May 30, 2010

[Pustaka] Hadiah Rancage Mengupayakan Sastra Daerah Terus Tumbuh

Oleh Susie Evidia Y

IDENTITAS dari suatu suku atau daerah, salah satunya tecermin dari bahasanya. Namun kini bahasa daerah semakin tergerus, bahkan beberapa bahasa masuk katagori nyaris punah akibat tidak lagi diturunkan ke generasi penerus. Penggunaan bahasa daerah hanya dipakai para orang tua, tak sampai mengalir kepada anak-anaknya.

Kekhawatiran nasib bahasa daerah terlukis pula di dunia sastra. Terbukti, semakin minim kalangan sastra di daerah yang tertarik mengembangkan bahasanya ke dalam bentuk buku. Terbukti dari penilaian panitia Penghargaan Sastra Rancage 2010, jumlah buku yang diterbitkan pada 2009 masih dalam hitungan jari. Para pengarangnya pun mayoritas dikuasai kalangan senior.

Menurut Erry Riyana Hardjapamekas, ketua Dewan Pengurus Yayasan Kebudayaan Rancagé, betapa memprihatinkannya produk sastra daerah. Dari sisi kuantitas minim, masih sedikit karya sastra dalam bentuk buku. ''Memang kondisinya berat, tapi kita harus terus berjalan mempertahankan dan mengembangkan karya-karya sastra di daerah-daerah,'' kata dia.

Sebenarnya, lanjut Erry, kondisi ini tak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara mengalami masalah yang sama, yaitu semakin tergerusnya bahasa daerah setempat.

Pada 2009, karya sastra berbahasa daerah terbanyak disumbang oleh bahasa Sunda sebanyak 30 judul. Namun, yang benar-benar buku baru hanya 13 judul buku, sisanya ada terjemahan dan cetak ulang. Yang patut disyukuri, dari 30 judul berbahasa Sunda, empat di antaranya ditujukan untuk anak-anak sebagai generasi penerus bahasa ibunya.

Bacaan anak-anak yang diterbitkan berupa dongeng sasakala, yaitu Cadas Pangeran, Candi Cangkuang, Karajaan Arcamanik, dan Pajajaran. Karya untuk para buah hati ini disumbangkan oleh Aan Merdeka Permana. Tapi, Hadiah Samsudi untuk bacaan anak-anak berbahasa Sunda, tidak ada penerimanya. Empat judul buku itu tak ada yang layak untuk mendapatkannya.

Bagaimana dengan sastra berbahasa Jawa? Pada 2009 jumlah buku yang diterbitkan ada 12 judul, terdiri dari kumpulan sajak, cerpen, dan roman. Yang menarik, penulis sastra Jawa ini tak hanya mereka yang tinggal di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Rahmat Ali yang tinggal di Depok termasuk yang menyumbangkan karya sastra berbahasa Jawa. Lainnya, masih didominasi para pengarang dari Jawa Timur; Suparto Brata (Surabaya), David Hariyanto(Malang), Sumono Sandy Asmoro (Ponorogo).

Tersebarnya para pengarang sastra Jawa bisa membuat napas lega. Minimal dengan tersebarnya para pengarang di daerah dan dari berbagai kalangan, tak akan membuat sastra Jawa punah. Didukung para pengarang yang sangat produktif menulis ke dalam buku. Salah satunya, pengarang Suparto Brata --sebagai aset berharga bagi sastra Jawa. Setiap tahun, ide cemerlangnya pasti dituangkan ke dalam buku dengan jumlah lebih dari satu.

Pengarang-pengarang di Bali termasuk yang eksis menelurkan karya-karya sastra ke dalam bahasa Bali. Tahun lalu, sembilan buku bahasa Bali beredar di pasaran. Bentuk bukunya berupa roman saduran, kumpulan puisi, dan yang terbanyak adalah cerita pendek.

I Nyoman Mandra tahun lalu menyumbang karya mengejutkan berupa kumpulan puisi terdiri dari empat jilid. Jilid pertama hingga ketiga masing-masing berisi lebih dari seribu halaman, sedangkan jilid keempat menipis kurang dari 10 halaman. Karya ini bisa dikatakan termasuk kumpulan sajak paling tebal di ndonesia.

