SEBENARNYA Lampung kaya dengan karya seni dan budaya. Pesta sekura (sekuraan), misalnya yang dilaksanakan masyarakat Lampung Barat sebagai pesta rakyat setiap awal bulan Syawal.
Dalam sekuraan, terdapat sekura. Bedanya, sekuraan meliputi perayaan dengan tahap-tahapannya. Sedangkan sekura itu orang yang berusaha menutupi wajah dan badannya sedemikian rupa agar tidak dikenali dalam tradisi sekuraan.
Beberapa wilayah di Lampung Barat seperti: Belalau, Balik Bukit, Batubrak, Sukau, Kenali, dan Liwa masih menghidupkan tradisi sekuraan ini. Bahkan, di Festival Krakatau juga digelar sekuraan ini dalam acara Apresiasi Topeng Seribu Wajah, juga pada Festival Teluk Stabas (FTS) 2007.
FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/M. REZA
Dalam dua tahun terakhir ini, tidak hanya kontingen Lampung Barat yang mempersembahkan tarian topeng, tapi juga dari Tanggamus dan Bandar Lampung.
Pesta sekura berupa tarian topeng ini berlangsung selama satu pekan. Pesta ini diselenggarakan sebagai ungkapan rasa syukur, sukacita, dan renungan terhadap sikap dan tingkah laku. Biasanya sekura dilaksanakan bertepatan dengan Hari Raya Idulfitri. Pesta ini dilaksanakan bergiliran dari satu kampung ke kampung lain.
Dilihat dari segi penokohannya topeng dalam sekura terdiri dari sekura anak, sekura tuha, sekura kesatria, sekura cacat, sakura raksasa, dan sekura binatang. Namun dari enam jenis penokohan tersebut sekura dapat dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama disebut sekura betik yang artinya sekura bersih. Yang kedua disebut sekura kamak yang artinya sekura kotor.
Sesuai dengan namanya, sekura betik mengenakan kostum yang bersih dan rapi. Sekura betik khusus diperankan menghanai (laki-laki yang belum beristri). Sekura ini berfungsi sebagai pemeriah dan peramai peserta.
Mereka berkeliling pekon (dusun) untuk melihat-lihat dan berjumpa dengan gadis pujaan. Selain itu sekura ini juga berfungsi sebagai pengawal sanak saudara yang menyaksikan atraksi topeng. Mereka membawa senjata pusaka sebagai simbol menjaga gadis atau muli bathin (anak pangeran) yang menyaksikan pesta topeng agar terhindar dari sekura kamak yang jahat.
Mereka juga menunjukkan kemewahan dan kekayaan materi yang dapat terlihat dari selendang yang dikenakannya. Secara simbolis banyaknya selendang mengartikan sekura itu adalah meghanai yang baik.
Versi pertama menyebutkan sekuraan sudah ada sejak zaman Hindu. Topeng-topeng yang dikenakan merupakan penjelmaan orang-orang yang dikutuk dewa karena berbuat tidak terpuji. Perbuatan tidak terpuji yang dimaksud adalah tidak mengakui adanya dewa yang patut disembah. Akibatnya, rupa mereka menjadi buruk.
Versi kedua menyebutkan sekuraan berasal dan bermula pada zaman Islam. Alasannya, pelaksanaan acara ini diadakan untuk memeriahkan dan menyambut Hari Raya Idulfitri dan umat yang merayakan Idulfitri adalah umat Islam.
Islam menyebar di Lampung Barat sekitar abad ke-13. Dengan demikian, timbul anggapan sekuraan diadakan pertama kali sekitar abad ke-13.
Pendatang yang tidak menjadi sekura dalam tradisi sekuraan pada Hari Raya Idulfitri, sekura khususnya kaum wanita dan anak-anak langsung singgah ke rumah kerabatnya yang disebut dengan tumpak'an. Setibanya di sana mereka disambut tuan rumah dengan senyum ramah dan disambut pula dengan jamuan makan kue lebaran.
Pendatang yang ingin menjadi sekura biasanya hanya singgah sebentar sebagai pemberitahuan kepada famili bahwa dia hadir dan datang dalam rangka memeriahkan acara.
Sekelompok sekura terlihat apabila calon peserta berganti kostum dan mengenakan topeng serta berbagai atribut lain. Acara sekuraan ini mulai sekitar pukul 09.00 atau bersamaan dengan berdatangannya penduduk dari berbagai pekon.
Sekelompok sekura pertama kali muncul adalah sekura yang bertindak sebagai inisiator penyelenggara. Kemudian disusul kelompok-kelompok sekura lain. Jarak antarkelompok 4--5 meter.
Pawai keliling kelompok-kelompok sekura inilah yang disebut sekuraan. Para sekura berkeliling mengikuti rute yang ditentukan, mereka berkelompok-kelompok sesuai dengan jenisnya. Sekura kecah bergabung sesama sekura kecah dan sekura kamak bergabung sesama sekura kamak.
Penonton mulai bermunculan (baik yang baru datang maupun yang lama berada di rumah tumpak'an-nya) jika sekura telah pawai keliling. Wanita dan anak-anak duduk-duduk di beranda rumah milik warga menyaksikan sekuraan disertai senda gurau, sedangkan kaum pria turun ke jalan meskipun hanya sekadar menonton, tidak menjadi sekura.
Para sekura awalnya hanya sekadar berkeliling mengikuti rute dan melihat-lihat saja. Mereka beraksi dan berusaha mencari perhatian apabila melihat banyak penonton yang menyaksikan mereka.
Sekura mulai melakukan hal-hal aneh seperti berjingkrak-jingkrak tak tentu arah atau menyanyi melantunkan lagu yang dibuat sekehendak hati si pelantunnya. Ada sekura yang bergerak-gerak seolah-olah menari, tetapi dibuat-buat sehingga memperlihatkan kelucuannya.
Ada juga sekura yang seolah-olah hamil dan mengikuti/mencontoh gerakan ibu hamil, ada pula sekura yang bertingkah layaknya wanita dan dibuat-buat seanggun mungkin dan masih banyak lagi tingkah sekura lainnya. Semua sekura mencuri perhatian penonton dengan tingkahnya. RIN/FM/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2009
No comments:
Post a Comment