Oleh M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
"INDONESIA, di mana itu? Seperti sekelumit kisah di Sangir," Gora mengerenyitkan dahi diikuti tawa Dagu. Mereka berdua tertawa bersama-sama. (Dyah Merta, 2007:189).
Peri Kecil di Sungai Nipah adalah sebuah kisah tentang orang-orang biasa dengan penghidupan yang sederhana. Namun, novel ini menjadi tidak biasa ketika penulisnya, Dyah Merta, sukses membangun alur yang menarik disertai perwatakan yang kuat dari setiap pelaku. Dyah Merta, penulis kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, 21 Juli 1978. Ia sempat kuliah di FKIP Bahasa Indonesia Unila dan merupakan salah seorang dari 100 Tokoh Terkemuka Lampung versi Lampung Post.
Peri Kecil di Sungai Nipah menceritakan sebuah keluarga terpandang pemilik perkebunan tebu di Desa Sangir yaitu keluarga Karyo Petir. Ia memiliki dua orang anak Dagu dan Gora hasil dari perkawinannya dengan seorang perempuan bernama Dalloh. Tokoh-tokoh lain di dalam novel itu adalah para pekerja yang turut tinggal bersama keluarga Karyo Petir seperti Kerapu, Genuk dan bibi Kasemi.
Pembangunanisme Orba
Peri Kecil di Sungai Nipah berlatar-belakang awal berdirinya Orde Baru (Orba) dan konsolidasi ekonomi politik yang terjadi setelah itu. Novel ini mencoba merekonstruksi ingatan kita bersama terhadap watak ideologi pembangunanisme dan usaha-usaha yang dilakukan Orba untuk memperkenalkan gagasannya tersebut.
Prolog dari sosialisasi istilah "pembangunan" di desa itu ialah dibangunnya sebuah helipad di tengah ladang jagung Wak Jo, salah seorang tokoh di desa Sangir, yang saat itu dipenuhi jagung siap panen. Sekelompok kecil orang berhasil membujuk Wak Jo agar merelakan tanahnya dibangun helipad untuk pendaratan helikopter yang akan membawa pak menteri. Orang-orang tersebut membawa uang banyak untuk Wak Jo. Mereka adalah orang-orang besar sahabat penguasa. Wak Jo merasa girang hatinya mendapat banyak uang tanpa harus memanen jagung. (Dyah Merta, 2007:90).
Pak menteri yang ditunggu warga Desa Sangir akhirnya datang dengan menumpang helikopter. Gora menyebut benda itu sebagai "capung raksasa". Ketibaan pak menteri dengan menumpang raksasa menarik perhatian seluruh penduduk Desa Sangir. Orang-orang berkumpul memenuhi bekas ladang Wak Jo yang melebar sebagai lapangan. Seluruh penduduk gembira menyambut kedatangan pak menteri. Warga yang berbondong-bondong datang ke bekas ladang Wak Jo baru menyadari bahwa lelaki yang disebut pak menteri adalah seorang lelaki setengah tua dan botak. Pak menteri meminta masyarakat mendukung rencana "pembangunan" pemerintah pusat. Istilah "pembangunan" kemudian mulai dikenal oleh masyarakat Desa Sangir. Kosakata aneh itu perlahan-lahan menyihir seluruh warga tua dan muda.
Setelah kedatangan pak menteri, warga Desa Sangir mulai disuguhi dengan beragam aktivitas asing yang disebut-sebut sebagai usaha pemerintah untuk "memajukan" Desa Sangir. Ritual "pembangunan" dimulai dengan ledakan tanda dimulainya pendirian sebuah waduk yang disambut gegap gempita seluruh penduduk. Ledakan tersebut diikuti dengan pembangunan barak-barak di sekitar lapangan bekas ladang Wak Jo. Barak-barak yang tengah dibangun itu kelak ditinggali oleh beberapa puluh orang tentara. Pada sisi lain barak ditinggali oleh para kuli bangunan yang didatangkan dari tempat yang jauh. Beberapa minggu kemudian banyak buldoser tiba di desa Sangir. Jalan-jalan di desa itu diperlebar dan diratakan. Kepala desa mengatakan kepada para penduduk bahwa Desa Sangir tengah mengalami pembangunan dari desa menuju kota.
