December 4, 2009

Pentas Teater Satu: Menikmati dengan Sederhana Hidup yang Banal

BANDAR LAMPUNG -- "Kaulah kini yang harus bercerita. Selesai sudah. Tak ada lagi yang dapat kukenang... Bahkan kini aku tak tahu, apakah aku harus menujumu atau menjauhimu."











FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/M. REZA

Penggalan dialog ini mewakili pergolakan batin: perasaan ingin menafikan atau mempertahankan sebuah kenangan dalam pementasan ®MDRV¯Kisah-Kisah yang Mengingatkan, 90 Menit yang Hilang karya Iswadi Pratama di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Jumat (4-12).

Teater Satu Lampung yang melakonkan naskah ini menamakan pertunjukan ini dengan teater puitis. Memang, kalimat-kalimat puitis hasil torehan Sitok Srengenge (ide cerita) menjadi kekuatan lakon ini. Inti teks itu berkisar pada pertanyaan-pertanyaan sepasang kekasih untuk menemukan apa yang mempesona di tengah banalitas hidup.
Bahasa, khususnya bahasa sastra menjadi faktor yang utama pada nilai-nilai artistik dan estetika dalam lakon, sehingga set panggung yang minimalis pun bukanlah suatu kekurangan dalam pertunjukan tersebut.

Cerita yang mengalir lambat namun intens, pemain Teater Satu mengajak penonton untuk lebih menyelami upaya dari dua tokoh, Sang (Ruth Marini) dan Si Pencari (Budi Laksana), mencari kenangan-kenangan yang berkelebat di sekitar mereka.

Pertunjukan berdurasi 60 menit ini banyak diisi dengan "tablo", aktor-aktor berdiri diam dengan pandangan kosong ke depan. Dialog-dialog yang terjadi lebih mirip sebuah senandika (wacana untuk mengungkapkan konflik batin pada suatu tokoh dalam karya sastra). Para aktor/aktris menggumam sendiri, tak jarang seperti igauan. Dialog-dialog kadang tumpang tindih tanpa berpretensi menjadi sebuah dialog, tetapi membentuk suatu ikatan linier antartokoh tersebut laiknya puisi.

"Kau hanya menyajikan kopi dan aku bahagia. Kau menikmatinya dan aku bahagia. Tapi kopimu kemanisan. Serbuknya tertinggal di bibirmu. Diam-diam aku mencicipi kopimu. Mencari bekas bibirmu."

Ada empat bagian pertunjukan. Tiap-tiap bagian mengisahkan pencarian kenangan dengan sudut pandang yang beragam, yang saling berkonfrontasi, namun terjahit dalam satu cerita. Ada tokoh Si Pencari yang terus mengeluarkan kenangan-kenangannya yang perih. Sementara itu, kekasihnya, Sang, masih terus berharap bisa kembali merajut cerita yang sempat tertunda.

Terjadi pergolakan batin pada diri keduanya dalam upaya menemukan kenangan tersebut. Dikemas dengan sangat apik dalam sebuah fragmen bernuansa dunia persilatan pada bagian tengah cerita. Sapu lidi, bilah-bilah bambu, dan kain-kain merah penutup wajah, menjadi properti sederhana dalam adegan pergolakan batin tersebut. Sapu lidi seakan menjadi pedang yang dipakai untuk menebas ingatan-ingatan yang tak diinginkan. Bahkan bayangan para pemain seperti ikut bertarung.

Pergolakan batin pada keduanya terus berlanjut. Masa lalu seakan-akan menjadi musuh abadi. "Kalau mau pupus, pupuslah! Kalau mau hancur, hancurlah! Kalau mau musnah, musnahlah! Kalau mau binasa, binasalah!" kata keduanya bergantian seakan pasrah oleh keadaan, dikepung formasi bambu berbentuk segi empat yang seperti menggambarkan kepenatan yang menjerat mereka.

Hingga pada ujung menit pertarungan antara diri sendiri dan masa lalu belum juga berdamai. Si Pencari berjumpa kembali dengan kekasihnya. "Kau berjanji akan melanjutkan ceritamu jika kita bertemu lagi," pinta sang kekasih.

Lakon ini disajikan berbentuk fragmen-fragmen terpisah yang memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap cerita dengan gaya yang puitik dan menghadirkan impresi-impresi yang dramatik. Rumit? Sebaliknya, justru. "Inti ceritanya, terimalah hidup ini lebih sederhana. Karena kadang-kadang, tidak semua logika dalam kehidupan bisa dijelaskan secara gamblang. Ada sisi yang tak terjelaskan. Nikmati pesona yang ada," kata Iswadi Pratama. TRI PURNA JAYA/P-1

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 5 Desember 2009

No comments:

Post a Comment