March 29, 2009

Apresiasi: Intimasi Puisi Penyair Metro

Oleh Binhad Nurrohmat*

METRO merupakan kota dengan kompleksitas kultural. Kota ini dibangun 1930-an dalam rangka Politik Etis Pemerintah Kolonial Belanda di Hindia-Belanda.

Masyarakat dari beragam suku besar di Pulau Jawa dan Pulau Bali dengan bekal cangkul, bajak, sapi, kerbau, palu, dan paku diseberangkan kapal Kolonial Belanda ke wilayah ini untuk membangun kota multikultur. Pendatang membawa tradisi agama, bahasa, niaga, bersawah, dan berladang. Pribumi tetap berkebun lada, cengkih, dan merica.

Pemerintah Kolonial membangun bendungan, jalan raya, pasar, sekolah, stasiun, dan kantor pemerintah. Pendatang bertetangga dan berbaur dengan pribumi, yaitu masyarakat suku Lampung. Banyak nama kampung di wilayah ini seperti nama kota asal pendatang. Nama Metro bisa jadi kependekan dari kata metropolitan atau berasal dari bahasa Jawa mitra (rekanan).

Metro merupakan eksperimen kultural sejak prakemerdekaan yang telah dan terus berproses nyaris seabad. Metro terus berkembang dan menjadi kota satelit yang penting di Provinsi Lampung. Sejumlah penyair menghuni kota ini. Mereka berasal dari beragam suku dan desa di wilayah Metro maupun dari kampung di luar wilayah Metro.

Para penyair Metro menulis puisi berbahasa Indonesia; yang didapat dari sekolah. Hanya di lingkungan keluarga menggunakan bahasa suku masing-masing; di luar rumah, mereka lebih banyak berbahasa Indonesia. Tidak seperti leluhurnya, mereka tak lagi mencangkul atau membajak dan mereka pun tak lagi mengolah kebun. Bahasa dan tradisi kehidupan para penyair merupakan salah satu bentuk mutakhir dari hasil proses eksperimen kultur di wilayah Metro.

Setelah rezim Soeharto berakhir pada 1998, terbit antologi puisi bersama yang terawal para penyair Metro yaitu 100 m dari Gardu Pos Kota pada 2007 (memuat ratusan puisi dari 7 penyair Metro) yang diterbitkan Dewan Kesenian Metro (berdiri pada 2003). Sebelumnya, penyair Lampung hanya identik dengan penyair Bandar Lampung.

Buku itu merupakan jejak baru yang penting dalam perpuisian Lampung di luar Bandar Lampung. Meski estetika dan tema puisi penyair Metro masih serupa watak umum perpuisian nasional di negeri ini sebagaimana juga perpuisian penyair Bandar Lampung, yaitu intimasi (keakraban) dengan alam melalui ekspresi bahasa lirikal dan liris.

Dalam Sajak Pepohonan, Sholihin Ardy menulis: sehelai daun bercerita kepadaku/"aku hanya menunggu waktu". Intimasi terhadap alam dalam puisi ini menciptakan komunikasi antara sehelai daun dan manusia.

Dalam puisi Nompi Kurniawan berjudul Kutu tersimak pengakuan seekor kutu: aku ingin seperti burung/menembus awan memanjat/cakrawala/lihat sawah, gunung, pantai, bukit./aku benci hidup jadi kutu" ucapnya pada burung saat hinggap di bulunya.//dan burung itu mematuknya./

Alam merupakan habitat manusia yang intim dan menjadi medium dan bahan utama ekspresi puitik penyair dari zaman ke zaman. Pohon dan satwa, angin dan hujan, sungai dan batu, maupun langit dan bulan merupakan sumber kosakata yang ramai dalam sejarah perpuisian di negeri ini, juga dalam perpuisian di Metro. Watak alam yang harmoni membentuk watak manusia yang menghuninya dan tercermin jelas dalam tata-bunyi dan tata-imaji bahasa puisi yang lirikal dan liris.