Pembangunan barak-barak militer digambarkan Dyah sebagai bentuk lazim persekutuan segitiga antara penguasa otoriter, pengusaha, dan kaum bersenjata dalam mengamankan praktek-praktek pembangunanisme yang menghalalkan segala cara. Pembangunan terhadap Desa Sangir memerlukan modal yang tidak sedikit. Kapital yang diperlukan itu berasal dari pengusaha atau pihak kapitalis. Pada titik ini kaum kapitalis menuntut pengertian negara Orde Baru untuk memudahkan prosedur birokrasi dan jaminan keselamatan modalnya. Hal ini bisa sukses dilakukan apabila negara memfasilitasi kemudahan investasi modal dengan melibatkan tentara sebagai penjaga akumulasi kapital. Persekutuan segitiga antara negara Orde Baru, pemodal dan tentara tersebut digambarkan secara apik oleh Dyah Merta.
Marginalisasi Masyarakat Desa
Membaca Desa Sangir dari perspektif Dyah Merta adalah seperti membaca riwayat panjang penindasan dan penghisapan terhadap rakyat Indonesia sejak zaman feodalisme, kolonialisme hingga masa pemerintahan Orde Baru Soeharto. Desa Sangir dan warganya adalah objek penindasan dan penghisapan tiada tara yang dilakukan oleh kapitalis-kapitalis besar "sahabat penguasa". Sebelum kedatangan pak menteri yang diikuti pembangunan waduk di Sungai Nipah dan pembangunan pabrik gula masyarakat Desa Sangir hidup tenteram, sejahtera, dan aman. Sebagaimana Dyah Merta (2007:91) menuturkan:
"Sungai Nipah adalah sungai besar yang selama ini menumbuhkan tak hanya gambut dan rumput, ikan-ikan seperti terbang dan jatuh ke talam hanya dengan duduk di tepian, juga umbi dan tebu bermunculan karena aliran sungai itu. Sungai yang membuat masyarakat Sangir selalu memiliki senyum paling manis di samping mereka memiliki kebun gula yang manis."
Ketenteraman dan keindahan Desa Sangir dan Sungai Nipah hilang dalam sekejap. Sungai Nipah yang dulu menjadi sumber nafkah para nelayan kecil telah diledakkan dan berganti wujud menjadi waduk raksasa yang nyaris menenggelamkan desa Sangir. Ikan-ikan yang berterbangan lindap di dalam lumpur sungai itu. Kebun gula yang menghampar luas di Desa Sangir pun telah bertukar wujud menjadi pabrik tebu yang dimiliki perseorangan. Petani tebu terhimpit oleh keberadaan pabrik gula tersebut. Mereka tidak dapat lagi mencicipi manisnya harga tebu karena pabrik tebu telah memonopoli harga jual tebu dan memaksa para petani menjual tebunya dengan harga murah. Perlahan-lahan senyum paling manis yang dimiliki warga desa Sangir pun melenyap menjadi tangisan yang mengharu-biru.
Eksistensi masyarakat Desa Sangir yang terpinggirkan dan terlupakan oleh penguasa dan pemodal sangat bertentangan dengan kondisi desa mereka yang mulai menampakkan kemajuan secara fisik. Pabrik tebu telah pun menggantikan penggilingan tebu secara sederhana. Apabila dulu penggilingan tebu dilakukan dengan menaruh dua tabung kayu yang diputar oleh seekor sapi dengan perantaraan sebuah roda gigi dan sebuah poros sepanjang 4,5 meter maka proses mesinisasi telah mempercepat proses penyaringan sari tebu menjadi sebanyak dua kali lebih cepat dibandingkan sebelumnya.
Kapitalisme dan mesin memang memudahkan segala proses teknikal yang selama ribuan tahun dikerjakan manusia melalui gilda-gilda sederhana. Kemajuan pesat teknologi dan industri kapitalis telah mereduksi tenaga puluhan orang menjadi tenaga sebuah mesin saja. Hal itu yang terjadi di Desa Sangir. Proses mesinisasi telah mempercepat dan memudahkan segalanya, tetapi hal itu juga yang menjadi sebab terpinggirnya masyarakat desa tersebut. Pabrik yang didirikan telah memangsa tanah-tanah subur milik penduduk setempat. Selain itu keberadaan pabrik juga secara nyata tidak memberikan kesejahteraan bagi penduduk desa Sangir karena pabrik tebu tersebut lebih memilih mengimpor tenaga buruh murah dari tempat yang jauh.
