. Jadi, sudah sewajarnya jika pemerintah, swasta, dan masyarakat turut men-support mereka untuk menunaikan perannya.
Saya khawatir Iswadi akan kecewa jika terlalu berharap pada pemerintah untuk mengurus seni. Banyak sekali urusan pemerintah kini di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Jaringan seni bukan Jaringan Pengaman Sosial (JPS), karena itu tak usahlah merengek-rengek agar pemerintah mengalokasikan program seni dalam APBD/APBN 20%! Atau agar Undang-Undang Pemilu direvisi dengan memasukkan kuota 30% bagi seniman!
Seandainya Iswadi mau jujur dengan selera estetiknya, saya kira Iswadi tak perlu gamang karena selama ini orang tahu di mana posisi Iswadi dalam seni dan pemikiran. Sudah tentu saya akan membela Iswadi jika ia bersikap emoh mengaitkan seni dengan komitmen sosial. Karena sudah pasti kerja estetiknya selama ini akan cedera jika melulu dilihat dari guna dan faedah, peran dan fungsi sosialnya.
Sejak lama kita tahu, seni bukanlah sembilan dari sepuluh bahan pokok. Seni lebih sering memakan biaya ketimbang menjadi sumber dana bagi negara. Namun, hidup tanpa seni, saya tak bisa membayangkan bagaimana sebuah negeri besar seperti Indonesia berlangsung. Seni tak serta-merta mengubah dunia. Bahkan, tak mungkin bermimpi menjadikan seni sebagai instrumen perubahan, lokomotif bagi kereta yang menggilas kemiskinan dan ketidakadilan.
Seni adalah milik senimannya, karena itu seni tak mungkin dilepaskan dari pribadi. Biarkan orang menuduh seni sebagai kemewahan terselubung seperti sering disinggung banyak orang beberapa tahun lalu, dan mungkin juga akan terus terpencil dari kehidupan yang mengejar serbabesar lewat perjuangan dan tanggung jawab.
Justru karena seni sulit ditakar dengan fungsi dan manfaatnya bagi kehidupan sosial dan politik, seni bukanlah risalah sosial yang munafik. Tak perlu memaksakan seni bergema atau membahana. Seni jujur pada dirinya, termasuk jujur untuk emoh terhadap hal-ikhwal yang besar dan berguna. Saya kira sikap Goenawan Mohamad mewakili sikap seni sebagai wilayah pribadi tanpa harus memaksakan diri mengaitkan seni jadi maklumat sosial.
Justru karena seni bergerak di dalam keadaan tanpa gema itulah atau bunyi yang lain dari tepian kecil yan tak kunjung jelas itulah, kata Goenawan, seni bisa membebaskan kita dari hidup yang jadi komoditas; hidup yang diinstrumentalisasi.
Tentu kata membebaskan di situ beragam maksudnya, tapi kita tahu siapa yang mengatakan itu. Goenawan tidak sedang bicara membebaskan rakyat dari kemiskinian, membebaskan ketidakadilan menjadi sama rata sama rasa. Goenawan seorang penyair yang senantiasa menaruh tanda tanya pada satuan-satuan besar. Bisa jadi kata membebaskan dimaksudkan sebagai membebaskan pikiran sendiri dari kepicikan, dari keterbelengguan paham dan aliran, menjadi diri yang kreatif dan merdeka.
Kehadiran seni di tengah-tengah percaturan sosial dan politik justru bisa memebebaskan kita dari hidup yang jadi komoditas. Saya tak percaya ada sebuah negeri atau bangsa yang tak membutuhkan puisi dan pemikiran, kecuali jika bangsa itu sedang karam dalam segala bidang.
Dalam proses sejarah negeri pascakolonial ini, justru tak jarang saya merasakan bagaimana seni yang melahirkan suatu penjelajahan yang kreatif itu mampu mengejutkan dan mengguncang, seperti teater skizofrenia Rendra yang menohok sekembalinya dari studi di Amerika. Biarkan seni akan dianggap sebagai dusta atau pendurhakaan. Tak usah memaksakan diri ingin terlibat.
