Oleh Ilham Khoiri
MENELUSURI jalan lintas barat Sumatera itu bagaikan bermimpi buruk. Jika sedang naas atau kurang berhati-hati, mimpi itu bisa menjelma menjadi kenyataan yang mengenaskan.
Kondisi infrastruktur jalan di sekitar kawasan Danau Ranau, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, Senin (27/4). Potensi wisata di kawasan pantai barat Sumatera menyimpan pesona yang tidak kalah dibandingkan dengan wilayah lain. Namun, karena kurang didukung infrastruktur yang memadai, tempat wisata tersebut kurang menarik bagi wisatawan. (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)
"Tahan, Pak!” Seorang warga berteriak sambil memberi tanda darurat dengan lampu senter.
Kami, Tim Ekspedisi Wisata Lintas Barat Sumatera oleh National Geographic Traveler-Kompas segera menghentikan laju mobil. Perjalanan tim menyurusi jalan lintas barat (jalinbar) Sumatera, Rabu (28/4), mencapai Desa Lemong, Kecamatan Lemong, Kabupaten Lampung Barat, pukul 01.00.
Di depan, beberapa kendaraan sudah antre. Jalanan menanjak dan berkelok tajam. Di salah satu kelokan, sebuah truk boks terjungkal dalam jurang sedalam sekitar 7 meter.
Kepala truk menyuruk ke tanah. Boks yang diangkutnya mendongak ke atas. Beberapa orang berusaha menarik truk bermuatan limbah kertas itu dengan mobil derek.
”Truk ini terperosok masuk jurang, Selasa (27/4) siang tadi. Kami baru bisa mendereknya malam ini,” kata Kepala Desa Lemong Imron Sumaryadi (36), yang memimpin evakuasi.
Tak jauh dari situ, di sebuah rumah makan, sopir dan kernet truk naas itu terbaring kesakitan. Adang (29), sang sopir, terluka di kaki dan tulang iga. ”Saya sudah lapor Bos kalau mobil celaka. Tidak tahu, bagaimana nanti pengiriman muatan ini dan apa saya masih dipakai lagi?” paparnya.
Dia mengaku menyetir truk itu dari Bengkulu menuju Jakarta. Tiba di turunan berkelok tajam di Lemong, truk melaju kencang tanpa bisa direm. Kendaraan itu pun nyungsep ke dalam jurang di pinggir jalan.
Kecelakaan ini hanya satu dari sekian kisah pahit dalam perjalanan melewati jalinbar Sumatera. Jalan negara dari Lampung, Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Utara, hingga Aceh itu memang kerap menyuguhkan cerita kisah sedih.
Pada Minggu (25/4) malam lalu, misalnya, beberapa truk ngadat akibat tidak kuat merangkak di tikungan rusak dan naik tajam di Sedayu, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Maju sedikit dari situ, di Pemerihan, Lampung Barat, beberapa truk terpaksa menginap di tengah hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang gelap dan lengang.
Pemandangan serupa tampak di sejumlah titik dari Bengkulu hingga Manna, Sumbar. Beberapa truk mogok di pinggir jalan. Entah karena asnya patah menghantam lubang, tak kuat menanjak, atau terjerembab ke jurang.
Bagi para sopir truk, kecelakaan semacam itu sudah menjadi risiko ketika mereka lagi naas atau kurang hati-hati. Itu biasa terjadi di jalinbar. Sopir yang celaka akan rugi berlipat. ”Barang tak terkirim tepat waktu, truk rusak, keluar biaya banyak. Bahkan, nyawa pun bisa melayang,” kata Santo (40), sopir truk ekspedisi dari Bengkulu-Lampung.
Di luar risiko terberat, masih banyak risiko lain yang sebenarnya tak kalah menyusahkan. Sebut saja seperti perjalanan terhambat, molor, biaya membengkak, dan energi terkuras.
Kisah-kisah kecelakaan itu terus berulang di jalinbar Sumatera karena memang jalur itu tak laik dilintasi. Lubang-lubang besar, longsor, dan aspal terkelupas bertebaran. Perjalanan makin sulit karena jalur itu juga berkelok-kelok tajam, turun-naik, dan menembus kawasan hutan yang gelap.
Lepas dari Bandar Lampung, kerusakan sudah terasa sejak lepas dari kota menuju Kota Agung. Demikian pula ruas berikutnya yang melintasi tanjakan Sedayu, Pemerihan, sampai Krui. Lubang-lubang besar menganga di tengah jalan dan beberapa titik longsor.
Ruas antara Krui ke Bintuhan, serta perbatasan Lampung-Bengkulu di sekitar Manna juga penuh lubang. Longsor di beberapa titik membuat kendaraan harus bergantian melintas satu per satu.
Jalan dari Kota Bengkulu menuju Mukomuko hingga Tapan, Sumatera Barat, juga berantakan. Di kawasan Air Punggul, sebelum Mukomuko, jalan dihadang lubang-lubang raksasa sebesar 5 meter lebih. Lubang itu dipenuhi air berlumpur sehingga mirip kubangan kerbau.
”Saya belum pernah lihat jalinbar Sumatera mulus dari ujung ke ujung. Sejak dulu sampai sekarang selalu rusak,” kata Sartono (45), sopir truk yang menggunakan jalur itu sejak belasan tahun silam.
Banyak sopir truk yang sebenarnya mengandalkan jalinbar untuk pengiriman barang dari Jawa menuju wilayah barat Sumatera atau sebaliknya. Jalur itu lebih dekat. Pungutan liar dengan modus jembatan timbang di kawasan itu juga relatif lebih sedikit. Jalur itu juga lumayan tak terlalu rawan keamanan.
Sebenarnya jalinbar bisa jadi alternatif angkutan barang dan penumpang lintas Sumatera. Sementara jalan lintas timur (jalintim) yang melewati Bandar Lampung-Palembang-Jambi-Riau melayani kawasan di pantai timur Sumatera. Jalan lintas tengah (jalinteng) melalui Martapura-Lahat-Lubuk Linggau untuk kawasan tengah.
Sayangnya, jalinbar tak pernah mulus, bahkan cenderung lebih buruk ketimbang jalinteng dan jalintim.
Sumber: Kompas, Kamis, 6 Mei 2010
No comments:
Post a Comment