August 11, 2007

Lampung, Lampung, Lampung

-- Andreas Harsono*

SAYA beberapa kali berkunjung ke Bandar Lampung, menemui para mahasiswa, bicara dengan wartawan, dan tentu saja, menikmati durian kotabumi. Kebetulan ada beberapa warga Lampung, antara lain Eva Danayanti, seorang alumnus Majalah Teknokra, gadis muda, cerdas, dan efisien, kini menjadi rekan kantor saya di Jakarta.

Terkadang, lewat diskusi dengan Eva dan kawan-kawannya, saya tahu adanya persaingan, sehat maupun tak sehat, antara bangsa Jawa--"Kami yang mayoritas," kata satu wartawan--dan bangsa Lampung, sang putra daerah. Eva juga cerita soal etnis Tionghoa, yang dominan dalam perdagangan, serta sering jadi kambing hitam dalam keadaan kacau.

Cuma omong-omong saja. Tak ada liputan, tak ada riset. Lampung, dari sejarahnya, jauh kurang sering berantem. Bandingkan misalnya, dengan Kesultanan Aceh, yang sudah 600 tahun berantem dengan kekuasaan di Pulau Jawa. Gerakan Aceh Merdeka hanya perpanjangan dari sejarah 600 tahun itu. Atau bangsa Papua, yang tak merasa dijadikan bagian yang jujur dari Indonesia. Atau Timor Leste, yang melawan pendudukan Indonesia, dengan korban 183 ribu jiwa mati antara 1975 dan 1999.

Persoalannya, bagaimana harian-harian di Bandar Lampung meliput serta membentuk opini soal ini? Saya kira, soal ini penting banget kalau Anda ingat analisis Benedict Anderson, guru nasionalisme dari Universitas Cornell, soal peranan media cetak dalam membentuk rasa satu nasib, rasa satu bangsa, rasa persaudaraan. Anderson terkenal dengan buku-buku klasik berjudul Java in a Time of Revolution serta Imagined Communities.

Menurut Anderson, bangsa ialah suatu masyarakat khayalan. Warga masyarakat betulan mengenal sebagian besar warga masyarakat tersebut. Suatu masyarakat khayalan atau suatu bangsa, tentu saja, tak mengenal mayoritas warga lain. Namun, media menciptakan khayalan seakan-akan mereka punya nasib sama, seakan-akan mereka saling mengenal dan bersama-sama memperjuangkan sesuatu. Saking hebatnya, khayalan ini bisa menggerakkan orang jadi emosi. Namun, bangsa juga sering jadi sasaran manipulasi. Siapa lagi kalau bukan media pula yang bikin manipulasi?

Hari ini, peranan media cetak itu secara luar biasa disaingi media elektronik, terutama televisi. Ada gosip artis dan politikus kawin-cerai, ada film Holywood supermenarik, ada pelawak macam Tukul Arwana. Orang tertarik menonton televisi, lalu enggan beli koran. Hari ini, juga praktis tak ada orang yang mendapatkan breaking news dari surat kabar. Padahal breaking
news, sejak awal abad XX, jadi daya tarik surat kabar menggaet pembaca. Surat kabar pun makin frustrasi lihat kue iklan direbut televisi. Di Jakarta, saya sering jadi korban "curhat" para redaktur, yang jengkel melihat sirkulasinya turun terus, lalu tergoda menyeleweng dari pakem-pakem jurnalisme.

Jalan keluar yang benar bagaimana? World Association of Newspapers berusaha membantu dunia persuratkabaran. WAN merupakan sebuah organisasi nirlaba, berdiri tahun 1948 di Paris. Anggotanya ada pada 102 negara, mewakili sekitar 18 ribu surat kabar (termasuk Indonesia). Mereka mempunyai macam-macam petunjuk guna mengembangkan sirkulasi dan pendapatan surat kabar. Mulai perbaikan manajemen hingga kerja sama digital.

