March 30, 2008

Apresiasi: Dari 'Keroncong Protol' hingga 'Keroncong Lampung'

BICARA musik keroncong, mungkin satu hal yang ada di benak adalah musik zadul atau zaman dahulu. Bahkan, hampir bisa dikatakan kini perkembangan musik keroncong mengalami stagnasi.

Salah satu indikasi yang amat sangat terlihat adalah tidak ada lagi pemilihan Bintang Radio Televisi (BRTV) untuk kategori musik keroncong lagi sejak beberapa tahun belakangan ini. Padahal dahulu, ajang ini menjadi salah satu tolok ukur akan keberhasilan seorang yang akan terjun di dunia musik Indonesia. Sebut saja nama Hetty Koes Endang, Sundari Soekotjo, serta beberapa nama penyanyi keroncong lain.

Bahkan, kegiatan yang selalu digelar setiap tahun, tiba-tiba saja sejak sekitar tiga tahun lalu kembali digelar dengan format baru yang mencoba mengadopsi acara talent show yang ada di dunia populer sekarang. Dengan demikian, kegiatan ini hanya menghadirkan penyanyi-penyanyi muda untuk kategori pop semata sehingga musik keroncong menjadi makin hilang dari peredaran musik Tanah Air.

Sebab itu, bisa dipastikan anak-anak muda kini terbatas pengetahuannya mengenai musik keroncong. Mereka hanya mengenal sosok Gesang sebagai pembuat lagu Bengawan Solo yang memang fenomenal atau sosok Waljinah dengan Walang Kekek yang kerap menjadi satu ikon kejadulan dalam dialog keseharian anak-anak terutama di kota besar. Tidak ada perkembangan lain yang diketahui mengenai musik keroncong.

Sampai kemudian Bondan Prakoso, penyanyi anak-anak yang sudah tampil remaja dan pernah bergabung dengan band funk rock, Fungky Kopral, dalam album solo teranyarnya menghadirkan nuansa keroncong pada salah satu lagu andalannya yang diberi judul Keroncong Protol. Nuansa lenggam khas musik keroncong dipadukan dengan sangat manisnya musik RnB masa kini. Terutama dengan balutan musik rap yang diusung Fade To Black yang berduet dengan Bondan.

Dengan demikian, musik keroncong mulai kembali dari keterasingannya. Atau paling tidak, ini bisa menjadi satu bekal bahwa masih ada anak muda kini yang masih mau mengembangkan dan mengenalkan musik keroncong yang menurut sejarahnya sudah dikenal sejak dahulu di Indonesia.

Bahkan, banyak ahli yang mengatakan keroncong adalah musik khas Indonesia. Makanya ketika Bondan meluncurkan album ini dan menjadi hits di kalangan anak muda. Harapannya akan banyak anak muda yang terpincut musik tersebut.

Salah satu yang juga dilakukan Dewan Kesenian Lampung (DKL) lewat Komite Musik-nya adalah meluncurkan satu CD Keroncong Lampung. Bahkan, dalam rangka menyambut HUT Provinsi Lampung pada 18 Maret lalu, mereka membagikan CD tersebut secara gratis ke berbagai pusat perbelanjaan, rumah makan, tempat publik, serta beberapa angkutan umum di Kota Bandar Lampung.

Ketua Komite Musik DKL, Entus Al Rafi, mengatakan pemberian CD secara cuma-cuma tersebut dilakukan guna menyemarakkan HUT Provinsi Lampung serta menyosialisasi tembang-tembang Lampung kepada masyarakat.

"Kami akan membagikan CD ini ke berbagai pusat perbelanjaan, rumah makan, serta tempat pelayanan publik seperti terminal, bandara, stasiun, dan pelabuhan. Selain itu juga, kami akan juga membagikannya ke beberapa angkutan kota yang ada," kata Entus.

Hal ini, menurut dia, disebabkan lagu-lagu daerah Lampung belum dikenal sebagian besar masyarakat. "Padahal lagu daerah Lampung memiliki kekhasan dan karakteristik tersendiri sehingga dibutuhkan satu tindakan pengenalan kepada masyarakat tentang musik Lampung ini."

