March 7, 2008

Wawancara: Ngobrol dengan Udo Z. Karzi

Udo Z. Karzi, sastrawan Lampung cum jurnalis baru-baru ini mendapatkan Anugerah Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage yang dipimpin sastrawan Ajip Rosidi. Pria kelahiran Liwa, Lampung Barat, 12 Juni 1970 ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya orang bersuku Lampung yang mempublikasikan karya-karya puisinya dengan bahasa Lampung.

Udo Z. Karzi adalah nama pena untuk Zulkarnain Zubairi. Bersama istri dan seorang anaknya yang masih balita dia kini tinggal di Kabupaten Kotawaringin Barat, Pulau Borneo, karena ditugaskan Media Group bekerja di Harian Borneonews.

Pernah menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mahasiswa Teknokra Universitas Lampung (1993-1994), Pemimpin Umum Majalah Republica (1994-1996), dan Pembimbing Majalah Ijtihad (1995-1998).

Banyak menimba pengalaman dari berbagai kelompok/kegiatan diskusi: Kelompok Studi Merah Putih, Forum Dialog Mahasiswa (Fordima), Forum for Information and Regional Development Studies (FIRDES), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Terjun ke dunia jurnalistik sebagai wartawan lepas Harian Umum Lampung Post (1995-1996) dan reporter Majalah Berita Mingguan Sinar, Jakarta (1997-1998). Sempat mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar Ekonomi-Akuntansi SMA Negeri dan MAN di kota kelahirannya (1998) sebelum menjadi jurnalis Surat Kabar Umum Sumatera Post (1998-2000), Harian Lampung Post (2000-2006), dan Harian Borneonews, Pangkalan Bun (2006-....) ,

Dia menulis puisi, cerpen, dan esai di berbagai media lokal dan nasional sejak 1987. Pengamat sastra menilainya membawa pembaruan dalam tradisi perpuisian berbahasa Lampung sebagaimana terlihat dalam buku sajak dwibahasa Lampung-Indonesianya: Momentum (Dinas Pendidikan Lampung, 2002) dan karena itu dia disebut "bapak puisi modern (berbahasa) Lampung".

Buku puisinya, Mak Dawah Mak Dibingi (BE Press, 2007) meraih Hadiah Sastera Rancagé 2008 untuk kategori sastra Lampung.

Sajak-sajak lainnya termuat dalam Daun-Daun Jatuh, Tunas-Tunas Tumbuh (Teknokra, 1995), Lampung Kenangan, Krakatau Award 2002 (Dewan Kesenian Lampung, 2002), Konser Ujung Pulau (Dewan Kesenian Lampung, 2003), Pertemuan Dua Arus (Jung Foundation, 2004), