Oleh Ilham Khoiri & Mahdi Muhammad
PANTAI barat Sumatera saat ini bagaikan kawasan tak bertuan. Kota-kota yang berjajar dari Lampung, Bengkulu, Sumatera Barat, hingga Nanggroe Aceh Darussalam itu tertinggal dalam beberapa aspek kehidupan. Padahal, dulu kawasan ini pernah menjadi titik pusaran peradaban dan jalur perdagangan internasional.
Hamparan tanaman teh terlihat di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, Rabu (28/4). Selain memiliki keindahan alam yang elok, Kota Pagar Alam juga menyimpan peninggalan megalitik yang tersebar di beberapa tempat. (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)
Kota Singkil, kota di pantai barat Sumatera, saat ini menyerupai kota mati. Permukaan tanahnya menurun sekitar 1,5 meter pascagempa Desember 2004. Wilayah ini pun kerap digenangi air dan rumah-rumah terkepung rawa. Banyak pula rumah kosong yang dibiarkan tergenang air atau tertutup ilalang.
Kondisi Kota Singkil Lama lebih mengenaskan. Sisa-sisa bangunan tua tertutup lumpur dan semak belukar. ”Kota lama ini makin tidak terawat, seperti nasib kota Singkil Baru yang juga akan begitu,” kata Tuanku Abdul Rahman (35), warga setempat.
Kesan ”tak bertuan” segera terasa begitu menyusuri jalan yang menghubungkan kota-kota itu. Ekspedisi Wisata Lintas Barat Sumatera oleh National Geographic Traveler-Kompas, akhir April-awal Mei, menemukan jalan lintas barat Sumatera yang hancur. Ada lubang-lubang besar, aspal terkelupas, bahkan longsor di jalur dari Lampung hingga Banda Aceh.
Kerusakan itu sangat parah di beberapa titik. Sebut saja ruas antara tanjakan Sedayu, Kabupaten Tanggamus, sampai Pemerihan dan Krui, Lampung Barat. Begitu pula jalan dari Kota Bengkulu menuju Mukomuko hingga Tapan, Sumatera Barat.
Di Air Punggul, sebelum Mukomuko, jalanan mirip kubangan kerbau. Lubang-lubang selebar lima meter lebih yang dipenuhi lumpur menganga di tengah jalan. Melewati jalan rusak ini, truk- truk kerap terperosok lubang, mogok, atau malah terjungkal ke jurang.
”Itu sudah biasa,” papar Sanyo (40), sopir truk asal Bengkulu.
Kehidupan kota-kota di sepanjang pantai barat juga memprihatinkan. Selain Kota Singkil, kondisi serupa tampak di Kota Natal, Kabupaten Mandailing Natal; juga di Kota Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Ketiga kota itu dulu pernah menjadi jalur perdagangan internasional.
Di Kota Natal, beberapa peninggalan lama di sekeliling alun- alun kota sudah rusak. Pantainya tak terurus dan kotor. Kegiatan ekonomi sepi. Barus, kota yang dulu terkenal dengan kapur barus atau kamper, tidak jauh berbeda. Beberapa bangunan, perumahan, tempat pelelangan ikan, dan pangkalan pendaratan ikan di pelabuhan lama itu kusut tak terawat.
”Lama sudah kota ini tak disentuh pembangunan,” kata Jufri (37), salah satu warga. Satu-satunya bangunan terbaru dalam beberapa tahun terakhir hanya stasiun pengisian bahan bakar untuk umum.
Pernah gemilang
Bisa dibilang, kehidupan pantai barat Sumatera saat ini mundur dibandingkan sejarahnya yang gemilang. Pada masa prasejarah hingga awal Masehi, kawasan Bukit Barisan yang membentang dari Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Jambi merupakan salah satu pusat kebudayaan megalitik. Banyak situs yang meninggalkan batu-batu besar untuk upacara, penguburan, permukiman, dan perkakas logam.
Bagi arkeolog di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, Agus Widiatmoko, beberapa peninggalan itu mencerminkan masyarakat zaman itu mulai mengenal hidup menetap dan teknologi pembuatan perkakas dari logam. ”Mereka berhubungan dengan budaya Dongson di Vietnam lewat pantai barat Sumatera,” katanya.
Pada abad ke-16 hingga ke-20 Masehi, kawasan pantai barat Sumatera menjadi jalur perdagangan internasional. Seperti dicatat Gusti Asnan dalam buku Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007), masyarakat di pantai yang berhadapan dengan Samudra Hindia itu berhubungan dengan beberapa negara, seperti Belanda, Portugis, Inggris, China, dan India.
Kota Barus, Singkil, dan Kota Natal merupakan titik-titik pusaran peradaban, termasuk pusat penyebaran agama Islam dan Buddha pada masa itu. Posisi di muara sungai membuat kota-kota ini menjadi pintu masuk yang strategis bagi dunia.
Timpang
Kenapa pusat peradaban Sumatera masa lalu itu kini justru terbelakang? Menurut Kepala Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara Zulkifli Lubis, perubahan moda transportasi laut ke darat, terutama dengan pembangunan jalan oleh Belanda, mendorong masyarakat beralih dari perahu atau kapal ke mobil atau kereta api. Setelah kemerdekaan, kota-kota tua itu tidak diberi peran sebagai pusat pemerintahan. Sementara para pengambil kebijakan tak punya kesadaran merawat kota-kota bersejarah itu.
Masalah lain yang hingga kini jelas-jelas dirasakan masyarakat adalah timpangnya pembangunan. Perhatian pemerintah yang kurang membuat wilayah ini jauh tertinggal ketimbang kawasan tengah atau di pantai timur Sumatera, seperti Palembang, Pekanbaru, dan Medan. Padahal, kawasan barat juga berpotensi, mulai dari perkebunan, perikanan, wisata, dan seni budaya.
”Jika pemerintah mau adil meratakan pembangunan, kami juga bisa maju,” kata Zainal Arifin, warga Bengkulu. Kapankah harapan ini terpenuhi?
Sumber: Kompas, Minggu, 23 Mei 2010
No comments:
Post a Comment