Alam yang direnungkan atau menjadi sumber kontemplasi dalam puisi mirip watak filsafat pra-Sokratik yang terpukau dan terilhami kenyataan alam. Intimasi terhadap alam melahirkan kontemplasi yang melahirkan alam pemikiran fisikal (filsafat alam) seperti kosmogoni dan kosmologi pra-Sokratik dan juga menyembulkan imaji spiritual-relijius misalnya dalam puisi Ahmad Muzakki Antara Angin dan Halilintar ini: antara angin dan halilintar/sabtu malam/alif-alif/mati./

Intimasi terhadap alam merupakan kewajaran dalam filsafat maupun seni dan alam mengilhami ide, amsal, imaji, metafora, atau pertautan dengan kebudayaan manusia. Misalnya, petikan puisi Erwin Syah Sepenggal Batas ini: akar tak bertemu batu/pohon tak bertemu daun//seperti bahasa tua yang tak pernah terucap/ribuan tahun/.

Bahasa merupakan produk kebudayaan manusia dan puisi ini mengamsalkan bahasa leluhur yang sudah punah dengan kosakata yang dijumput dari alam.

***

Begitulah gambaran intimasi terhadap alam yang berlangsung dengan mempertahankan watak harmoni alam dalam puisi para penyair Metro. Dalam puisi-puisi itu alam dipuja, direnungkan, atau dijadikan sumber ide, amsal, imaji, metafor, atau dipertautkan dengan kebudayaan.

Ada intimasi terhadap alam yang nonharmoni atau melakukan penyelewengan misalnya petikan puisi Zulaihatul Mahmidah Gerimis Tampak Sepi ini: hanya rinai/yang diam-diam kembali//dan menjelma bubuk-bukuk tembaga.

Petikan puisi ini merupakan keganjilan yang amat tajam karena alam (yaitu rinai hujan) melahirkan kebudayaan secara langsung atau tanpa campur tangan manusia (yaitu bubuk tembaga). Atau, barangkali puisi ini merupakan kritik ekologis yang menggambarkan kerusakan alam akibat polusi secara simbolik.

Selain itu, juga ada intimasi terhadap kehidupan masyarakat yang melahirkan sebentuk intervensi, misalnya petikan puisi Mahmud Akas Sajak Buat Penguasa ini: Di antara karung-karung para pemulung, pedagang kaki lima,/pengemis jalanan, rumah-rumah kardus, kolong jembatan,/dan kotak-kotak sampah perkantoran/tempat engkau merumuskan nasib-nasib kami./

Petikan puisi ini melakukan campur tangan terhadap hubungan masyarakat dan birokrasi pemerintah yang tidak beres dengan menggunakan bahasa yang dijumput dari lingkungan kosakata non-alam. Tak ada suara burung dan deru angin dalam puisi ini. Kenyataan masyarakat memenuhi ruang puisi ini.

Jejak awal perpuisian para penyair Metro pascarezim Soeharto menampakkan kompleksitas jamahaan persoalan serta keragaman tema dan sudut pandang. Alam serta manusia dan kebudayaan yang hadir dalam puisi penyair Metro merupakan wujud intimasi terhadap diri, alam, masyarakat, dan kotanya. Melalui puisi-puisi itu, Metro dibaca oleh mata batin para penyairnya dan dihadirkan bukan melalui statistik demografi, tingkat pendapatan ekonomi, maupun jumlah angkotnya, tapi melalui puisi.

Akhir kata, puisi merupakan bentuk tanggung jawab tertinggi penyair dalam masyarakat. Tindakan seorang penyair adalah puisi yang dipublikasikan ke masyarakat; buku ini merupakan contoh konkretnya.

* Binhad Nurrohmat, penyair, baru menyelesaikan visiting writer di Semenanjung Korea.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Maret 2009

No comments:

Post a Comment