Semuanya ada dalam proyek yang disebut shaping the future of newspapers. Saya sempat perhatikan judul-judul dari laporan mereka:

* The Power of Local Focus
* Digital Classifieds Survey
* Media Landscapes: Beyond Advertising
* The Format Change Phenomenon
* Classified Models Revisited
* Circulation science
* Profiting from Digital
* New Designs, New Formats
* Reaching and Retaining Young Readers
* The Value Driven Newspaper

Intinya, surat kabar modern tak bisa mengandalkan kecepatan lagi. Surat kabar modern harus menekankan kedalaman. "Analisis, analisis, analisis," katanya. Desain harus diperhatikan. Situs web bisa jadi tambang uang. Iklan baris perlu diformat segar. Pendapatan bukan hanya dari iklan. Sirkulasi harus lebih hemat.

Committee of Concerned Journalists dari Washington D.C. juga memberi banyak usul. Mereka usul mutu jurnalisme ditingkatkan. Surat kabar Lampung, kalau mau modern, harusnya juga makin analitis, makin bercerita serta makin mudah dibaca. Ia juga harus lebih lokal, lebih dekat kepada warga.

Surat kabar Lampung juga harus mendidik warga untuk sadar bahwa nasib mereka, sering tidak ditentukan mereka sendiri. Nasib mereka lebih sering dipengaruhi orang-orang berkuasa di tempat yang jauh dari Lampung. Entah di Jakarta, atau mungkin London, New York, Tokyo, Beijing, Kairo, dan Mekah. "Makin bermutu jurnalisme dalam suatu masyarakat," kata Bill Kovach dari Committee of Concerned Journalists, "makin bermutu pula masyarakatnya."

Lebih penting lagi, surat kabar modern harus memberikan gambar, yang sedekat-dekatnya, bahwa keragaman merupakan bagian dari Lampung. Politik bangsa-bangsaan harus diceritakan dengan segala macam background, yang tak muncul pada berita sepotong dua potong. Ia juga harus lebih memberi tempat kepada warga. Surat kabar modern bukan hanya meliput pejabat dan orang-orang besar.

Orang Amerika bilang, "It's a tall order." Ini permintaan yang sulit. Kebanyakan media Jakarta, baru bebas dari sensor dan beredel sesudah mundurnya Presiden Soeharto. Namun, fasisme Orde Baru, yang antikeragaman, gemar menindas kaum minoritas, serta mengagung-agungkan kekerasan, masih diwarisi di setiap sudut Indonesia dan Timor Leste.

Republik Indonesia, yang dibentuk pada 1950-an, juga menghancurkan semua suratkabar peninggalan Hindia Belanda. Dampaknya, tak ada garis sambung antara media di Indonesia, yang kini 95 persen dikuasai orang Jakarta, dengan jagoan-jagoan macam Tirto Adisurjo, F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, Mas Marco Dikromo, Kwee Kek Beng, atau F.D.J. Pangemanann. Ketika beberapa kali bertemu dengan orang-orang WAN, saya sering gagap bila tahu umur suratkabar-suratkabar Eropa, Amerika atau India, 150 hingga 200 tahun. Republik baru ini tak punya sejarah jurnalisme yang panjang. Paling tua umurnya 40-50 tahun.

Di Jakarta, Goenawan Mohamad dari Tempo sering mengeluh susahnya cari wartawan yang bisa menulis. Saya setuju dengan Goenawan. Coba Anda hitung berapa wartawan di Jakarta, yang biasa menulis, tentu saja dengan benar dan memikat, lebih dari 10.000 kata dalam satu cerita? Bagaimana mau bikin analisis dan cerita mendalam kalau wartawannya tak bisa menulis panjang? Tapi banyak reporter juga mengeluh. Bagaimana bisa menulis bagus dan dalam kalau setiap hari disuruh bikin dua, tiga hingga lima berita? Ini macam lingkaran setan.

Tapi siapa tahu, dari tempat dimana durian Kotabumi bikin banyak orang jatuh cinta pada makanan Lampung, bisa muncul suratkabar bermutu, yang memelopori perubahan jurnalisme kuno ala Majapahit di Jakarta?

* Andreas Harsono, Wartawan, Ketua Yayasan Pantau

Sumber: Lampung Post, Jumat, 10 Agustus 2007

No comments:

Post a Comment