March 14, 2009

Opini: Ekonomi Kreatif, Sebuah Harapan Baru

Oleh Subardjo*

SEMBURAT harap muncul dengan diluncurkannya biduk baru program kreasi pemerintah untuk menunjang capaian kemajuan ekonomi rakyat dengan tajuk "ekonomi kreatif"--walau di tempat lain sudah lebih dulu dilansir. Program ini beberapa waktu lalu telah dikampanyekan orang nomor satu di negeri ini. Menteri terkait pun sibuk menyosialisasikan.

Program ini diharapkan membantu ketertinggalan rakyat. Dengan ekonomi kreatif, rakyat jadi mandiri; meminimalkan ketergantungan, mengikis mental buruh, menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi pengangguran, menyemarakkan dunia pariwisata, menggaet devisa. Muaranya, rakyat jadi makmur.

Persoalannya, lautan kendala yang harus dilayari biduk, lebarnya jarak arung untuk sampai berlabuh di dermaga harapan. Bagaimana menghadapi anak buah kapal yang tidak proaktif, terbiasa tunggu perintah dan petunjuk, berperilaku kontraproduktif.

Upaya yang telah didesain dan dijalankan pemerintah pusat ternyata masih juga terkendala lemahnya apresiasi para penyelenggara negara di daerah. Jangan heran kalau oknum di instansi terkait sangat tidak paham dengan persoalan ini.

Untuk itu, perlu diupayakan forum diskusi yang melibatkan pemerintah pusat yang memiliki gagasan ekonomi kreatif, pemerintah daerah, akademisi, pengusaha, budayawan, seniman, perajin, agar apa yang ingin kita dengar dari pemerintah sebagai pemilik gagasan ada pengayaan pemahaman alternatif dari berbagai sudut pandang.

Dengan demikian, diharapkan dapat terelaborasi secara menyeluruh persoalan-persoalan yang melingkupi. Diharapkan akan menghasilkan konsesus atau rumusan-rumusan komprehensif, bernas, dan realistis. Lalu, dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.

***

Istilah "ekonomi kreatif" pertama kali ditawarkan John Howkins, penulis buku Creatif Economy, How People make money from Ideas. Ia produser film di Inggris yang paling aktif menyuarakan ekonomi kreatif pada pemerintah Inggris dan banyak terlibat dalam diskusi pembentukan ekonomi kreatif di Eropa.

Dr. Ricard Florida, penulis The Rise of Creative class dan Cities and Creative Class serta pemegang nobel ekonomi Robert Lucas menyatakan kekuatan yang menggerakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi kota atau daerah dapat dilihat dari tingkat produktivitas cluster, orang-orang bertalenta kreatif atau manusia-manusia yang menggunakan ilmu pengetahuan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pembukaan Trade Expo Indonesia (TEI) 2008 di Pekan Raya Jakarta, 21 Oktober 2008, menyatakan ekonomi kreatif telah menjadi salah satu lokomotif perekonomian Indonesia. Ini terlihat dari pergeseran sektor pertanian dan industri ke jasa ekonomi kreatif.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pada pembukaan Pekan Produk Budaya Indonesia, 4 Juni 2008, di Balai Sidang Jakarta, menyerahkan cetak biru pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia.

Dalam pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 yang disusun Departemen Perdagangan, ada 14 industri yang diidentifikasi sebagai industri kreatif, yakni arsitektur, disain, kerajinan, layanan komputer dan piranti lunak, mode, musik, pasar seni dan barang antik, penerbitan dan percetakan, periklanan, permainan interaktif, riset dan pengembangan, seni pertunjukan, televisi dan radio, kemudian video, film, dan fotografi.

Studi industri kreatif Indonesia 2007 oleh Departemen Perdagangan menyebutkan 14 industri kreatif itu menyumbang PDB rata-rata Rp104,638 triliun pada 2002--2006. Ini lebih besar dari kontribusi sektor pengangkutan komunikasi, bangunan, listrik, gas, dan air bersih. Pada periode yang sama menyerap 5,3 juta tenaga kerja dengan produktivitas Rp19,5 juta per pekerja per tahun, lebih besar dibandingkan produktivitas nasional yang rata-rata Rp18 juta.

Selain menyumbang ekspor, penyerapan tenaga kerja dan produk domestik bruto, ekonomi berbasis ide kreatif juga tidak terlalu bergantung pada sumber daya alam tak terbarukan. Dengan kata lain, ramah lingkungan dan sejalan dengan kebutuhan mengurangi kerusakan lingkungan.

