Oleh Septa Muktamar*
SECARA umum, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi. Memahami bahasa tertentu akan membantu seseorang beradaptasi dengan lingkungan. Proses adaptasi bahasa pada individu memandunya mengidentifikasikan diri pada kelompok yang memiliki bahasa.
Penelitian Chomsky menyatakan proses alamiah dalam adaptasi bahasa, perlahan membentuk ikatan sosial antara individu dan individu lain dalam sebuah kelompok masyarakat. Terbentuknya ikatan sosial menciptakan identitas kultural sebuah kelompok. Syarat yang harus terpenuhi tentu saja masih terdapat sejumlah penutur yang menggunakan bahasa tersebut.
Bahasa Lampung sebagai bahasa daerah merupakan salah satu bahasa yang masih bertahan. Saat ini, ada 13 bahasa daerah yang jumlah penuturnya lebih satu juta penutur, termasuk bahasa Lampung (Kompas, 14-11-07).
Harus disadari identitas kultural kita sebagai masyarakat Lampung mulai luntur, apalagi di kalangan generasi muda. Adat dan budaya Lampung hanya digunakan dan dipraktekkan di daerah-daerah, di kantong masyarakat asli. Di perkotaan nyaris punah.
Anak-anak muda kini gengsi menggunakan bahasa Lampung. Bahasa Lampung seolah-olah menjadi bahasa kampungan, kalah dengan bahasa gaul ala anak muda Jakarta.
Ancaman punahnya bahasa Lampung, seperti yang ditulis Muhammad Hasim (Lampung Post, 25-2), mungkin dapat saja terjadi. Selain masyarakat Lampung asli bukanlah mayoritas, kenyataan menunjukkan bahasa Lampung tidak menjadi tuan rumah di daerah sendiri.
Penulis memiliki ilustrasi sebagai berikut. Ada dua orang Lampung berbicara menggunakan bahasa Lampung, kemudian datang orang ketiga; kebetulan orang Jawa. Setelah bertiga, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Selanjutnya datang orang keempat yang kebetulan orang Jawa lagi, yang terjadi selanjutnya mereka berempat menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi.
Orang Lampung tidak percaya diri memakai bahasa Lampung dalam berkomunikasi, terlihat juga orang Lampung asli tidak mampu memengaruhi pendatang menggunakan bahasa Lampung. Jika ini terus terjadi, tentu saja bahasa Lampung akan menjadi bahasa yang ditinggalkan penutur.
Bandingkan dengan daerah Sumsel, Jawa ataupun Sunda. Di daerah-daerah tersebut, mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat sedapat mungkin berkomunikasi dengan bahasa-bahasa tersebut. Di Palembang, orang Jawa, Lampung, Padang atau suku-suku lain begitu datang dan menetap di daerah itu langsung menggunakan bahasa setempat; begitu juga di Bandung, Semarang, dan lainnya.
Tuan Rumah
Para ahli membagi bahasa Lampung dua dialek: Api dan nyou. Kini dikenal istilah dalam pelajaran bahasa Lampung, dialek I dan dialek O. Kesulitan diperoleh ketika bertemu kedua penutur dialek; mereka tidak dapat menentukan menggunakan salah satu bahasa.
Pemprov Lampung sejak lama mengupayakan bahasa Lampung masuk muatan lokal dalam kurikulum SD dan SMP melalui pelajaran bahasa Lampung. Dalam buku-buku pelajaran bahasa Lampung yang menjadi pegangan siswa, proporsi penguasaan bahasa lebih banyak pada penekanan bahasa tulisan. Dalam materi-materinya, siswa dipaksa mempelajari kedua dialek.
Dalam kerangka yang lebih besar, menurut Udo Z. Karzi, seharusnya mengajarkan bahasa bukan sekadar mengajarkan bahasa, melainkan siswa diajak belajar berbahasa karena kemampuan berbahasa meliputi mendengar, berbicara, membaca, dan menulis (Lampung Post, 21-2-07). Akibatnya, tujuan penguasaan bahasa Lampung di kalangan siswa tidak maksimal.
Berkurangnya jumlah penutur bahasa Lampung menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pelestarian budaya Lampung, sebab bahasa menunjukkan identitas sebuah kebudayaan. Di tengah gempuran bahasa asing dan bahasa gaul, bahasa Lampung harus menjadi tuan rumah masyarakat Lampung.
Sebagai perekat sosial masyarakat, bahasa Lampung harus digunakan orang Lampung asli dan pendatang sehingga sekat-sekat perbedaan dan rasa memiliki sebagai orang Lampung dapat terwujud.
Penulis berpikir sederhana, penggunaan bahasa Lampung dapat dipraktekkan dengan cara memulai berbahasa Lampung menggunakan standar bahasa Lampung. Penutur bahasa Lampung, baik jurai Sai Batin atau Pepadun, baik berdialek I dan O, mesti sepakat memilih bahasa dari kedua dialek tersebut. Penulis mengusulkan, bahasa Lampung yang dituturkan orang Lampung yang tinggal di Bandar Lampung menjadi bahasa standar.
Mengapa Bandar Lampung? Penulis memiliki alasan, Bandar Lampung sebagai ibu kota provinsi merupakan pusat aktivitas; Bandar Lampung dapat menjadi kiblat dan pionir pemakaian bahasa Lampung.
Seperti di daerah lainnya, ibu kota selalu menjadi magnet. Begitu juga dalam berbahasa, jika kita biasa berkomunikasi dalam bahasa Lampung antarpenutur Lampung asli, orang Lampung yang tidak biasa berbahasa Lampung akan berupaya belajar dan menguasai bahasa.
Penggunaan bahasa dapat saling memengaruhi. Lihatlah di daerah lain seperti Sumatera Selatan dengan ibu kota Palembang. Sebagai tetangga terdekat, di sana ada bahasa standar, walaupun masyarakatnya juga berbagai suku; ada Ogan, Komering, Semendo. Tetapi bila bertemu, yang digunakan bahasa Palembang kota. Di Semarang atau Yogyakarta, masyarakatnya pun beragam, ada Banyumasan dan Cirebonan. Jika berkomunikasi, masyarakat menggunakan bahasa Jawa standar.
Begitu juga di daerah lain seperti bahasa Banjar di Kalsel, Bugis di Makassar, dan Bengkulu. Itu artinya, bahasa-bahasa di kota tersebut dapat memengaruhi varian-varian bahasa dari subsuku tertentu yang membentuk kesatuan ikatan sosial pada masyarakatnya.
Digunakannya bahasa Lampung standar ibu kota akan mendorong adaptasi bahasa Lampung secara alamiah. Ini perlahan dapat membentuk ikatan sosial antarindividu dalam sebuah kelompok masyarakat sehingga terwujud perasaan kesatuan dan kecintaan sebagai orang Lampung. n
* Septa Muktamar, PNS Pemkab Way Kanan
Sumber: Lampung Post, Rabu, 4 Maret 2009
No comments:
Post a Comment