Judul : Anjing Dini Hari
Penulis : Isbedy Stiawan Z.S.
Penerbit : Rumah Aspirasi Rakyat, Bandar Lampung
Cetakan : I Februari 2010
Tebal : 124 halaman
SEORANG penyair Jerman Friedrich Schiller pernah mengatakan "...hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan". Tak berlebihan kiranya seorang Isbedy Stiawan Z.S. yang sekian lama bergelut dan bertualang dalam mandala kesusasteraan setelah pada mulanya mempertaruhkan dengan melepas kehidupan "enaknya" seorang pegawai negeri sipil. Ia kembali membukukan sajak-sajaknya (kalau saya tidak salah yang kesepuluh untuk kumpulan puisi), Anjing Dini Hari.
Buku setebal 124 halaman ini berisi 83 sajak-sajaknya yang ditulis dalam rentang tahun 2008--2009, waktu yang cukup panjang (dan tentu saja membutuhkan vitalitas demi kemampuan memproduksi) untuk mengunduh dan mengolah puisi yang ia �ekstrak� baik dari pengalaman keseharian maupun sebagai tanggapan kritisnya terhadap kehidupan dan lingkungan yang melingkupinya.
Sajak-sajak dalam buku ini seolah mengajak kita untuk menyelami (dan tentu saja menikmati) ekstase perjalanan, sikap, dan tanggapan hidup yang kebanyakan bersudut pandang dan beroposisi sebagai aku-kau yang memang terkesan mempribadi dan mau tak mau menampakkan keterlibatan langsung. Bila kita mau berendah hati memasuki sajak-sajak dalam buku ini, niscaya menemukan semacam cermin bagi diri sendiri.
Kita dapat melihat upaya sang penyair bergulat, memaknai, dan menangkap hikmah di balik apa yang ia alami dalam kehidupannya dan mengabadikannya dalam waktu "kini". Kita sebagai pembaca tentu akan memasuki sebentang medan yang sesungguhnya adalah medan kita sendiri, kemudian memberi tanggapan atau menarik kesimpulan dan bercermin berdasarkan apa-apa yang hidup dalam diri kita melalui sajak-sajak yang dihampar-bagikan kepada kita sebagai pembaca oleh sang penyair.
Dari pilihan judul buku yang diambil dari salah satu nama kepala sajaknya, sang penyair seolah menyugestikan suatu gambaran kesunyian (mungkin kesendirian) yang teramat sekaligus keliaran dan keberanian yang eksistensial sebagaimana dilukiskan melalui citraan "anjing" dalam waktu "dini hari" setidaknya begitulah asosiasi yang membangkit dalam imajinasi dan emosi saya.
Buku ini nikmat juga sebagai bahan bacaan dan perenungan, meski penyair dalam hal ini seperti tidak berkehendak menemukan kata atau frasa yang ajaib. Kalau tidak mau secara bombas disebut memukau dan membaharu sebagaimana yang menjadi "tren" dalam sajak-sajak yang hadir di berbagai media belakangan ini. Tapi mungkin, memang penyair tidak berpretensi mencari yang puitik dalam kata-kata yang mengilap tapi dalam kesederhanaan lirik: suasana, peristiwa sehari-hari, dan kisah-kisah.
Kepekaan kitalah yang kemudian menuntun untuk menemukan sebentuk makna di balik suasana, peristiwa, atau kisah-kisah tersebut-- seandainya kita (pembaca) berkehendak menuntut makna. Atau seandainya tidak, cukuplah kita menikmati keheningan, sublimitas, nada, musik, emosi dan menghayatinya dalam pembacaan kita. Seturut yang dikatakan Hasif Amini, sebuah puisi, dalam medium apa pun, menempatkan pembaca sebagai penulis (pencipta) juga, yang bisa (mungkin harus) mengolah dan merangkai makna sendiri dari komposisi tanda (bahasa) yang ada di hadapannya.
Setidaknya dalam pilihan tetanda bahasa: majas, metafor, dan diksi pada sajak-sajak dalam buku ini kita dibawa kepada beragam pergulatan eksistensial aku lirik terhadap kenangan, masa silam, harapan, kampung halaman, rasa takut, dendam, keberanian, tekad, cinta dan asmara, rumah, hubungan keluarga, dan lainnya yang menyediakan semacam ruang berwarna-warni yang kebanyakan menebarkan bau ironi. Dan memahami ironi berarti menangkap apa yang dikatakan dan tak dikatakan.
Mengutarakan ironi berarti tidak menyampaikan sesuatu secara langsung, tetapi menciptakan sebuah versi, sebuah rentang, sebuah ruang. Sebagaimana ucapan Hasif Amini, peran pembaca dalam memetik dan memasak makna tentu menjadi niscaya. Bisa saja, proses itu melewati rute-rute yang tampak jauh dari apa yang biasa disebut akal waras. Ia bisa tampak bersungguh-sungguh sekaligus bermain-main. Ia bisa tampak khusyuk sekaligus kurang ajar.
Sajak-sajak dalam buku ini, sebelumnya, beberapa secara terpisah telah dibagikan melalui media Facebook, selain di antaranya melalui perantara media-media massa lokal dan nasional, dengan sampul yang diperbagus dengan sebuah lukisan sumbangan karya dari Dirot Kadirah, seorang pelukis Jakarta. Namun, seandainya boleh disebut sedikit ketidakelokan (yang mungkin disebabkan ketidaksengajaan) adalah ditemukannya kesalahan pengetikan pada beberapa judul dan isi. Ini dapat berpotensi mengaburkan atau mengganggu pembacaan. Akan tetapi secara keseluruhan buku ini terkemas secara apik dengan warna sampul (yang berupa lukisan tersebut) terasa seperti kegairahan yang sekaligus muram, dan ini menimbulkan daya rangsang yang saya kira cukup memancing kepenasaran.
Dengan terlebih dahulu menepiskan gaya, nada, atau genre yang dirpilih sang penyair dalam mencipta karya-karyanya, dan bukankah setiap pencipta memang memiliki cara ungkap yang tersendiri? Saya ingin sekali mengutip ujaran Octavio Paz yang disampaikan dalam kuliah Nobel Kesusasteraan tahun 1990, �Maka jika karya-karya begitu beragam dan tiap rute adalah lain, apakah yang mempersatukan seluruh penyair? Bukan estetika, melainkan pencarian...
Arya Winanda, penyuka buku, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Mei 2010
No comments:
Post a Comment