Dari Jawa dan Bali, Rancage menelusuri kawasan sastra yang ada di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan daerah-daerah lain. Pada 2007, didapat oleh-oleh dari Sumatra, yaitu sebuah buku dalam bahasa Lampung. Setahun berikutnya, 2008, tak ada lagi karya sastra berbahasa Lampung.

Pada 2009, dua karya sastra berbahasa Lampung kembali hadir. Karya pertama dalam bentuk kumpulan sajak Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya. Mahasiswa Jurusan Kimia Universitas Lampung ini menyajikan 57 sajak yang isinya membangun imajinasi berkenaan hal-hal bersahaja.

Sastra berbahasa Lampung lainnya, berupa kumpulan cerita pendek, yaitu Cerita-cerita Jak Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami. Berisi 17 cerpen melukiskan berbagai kebiasaan, adat-istiadat, perilaku dan polah masyarakat di Kecamatan Bandar Negeri Semuong, Kabupaten Tanggamus, Lampung.

Hadiah Sastra Rancage merupakan penghargaan tahunan yang diadakan sejak 1989. Pencetusnya sastrawan sunda Ajip Rosidi yang juga dikenal sebagai sosok yang memperkaya sastra Indonesia. Tujuan Rancage ini, menurut Ajip, untuk ikut mendorong tetap hidupnya kegiatan di bidang penulisan dan penerbitan karya sastra dalam bahasa daerah.

Karya sastra yang diterbitkan ke dalam bentuk buku sangat sedikit. Ajip memahami banyak fakor yang menyebabkan orang malas menulis karya sastra daerah. Kurangnya media daerah, honor yang minim, serta tak ada penghargaan bagi penulis bahasa daerah. Dari situ tebersit memberikan penghargaan bagi para penulis sastra daerah.

Awalnya, pada 1989 hanya sastra Sunda yang diberi penghargaan. Lima tahun berikutnya buku-buku sastra Jawa mulai diterbitkan. Akhir 1990-an, sastra Bali ambil bagian, sedangkan sastra Lampung andil tahun 2008. Ajip berharap karya-karya sastra daerah lainnya bisa ikut berperan meraih penghargaan ini.


Yang Meraih Rancage

Karya-karya para pengarang dari Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung telah diseleksi oleh tim penilai Rancage. Hasilnya, dari sastra Sunda terpilih karya H Usep Romli, dengan buku Sanggeus Umur Tunggang Gunung, terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung.

Penulis berbahasa Sunda, Karno Kartadibrata diberi penghargaan atas jasanya memperkaya bahasa Sunda dengan tulisan-tulisan bersifat sosial-politi. Karno kini menjabat sebagai wapemred mingguan bahasa Sunda Mangle.

Untuk sastra Jawa, terpilih Layang Panantang karya Sumono Sandi Asmoro terbitan Bahasa, Surabaya. Kategori jasa, Rancage diberikan kepada Bonari Nabobenar yang aktif melakukan perjalanan diskusi berkenaan sastra Jawa dan Indonesia. Saat ini Bonari duduk sebagai ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya. Dia juga termasuk penggerak Kongres Sastra Jawa dan penyelenggara Festival Sastra Jawa dan Desa.

Leak Pemoroan karya I Wayan Sadha menjadi pilihan juri untuk hadiah Rancage 2010 sastra berbahasa Bali. Buku tersebut memuat 41 cerita beragam, di antaranya kisah leak, kehidupan pelacuran, korban pascapariwisata massa. Penghargaan untuk kategori jasa pengembang bahasa Bali adalah Agung Wiyat S Ardhi. Pria kelahiran Gianyar tahun 1946 ini sebagai penulis kreatif sastra Bali tradisional, maupun modren. Ia juga aktif sebagai pembina bahasa, aksara, dan sastra Bali.

Dari dua buku yang berbahasa Lampung, para juri Rancage tampaknya tertarik dengan karya kumpulan karya Asapin Aslami. Alasannya, karya lulusan IAIN Raden Intan ini sebagai kumpulan cerpen modern pertama dalam bahasa Lampung yang banyak mengandung nilai-nilai tradisional dan modern.

Penghargaan diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancagé ini digelar di kampus Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FBS Universitas Negeri Yogyakarta, 29 Mei 2010. Berbarengan dengan penyelenggaraan Konferensi Internasional Kebudayaan Daerah 2010 yang diikuti dari berbagai negara.

Sumber: Republika, Minggu, 30 Mei 2010

No comments:

Post a Comment