Proyek pembangunan di Desa Sangir juga menerbitkan teror-teror yang sengaja dimunculkan. Teror-teror itu dialamatkan kepada sekelompok orang yang berwawasan kritikal yang merasa tidak puas dengan keadaan di Desa Sangir. Mereka juga mengorganisasi buruh pabrik tebu untuk melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah dan perbaikan fasilitas. Salah seorang korban dari upaya-upaya represif penguasa adalah Dagu, putra pertama Karyo Petir. Dagu dibunuh secara sadis setelah diseret dari tempat persembunyiannya. Ia didakwa sebagai musuh pemerintah dan pihak kapitalis karena menghasut warga desa Sangir untuk tidak menjual rendeman tebu kepada pabrik tebu. Tahap-tahap penangkapan dan pembunuhan atas Dagu merupakan tipikal pembunuhan politik ala Orde Baru.
Penyiksaan dan pembunuhan yang dialami Dagu nampak berlebihan namun kejadian seperti itu bukan merupakan suatu hal yang mustahil terjadi di sebuah negara otoriter seperti Orde Baru. Pembunuhan politik terhadap Dagu yang dilakukan secara telanjang mengingatkan kami pada teror-teror dan pembunuhan politik dalam riwayat politik raja-raja Jawa. Perbuatan sadis itu pernah dilakukan oleh raja Mataram Amangkurat I yang secara sadis membantai ratusan ulama Islam.
Kekuasaan Jawa yang bersifat mutlak dan tidak boleh terbagi mesti menjaga kewibawaannya dari bermacam gugatan dan ancaman. Pemilik kekuasaan Jawa yang bersifat mutlak ini mesti merespon segala macam perlawanan itu secara betul, efektif, dan efisien. Respons harus dilakukan secara betul tanpa kesalahan sedikit pun. Respons juga mesti dilaksanakan secara efektif dan efisien agar dapat menghemat waktu dan tenaga. Penyiksaan terhadap Dagu telah memenuhi ketiga kriteria tersebut. Pembunuhan dilakukan secara betul dengan tujuan menghancurkan dalang kekacauan. Pembunuhan dilakukan secara efektif dan efisien dengan tujuan meneror masyarakat untuk tidak sekalipun mengulang dosa-dosa Dagu terhadap penguasa. Soeharto sendiri pernah berkata bahwa ia tidak akan ragu-ragu menindak siapa pun yang berniat mengusik kekuasaannya.
Penutup
Apa yang dilakukan oleh pembangunanisme Orde Baru di desa Sangir adalah “pembangunan kemunduran“ sepertimana dipaparkan oleh Paul Baran. Rezim Orde Baru memang telah sukses membangun desa itu secara fisik namun secara mental masyarakat desa Sangir mengalami kemunduran. Desa yang semula dihidupi dengan cinta, kasih sayang dan tenggang rasa kemudian berubah menjadi perkampungan tanpa moralitas. Hal ini disebabkan oleh kapitalisme yang telah mereduksi segalanya. Saiful Arif (2000) mengatakan apabila semuanya direduksi dan dipahami sebagai kapital, maka disanalah sebenarnya pereduksian nilai-nilai sosial, cita-cita nasional dan kehidupan yang sejahtera sedang terjadi. Nilai-nilai yang dahulu kerap akrab menyapa, kini berganti dengan sistem nilai baru yang menempatkan rekayasa individu dan pemilikan kapital sebagai tuan.
Pembangunan kemunduran yang dialami desa Sangir menyeret masyarakat desa menuju metamorfosis yang asing dan absurd. Itulah anak haram bernama pembangunanisme. Anak haram itu bukan hanya meminggirkan warga desa Sangir namun juga telah meruntuhkan derajat mereka hanya sebagai buruh upahan yang dibayar (Karl Marx, 1978). Pembangunanisme merubah orang-orang yang bertahan di Sangir serupa kaum hamba yang pendiam dan penurut. Mereka hidup di pinggiran dengan mengais-ais sampah dan menjadi penonton pasif roda kapital yang dengan rakus terus berputar. Pergerakan modal yang dahsyat dengan mengatasnamakan pembangunan telah merampas setiap remah-remah mimpi, kehidupan, kebebasan dan hak alamiah mereka atas air dan tanah. Segala hal yang selama ratusan tahun dimiliki secara percuma oleh seluruh warga desa Sangir kini berubah menjadi properti yang dijual-belikan. Sangir dan masa depannya telah dikorbankan demi ambisi-ambisi kaum kapitalis yang berwatak munkar.
* M. Harya Ramdhoni Julizarsyah, staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, kandidat Ph.D. Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia
Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Desember 2009
No comments:
Post a Comment