Meskipun demikian, ujar Entus, pembagian CD ini masih sangat terbatas sekali. "Karena CD ini memang dibuat dengan terengah-engah dan terbatas copy-annya. Kami hanya memiliki 100 CD, yang nantinya dibagikan gratis. Mudah-mudahan ini bisa menyosialisasikan lagu Lampung kepada masyarakat luas terutama wisatawan. Apalagi menjelang ulang tahun Provinsi Lampung," ujarnya.

Apalagi, menurut dia, CD ini menawarkan satu warna yang berbeda dari album lagu Lampung yang sudah ada di pasaran. "Sebab, di sini kami menawarkan musik keroncong yang dibawakan Keroncong 56 yang kesemuanya terdiri dari anak muda. Begitu juga dengan penyanyinya yang semuanya anak muda, yakni Fika 'AFI', Sanda, Semar Jaya, Samsuri, Iin, dan Dodi Kurniawan."

Inilah yang coba dijual Entus lewat album ini. Anak-anak muda dilibatkan dengan harapan akan menarik pendengar dari kalangan anak muda. Meskipun memang dari jenis suara dan cengkokan lagu yang dinyanyikan masih sangat jauh dengan musik keroncong yang asli, sebagai bentuk pengenalan dan sosialisasi, album ini tentu saja patut diapresiasi terutama bagi perkembangan musik keroncong.

Namun, keroncong Lampung yang ditawarkan memang berbeda dengan keroncong yang ada. "Meski ada langgam-nya, di sini dibuat berbeda. Flute yang menjadi ciri khas lagu keroncong digantikan saksofon. Selain itu juga, kami menambahkan musik tradisi lain yang digabungkan dengan irama cha-cha, jazzy, balada, serta beberapa musik lain yang dipadukan menjadi irama keroncong yang sangat enak didengar," tambah Entus lagi.

Sejarah Musik Keroncong

Keroncong adalah sejenis musik Indonesia yang memiliki hubungan historis dengan sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado. Sejarah keroncong di Indonesia dapat ditarik hingga akhir abad ke-16, saat kekuatan Portugis mulai melemah di Nusantara. Keroncong berawal dari musik yang dimainkan para budak dan opsir Portugis dari daratan India (Goa) serta Maluku.

Bentuk awal musik ini disebut moresco, yang diiringi alat musik dawai. Dalam perkembangannya, masuk sejumlah unsur tradisional Nusantara, seperti penggunaan seruling serta beberapa komponen gamelan. Lalu pada sekitar abad ke-19 bentuk musik campuran ini sudah populer di banyak tempat di Nusantara, bahkan hingga Semenanjung Malaya. Namun, kini perkembangannya sudah sangat lambat sekali.

Konon banyak orang menduga, keroncong lahir di Jawa Tengah. Padahal alunan musik penuh melodi dengan entakan romantis ini dijumpai hampir di seluruh Pulau Jawa, termasuk Jawa Barat. Instrumen musik tradisional ini pun tak bisa ditemui di bagian lain dunia.

Musik keroncong yang dikolaborasi dengan alat musik (instrumen) modern telah melahirkan aliran baru, yakni musik campursari. Seperti yang dilakukan Manthous, musisi dan penyanyi asal Gunung Kidul Yogyakarta, memberikan pencerahan musik kepada generasi muda kalau musik keroncong tidak identik dengan kesukaan opa-oma.

Namun ada yang patut dibanggakan, keberadaan maestro-maetro musik keroncong seperti Gesang, Waljinah, dan generasi kekinian seperti Sundari Sukoco dan Mus Mulyadi, namanya masih sangat dikenal di negara Sakura. Album rekaman mereka masih laku dijual di sana (Jepang), bahkan Gesang dan Waljinah secara khusus mendapat royalti internasional untuk musik keroncongnya.

Akan tetapi, di Indonesia musik keroncong masih terpinggirkan, terutama di kalangan anak mudanya sehingga harapannya ke depan makin banyak lagi album-album anak muda yang mengikutkan musik keroncong di dalamnya. Ini dilakukan sebagai bentuk meningkatkan apresiasi di kalangan anak muda. Atau bisa jadi memasukkan jenis musik ini dalam kegiatan lomba talent show yang kini menjamur. Harapannya musik asli Indonesia ini tetap tumbuh dan berkembang di negeri sendiri. n TEGUH PRASETYO/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Maret 2008

No comments:

Post a Comment