March 30, 2013

Ikam Ulun Lampung

Oleh Tita Tjindarbumi

JAUH dari tanah Lampung biasanya membuat kita semakin jauh dari peradaban tanah kelahiran. Tetapi itu tak terjadi pada diri ikam. Saya memakai kata “ikam” karena saya asli putri kelahiran tanah Lampung. Tepatnya, nenek moyang ikam berasal dari Kalianda. Ikam justru merasa ingin lebih dekat dengan segala yang berbau lampung, berbicara dalam bahasa Lampung, menulis soal adat istiadat yang berlaku di tanah Lampung bahkan ingin bersastra dengan menggunakan bahasa Lampung.

Namun, ikam yang mengaku Ulun Lampung, sepertinya hanya sebagai sebutan saja. Kenapa begitu? Ikam yang katanya Ulun Lampung, keturunan asli marga Tjindarbumi asal Kalianda, nyata senyatanya, sejak kecil tidak pernah diakrabi dengan hal-hal yang berbau Lampung. Bagaimana mau berkomunikasi dalam bahasa daerah Lampung? Di sekolah sejak TK tidak pernah ada pelajaran bahasa daerah dan di rumah tak ada yang menggunakan bahasa Lampung dalam percakapan sehari-hari.


Ketika membaca calon buku Udo Z Karzi yang berjudul Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan yang sedang proses cetak, ikam merasa semakin mempertanyakan diri sendiri, sungguhkah ikam memang ulun Lampung?

Di dalam bukunya itu. Udo menyarankan sekaligus menyentil seniman asal Lampung agar memulai usaha pengembangan sastra (bahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Yang menurut Udo, sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti sastra daerah lainnya, yakni sastra Jawa, sastra Sunda dan sastra Bali. (hlm. 64).

Sentilan Udo memang jitu, ikam pribadi langsung seperti kena strum. Ikam banyak menulis puisi, cerpen dan tulisan lainnya, tetapi tak terpikir untuk menulis sastra dengan mengangkat budaya, adat atau landmark yang berbau tanah Lampung. Keterbatasan bahasalah yang membuat ikam seperti menyerah sebelum maju.

Tak Ada di Sekolah

Siapa yang harus dipersalahkan ketika banyak ulun Lampung yang tidak bisa berbicara dalam bahasa Lampung. Bahkan ikam baru saja berpikir, ketika ikam masih sekolah di tingkat TK, ikam tidak pernah mendengar teman ikam berkomunikasi dalam bahasa Lampung ketika di sekolah. Kalau pun ada beberapa yang menggunakannya, ikam tidak paham artinya.
Lalu mengapa tidak ada pelajaran bahasa daerah Lampung di mata pelajaran sekolah tingkat TK. SD, SMP, SMA? Begitu sulitkah dipelajari? Atau memang tenaga pengajar yang tidak ada?

Bisa jadi kesempatan kami ulun Lampung yang menghabiskan masa kecil di tanah Lampung, tidak cukup dibekali pengetahuan tentang Sejarah tanah Lampung dan diajari bahasa Lampung baik lisan maupun tulisan. Sehingga ketika ikam bersama teman-teman menyanyikan lagu “Tepui-tepui” atau lagu “Pang Lipangdang” ikam hanya ikut-ikutan menyanyi tanpa memahami apa arti lirik lagu-lagu tersebut. Kenapa? Ikam tidak bisa berbahasa Lampung sekaligus tidak paham artinya.

Situasi seperti ini, akhirnya dibawa sampai dewasa. Apa yang dapat dilakukan oleh ikam yang penulis asal tanah Sang Bumi Ruwa Jurai untuk ikut memajukan sastra berbahasa Lampung? Ini sungguh membuat ikam merasa bersalah dan seperti anak daerah yang lupa pada daerahnya.

Itu sebabnya ikam menulis soal ini, setidaknya bisa dijadikan gambaran bahwa menjadi anak daerah harus bisa bahasa daerah dan memahami artinya. Sekarang saja ikam bisa berbahasa Jawa dan memahami meski sebatas bahasa pergaulan saja.

Bahasa Gaul

Kebayang nggak jika dalam pergaulan sehari-hari ulun Lampung semua menggunakan bahasa Lampung seperti halnya di daerah Surabaya yang menggunakan bahasa Jawa bergaya arek Suroboyo? Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa.
   
Membudayakan menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa dalam pergaulan, sangat membantu melejitkan perkembangan bahasa daerah termasuk “melampungkan” tanah kelahiran kita. Upaya semacam itu sudah dilakukan oleh Jokowi ketika menjadi walikota Solo dengan mewajibkan menggunakan busana daerah di hari tertentu, lalu dilanjutkan kebiasaan baik itu saat beliau menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
   
Kenapa Lampung tidak mencontoh Jokowi jika bisa membuat perkembangan bahasa daerah Lampung tidak hanya tumbuh di kampung atau pelosok daerah lampung, tetapi juga menjadi icon di kota dan semua lini yang ada di tanah lampung. Yang pada akhirnya bahasa Lampung akan juga bisa dipelajari oleh pendatang?

Nah, jika saja program menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa pergaulan di Lampung berjalan baik, bukankah semua ulun Lampung tidak akan merasa kesulitan ketika bertemu sesama ulun Lampung yang tinggal di kota lain, setidaknya jalinan persaudaraan semakin erat sesama ulun Lampung. Dengan begitu para seniman Lampung pun tidak akan merasa ragu ketika menulis puisi, cerpen, novel, esai, dll dengan menggunakan bahasa Lampung, sebab yang baca pun bisa memahami langsung apa yang dibaca. Tak perlu penerjemah.

Dengan begitu harapan Udo perlahan akan bisa tercapai, tak hanya mimpi belaka. Selain itu, seniman Lampung akan lebih bergairah memajukan sastra daerah karena tak perlu memikirkan apakah ada yang membaca dan memahami isi tulisan mereka. Toh semua ulun Lampung sudah bisa berbahasa Lampung, lisan maupun tulisan.

Tita Tjindarbumi, Penulis asal Kalianda, Lampung yang kini tinggal di Surabaya

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Maret 2013



2 comments:

  1. Smoga lbh bnyak lg artikel/kajian/tulisan ttg Lampung khususnya bahasa Lampung..lanjut kak :)

    ReplyDelete
  2. saya berkeinginan untuk paham dan bisa berbahasa lampung.

    ReplyDelete