December 21, 2009

Seni dan Kebangkrutan Kultural*

Oleh Iswadi Pratama**

SETIAP menjelang sebuah peristiwa kesenian di daerah ini -- terutama yang bukan keluaran proyek/program instansi pemerintah -- selalu ada rasa jeri dan gentar dalam diri saya membayangkan sejumlah kesulitan dan pahit getir yang -- hampir pasti -- masih ditanggung oleh sebagian besar seniman. Salah satu penyebabnya -- sejak dahulu kala -- tak lain adalah: belum adanya sebuah peran profesional yang bisa menghubungkan karya-karya para seniman dengan masyarakat (baca: pasar). Oleh sebab itu, ketika seorang memilih menjadi seniman, ia juga harus bersiap-sedia menjadi "penjual", juru-lobi, staf administrasi, mempublikasikan karya, menjadi tukang, terkadang juga menjadi kritikus. Untunglah para seniman belum "harus" membeli karyanya sendiri.

Faktanya memang tak se-dramatis itu karena para seniman biasanya memiliki teman-teman seprofesi atau bukan yang entah karena alasan apa mau habis-habisan membantu menjalankan peran-peran tertentu (diluar seni) yang sangat dibutuhkan agar karya yang telah mereka ciptakan setidaknya bisa "dilihat masyarakat".
Namun demikian, kerja keras yang berlarat dan hampir tak kenal kata istirahat itu belum cukup menjamin bahwa sebuah karya/peristiwa seni akan menjadi peristiwa bersama yang dinikmati seniman masyarakat, dan -- kalau mungkin -- instansi pemerintah dan swasta.

Harapan Seniman

Sampai sejauh ini, harapan sederhana para seniman agar karyanya diapresiasi oleh masyarakat tak selalu terpenuhi dengan baik, apakah lagi harapan akan adanya pasar yang siap menjadi "mesin" re-produksi dan distribusi karya-karya seni. Lihat saja peristiwa-peristiwa pameran seni rupa, seni pertunjukan diskusi/pembacaan karya sastra, pentas tari, dan lain-lain

Di Indonesia, khususnya di Lampung, para seniman yang secara kebetulan atau bukan adalah juga karyawan di salah satu instansi pemerintah, tentu saja nasib perekonomiannya akan lebih baik dibanding mereka yang menggeluti "seni-murni" (kalau tidak berkesenian jadi pengangguran atau berpetualang ke berbagai profesi cadangan).

Hambatan ekonomi, kebutuhan masyarakat atas karya seni yang mungkin bahkan tak pernah nyangkut dalam daftar cita-cita mereka, agenda-agenda kebudayaan yang selalu terpinggirkan dari meja para birokrat juga dewan perwakilan rakyat, selera para kelas menengah yang nyaris tak pernah bergeser dari hiburan yang dangkal-dangkal saja, bahkan perhatian para cendikiawan, akademisi, dan politisi yang amat gandrung pada kekuasaan dan politik praktis, pada taraf tertentu telah menyebabkan kesengsaraan para seniman yang memilih bersikap total dalam seni kian berlapis-lapis.

Salah satu cara yang sering ditempuh oleh sebagian seniman -- dan terbukti cara ini lumayan ampuh -- adalah ngenger dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan, atau setidaknya memiliki akses terhadap orang-orang yang dipandang bisa menjadi perantara darimana uluran bantuan (pendanaan) akan datang.

Perkawanan -- dalam beberapa kasus bahkan menjadi "perselingkuhan" -- seniman dengan para penguasa ini tampaknya cukup disadari sebagai sebuah formula jitu untuk bertahan agar tetap bisa melangsungkan proses berkesenian.

Sesungguhnya, ada harapan baik di sana bahwa suatu ketika cara-cara seperti itu pada akhirnya bisa sedikit "mendidik" para penguasa/pemilik modal untuk lebih perduli terhadap seni. Sehingga dalam tataran struktural dan sistem bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan di bidang kebudayaan (seni). Namun kenyatannya, dalam "pergaulan" seperti ini, para senimanlah yang lebih sering ter-sub-ordinasi. Dari waktu ke waktu, silih bergantinya tampuk-tampuk kekuasaan, tak kunjung menunjukkan perubahan yang signifikan dalam pembangunan kebudayaan di daerah ini. Program-program dan proyek-proyek seni atas nama instansi pemerintah memang selalu ada, tapi tentu saja aspek-aspek legal-formal selalu menjadi lebih penting.

Di sisi lain, pers yang idealnya menjadi "kawan" perjuangan para seniman untuk sedikit berpartisipasi dalam memberikan pencerdasan kultural terhadap masyarakat, dewasa ini -- untuk konteks Lampung -- juga terlalu berhitung "untung-rugi". Ini bisa dilihat dari makin (tetap) sedikitnya ruang-ruang yang tersedia bagi pewacana seni dan kebudayaan di daerah ini. Tak ubahnya media massa elektronik, media massa cetak pun lebih tergiur pada gossip dan issu terbaru para selebritis dengan sikap yang hampir-hampir tak kritis lagi.

