Oleh Yulvianus Harjono
TIDAKLAH diragukan, Lampung identik dengan provinsi transmigrasi. Namun, bukan lantaran semata karena wilayah ini banyak dihuni pendatang alias transmigran. Alasannya, lebih dalam dari itu.
Dari provinsi di terujung selatan Sumatera inilah asal muasal transmigrasi itu muncul. Namun, bukanlah Kota Metro, apalagi Pringsewu—dua kota transmigran—yang menjadi cikal bakal munculnya transmigrasi di Tanah Air.
Adalah Bagelen, sebuah desa sepi di kabupaten hasil pemekaran Pesawaran, yang menjadi penanda tonggak sejarah program transmigrasi di Tanah Air. Sekilas, desa ini tidak terlalu ramai dibandingkan dengan kota transmigran lainnya, yakni Metro dan Pringsewu, tetapi secara historis, desa itu punya peran penting.
”Transmigrasi pertama kali di Indonesia dilakukan di Desa Bagelen ini, di tahun 1905,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Museum Nasional Ketransmigrasian Suwardi.
Pada masa itu, transmigrasi diinisiasi Pemerintah Hindia Belanda. Namun, saat itu namanya adalah program kolonialisasi. Sebanyak 155 keluarga dari Kedu, Jawa Tengah, dipindahkan ke Lampung untuk perluasan daerah perkebunan yang dikelola Pemerintah Hindia Belanda di luar Jawa.
Untuk mengenang sejarah panjang transmigrasi di Tanah Air, di atas bekas Desa Bagelen didirikan kompleks Museum Nasional Ketransmigrasian. Luasnya 6,3 hektar dari total target perluasan hingga 20 hektar.
Sayangnya, permukiman asli transmigran Bagelen ini nyaris tidak lagi tersisa, kecuali sebuah rumah bedeng yang tidak difungsikan. Menurut cerita para warga, rumah-rumah ini sudah ditinggalkan penghuninya.
Namun, jangan kecil hati. Di areal museum ini, bisa ditemukan artefak menandai tonggak perjalanan program transmigrasi nasional sejak masa kolonial Belanda hingga Orde Baru. Artefak unik yang dapat kita jumpai di antaranya monumen bola besi raksasa untuk membuka lahan.
Di masa lalu, bola besi yang memiliki diameter lebih dari 1,5 meter tersebut digunakan untuk membuka areal baru, menebangi pepohonan dan semak belukar. Cara kerjanya, dua buah bola diisi dengan air dan diikatkan dengan rantai sepanjang 40 meter, lalu dibiarkan menggelinding atau didorong.
”Otomatis, pohon dan belukar akan tumbang. Pada masa lalu, sebelum ada buldoser, cara ini sering dipakai,” ujar Suwardi yang juga transmigran asal Jawa Tengah.
Sepuluh anjungan
Museum ini juga memiliki 10 anjungan daerah asal transmigrasi yang biasa kita lihat di Taman Mini Indonesia Indah. Uniknya, anjungan lampung termasuk di dalamnya pula. ”Dulu, orang Lampung juga ikut bertransmigrasi antarkota,” ungkapnya.
Di gedung utama, bisa dijumpai koleksi lain, yaitu foto-foto, mata uang, alat-alat untuk membuka areal hutan, berbagai diorama, dan film dokumenter yang terkait ketransmigrasian di Tanah Air. Namun, sayangnya koleksi ini terlihat kurang lengkap. Beberapa etalase kaca masih kosong.
Menurut Widiastuti, Kepala Seksi Pelayanan Museum Ketransmigrasian, keberadaan museum ini akan memperkuat citra Lampung sebagai provinsi transmigrasi di Tanah Air. Transmigrasi telah menghidupkan sedikitnya 13 kabupaten/ kota di provinsi ini.
Bahkan, beberapa kabupaten/ kota, seperti Tulang Bawang (dulu dikenal dengan nama Unit II), Pringsewu, Kota Metro, dan Kabupaten Mesuji, muncul menjadi kota-kota baru sebagai dampak kesuksesan transmigrasi penduduk dari Pulau Jawa.
”Kabupaten Mesuji adalah contoh keberhasilan Kota Terpadu Mandiri atau kota di tengah hutan. Di sini sudah berdiri berbagai sarana prasarana, permukiman, pusat-pusat ekonomi warga,” tuturnya. Padahal, dahulu, wilayah Mesuji adalah hutan-hutan belantara.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat, sejak masa Orde baru hingga 2006, tercatat 3.301 unit permukiman transmigrasi (UPT) di Indonesia. Sebanyak 954 UPT di antaranya telah berkembang jadi desa baru, yang sekarang dihuni setidaknya 12 juta jiwa.
Tidak ayal, program transmigrasi dikenal sukses pada masanya di dalam upaya pemerataan penyebaran penduduk dan kesempatan.
Sumber: Kompas, Kamis, 6 Mei 2010
No comments:
Post a Comment