Yang termasuk dalam industri kreatif bukanlah jenis industri baru. Masalahnya, bagaimana membangkitkan industri ini agar memiliki nilai tambah. Ini menjadi perhatian utama karena keragaman budaya kita yang tinggi dan manusianya yang secara alamiah kreatif; merupakan keunggulan potensi dan daya saing kita.

Potensi ekonomi kreatif sangat besar mengingat kekayaan budaya Indonesia yang beragam. Selama ini, kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB telah mencapai 6,4 persen.

Dalam dunia pariwisata, industri kreatif merupakan motor utama jalannya roda kepariwisataan. Semakin spesifik dan semakin kreatif produk-produk yang ditawarkan oleh sebuah wilayah tujuan wisata, makin tertarik calon-calon wisatawan berkunjung ke daerah tersebut. Makin banyak wisatawan datang, semakin besar kemungkinan nilai ekonomi yang dapat terjaring. Maka ekonomi kreatif semakin berkembang.

Provinsi Lampung dengan jumlah penduduk 7 juta orang, dengan kekayaan ragam budaya yang spesifik serta SDA melimpah, merupakan sumber daya potensial untuk dikembangkan dengan pendekatan industri kreatif. Seperti kita ketahui, tahun 2009 ini merupakan tahun pencanangan Visit Lampung Year. Pemerintah berharap kedatangan wisatawan baik domestik maupun mancanegara sebanyak-banyaknya. Program ekonomi kreatif merupakan salah satu upaya potensial guna mendorong suksesnya Visit Lampung Year 2009.

***

Definisi industri kreatif yang digunakan pemerintah mengadopsi definisi Pemerintah Inggris: Proses peningkatan nilai tambah hasil eksploitasi, elaborasi kekayaan intelektual berupa kreativitas dan bakat individu menjadi produk yang dapat dijual sehingga meningkatkan kesejahteraan bagi pelaksana dan orang-orang yang terlibat. Definisi ini memperlihatkan pentingnya ide kreatif.

Dalam tataran implementasi, pemerintah membuat model berdasar pada industri kreatif, dengan lima pilar utama (1) industri yang terlibat dalam produksi kreatif, (2) teknologi sebagai pendukung mewujudkan kreativitas individu, (3) sumber daya seperti sumber daya alam dan lahan, (4) kelembagaan mulai dari norma dan nilai masyarakat, asosiasi industri, dan komunitas pendukung hingga perlindungan atas kekayaan intelektual, dan (5) lembaga intermediasi keuangan.

Aktor utama yang terlibat adalah intelektual termasuk budayawan, seniman, pendidik, ilmuan, akademisi, peneliti, penulis, pelopor atau tokoh di sanggar seni, budaya, pebisnis atau pelaku usaha yang mentransformasikan kreativitas menjadi produk bernilai ekonomi. Pemerintah bertindak sebagai katalisator, advokasi, regulator, investor sekaligus konsumen.

***

Negara kita memiliki ribuan bahkan mungkin jutaan potensi produk kreatif yang sangat mungkin dikembangkan. Nilai budaya bangsa (cultural heritage) yang sangat kita banggakan seperti kain tapis, sulam usus, songket, batik, wayang, keris, kerajinan tangan yang berbahan kayu, rotan, kuda lumping, pertunjukan rakyat dan berbagai seni budaya lainnya merupakan aset bangsa.

Dalam 10 tahun terakhir, sektor ekonomi kreatif yang menggunakan media lukisan, film, animasi, software, dan game komputer telah mendapatkan kesempatan dan menarik perhatian dunia internasional. Bagaimana film buatan anak negeri kita berjaya di berbagai festival dunia, begitu gemuruhnya lukisan dari Indonesia mendominasi balai-balai lelang Asia. Bahkan pertunjukan cerita rakyat dari Sulawesi--La Galigo--tiket pertunjukannya di Singapura dan AS terjual habis meski tampil dalam 30 hari pertunjukan.

Maka, dapat ditarik asumsi, sangat wajar pimpinan negara ini dengan arif menawarkan alternatif pengembangan pembangunan kemakmuran bangsa dengan ekonomi kreatif. n

* Subardjo, perupa

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 14 Maret 2009

No comments:

Post a Comment