Adapun para cendikiawan, akademisi, para tokoh pemikir, dan politisi, yang seharusnya sangat berkompeten terhadap wacana-wacana yang berkembang dalam konstelasi seni dan kebudayaan di daerah ini mungkin--tujuh kali lipat--lebih tergiur membicarakan atau menulis atau mengamati perihal isu-isu hangat di seputar politik praktis dan kekuasaan.
Seni yang dalam proses penciptaan maupun karya senantiasa bersumber dan bermuara pada nilai-nilai kemanusiaan baik dalam konteks sosial, politik, ekonomi, filafat, religi, bahkan ideologi, seakan-akan telah dipandang tak memiliki hubungan apa pun dengan realitas kehidupan yang tengah berlangsung. Karena itu tak penting di bicarakan. Kalaupun kebetulan ditengok, lebih sering karena terpaksa.

Mengherankan misalnya, para pengajar di perguruan tinggi yang telah mengantongi gelar S2, S3, dan seterusnya, khususnya di bidang-bidang ilmu sosial di daerah ini masih cukup banyak yang tak mengerti bahwa terkadang pemikiran-pemikiran yang "baru" mereka baca dari buku pegangannya telah menjadi gagasan dalam karya seniman yang kadaluwarsa.

Semua ini hanyalah sejumlah kecil dari persoalan-persoalan yang cukup "gawat" yang harus dihadapi para seniman dalam berkarya di era sesulit saat ini. Sebuah even kesenian, karena itu, tidak cukup lagi dipandang sekadar sebagai sebuah peristiwa romantik berkesenian kesepian, betapa pun kecilnya tak bisa dipandang kecil. Sebab, peristiwa ini juga akan memantulkan sebagian wajah buram nasib kebudayaan dan kesenian di daerah ini.

Cinta yang Bengal

Biografi kesengsaraan seorang seniman, tulis Goenawan Mohamad, selalu punya pesonannya sendiri. Van Gogh dan Modigliani, Gauguin (yang meninggalkan kerjanya di bursa Paris dan jadi kuli di Tahiti) dan Nashar (yang lari rumah orang tua, praktis berpisah dari isteri dan sering tergeletak di Balai Budaya, Jakarta), memperoyeksikan sebuah citra yang dramatik bahwa kesenian bukanlah perkara yang main-main. Banyak orang mengorbankan hampir seluruh dirinya untuk itu. Atau setidaknya, di sana ada gandrung yang patologis seperti kisah sejumlah orang suci dan sufi.

Van Gogh, salah seorang icon di jagat seni lukis, pada 1890, menembak perutnya sendiri di dekat seonggok rabuk tahi sapi di sebuah ladang di dusun Auvers-au-Oise, timur laut Paris. Dan tiga puluh enam jam setelah itu ia mati. Ia tewas dalam usia 37 tahun meninggalkan dunia dengan rombeng; putus asa, sendiri, depresi jiwa. Salah satu surat terakhirnya berbunyi: "Prospeknya kian gelap."

Tetapi, bagaimana membayangkan arti Vicent Van Gogh bagi kita kini, tanpa mengingat peran adiknya Theo, yang bekerja di galeri tempat jual beli lukisan? Theo-lah yang dengan sabar mendampingi dan membantu kakaknya yang aneh dan keras ini. Tapi lebih dari itu, ia bisa dianggap lambang ketahanan dunia yang prosais, datar, rutin, di luar seni, yang menyebabkan orang membeli, mengoleksi, membangun galeri, membuat museum--semacam cinta yang bengal. Dan Vincent mengakui hal ini, meskipun tak menghilangkan pesimisimenya.

Lalu, di zaman yang makin pragmatis ini, siapakah yang mau bersusah-susah memainkan peran seperti yang dilakukan Theo? Dan masih beranikah seniman yang hidup kini, di sini, mengambil sikap total dalam seni--meski tak harus bunuh diri....demi melahirkan sebuah karya yang sanggup menggetarkan manusia sebagaimana yang dilakukan Van Gogh, Modigliani, Gauguin, Nashar, Kathe Schmidt Kollwitz (sang pelukis kematian itu), atau Klinger, Holbein, Sylvia Plat, Marques de Sade, Bethoven, Emily Dickinson, Olmo, Rendra, Tarzi, dan para inspirator lainnya? Beranikah kita, dewasa ini, bersikeras bertahan dalam segala rasa nyeri untuk tetap berkarya secara sungguh-sungguh di tengah sinisme zaman seperti sekarang? Sanggupkah kita keluar dari "zona-aman" dan memilih menempuh hidup yang lebih ber-resiko di dalam seni meskipun tak bisa dijawab apa gunanya? Atau sudikah kita bersama-sama merayakan kebangkrutan kultural yang tengah disembunyikan dalam banyak agenda pembangunan di daerah ini yang seringkali membuat hati menjadi masyghul itu?

* Makalah disampaikan dalam Diskusi Bilik Jumpa Seniman (Bijusa) dengan tema Geliat Kesenian di Bumi Lampung, Siapa Peduli yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahahiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila, Kamis, 17 Desember 2009.

** Iswadi Pratama, pekerja seni

No comments:

Post a Comment