Iswadi bukanlah politikus yang pandai menyedot perhatian massa rakyat untuk berduyun-duyun mengepalkan tinju dan berteriak dengan mikrofon di jalan-jalan raya kota maupun desa. Iswadi seorang sunyi-diri dan pandai memintal kata, menyusun permadani kata jadi bercahaya bening terbening, mengolah nyanyian jiwa dan gebalau pikiran yang sedang memuncak.
Seni akan lebih nyeni justru karena sifatnya tidak pasti, tidak mutlak-mutlakan, ragu, dan bimbang. Tak usahlah kita meminta memaksakan diri untuk menjadikan seni memberi penyelesaian dan tanggap-darurat. Seni adalah wilayah yang abu-abu, terpecah tapi kreatif.
Mengapa saya suka pada sesuatu yang kreatif, yang membebaskan, yang merdeka, yang mengejutkan dan mengguncang, seperti teater? Bukankah cukup hidup dengan harmoni yang tenteram, seperti dulu orang menyebut "kita orang Timur" yang punya adat sopan-santun? Apakah manfaatnya keresahan, kecemasan, dan kebimbangan kecuali hanya akan mengantarkan Indonesia dalam keterpurukan? Bukankah agama-agama justru menekankan keyakinan, kepastian, penyelesaian, dan hampir tak memberi tempat pada keterpecahan, kebimbangan, kemurungan, keraguan?
Bisa jadi memang demikian, jika hidup melulu diukur dari guna dan faedah dan tata yang tenteram. Tapi sebuah negeri berdiri tak cuma ditopang risalah sosial, dogma, manfaat, tata dan guna.
Apalagi dengan sederet panjang perintah dan komando. Malah mereka yang terlampau mengejar keluhuran seni sering tak memberi apa-apa dibanding dengan mereka yang berjerih dengan kreativitas yang mengejutkan dan mengguncang ketertiban dan menohok stabilitas. Peradaban suatu bangsa Astina dibangun para Dewa dari puing-puing kesunyian dan kecemasan. Tidak ada bangsa yang jadi begitu saja. Tidak ada jalan yang lempang dan lurus ke surga, apalagi hanya satu jalan sosial.
Sudah terlampau banyak suara-suara sumbang yang kita dengar setiap hari. Di masjid, di gereja, di istana dan kantor DPRD, juga di pasar, tapi jarang orang mengakui dengan jujur untuk sekadar menarik diri sejenak ke dalam pergulatan diri yang sunyi dan refleksi melalui puisi dan pemikiran. Seakan-akan kata-kata terakhir ini tak memiliki arti bagi keduniawian. Seakan-akan hidup mesti selalu tegas, total, dan mutlak, selesai, dan bila perlu disampaikan dengan membahana.
Karena kita hidup abad ke-21, ketika manusia tak akan lagi melahirkan sebuah bintang sejak Zarahustra-nya Nietzsche lahir dari sang pencinta Tuhan yang menari, nikmati saja seni tanpa jaminan sosial. Seni cuma mencari janji, bukan memberi sesuatu yang pasti.
Bukan jalan tengah antara sens dan nonsens yang aku cari, melainkan justru karena seni lebih sering bersifat nonsens, aku suka pada seni. Karena seni sebagai nonsens pula, maka aku ucapkan selamat datang! Sebab kita tak tahu pasti apakah nonsens justru adalah sens, seperti kata Iwan Simatupang; manusia sendiri tidak pernah mengerti apakah tidur dan mimpi justru merupakan keadan bangun kita yang sesungguhnya, dan apakah yang hingga kini kita anggap sebagai keadaan bangun itu bukan keadaan kita yang sedang tidur dan bermimpi sesungguhnya.
* Asarpin, pembaca sastra
Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 Februari 2009
No comments:
Post a Comment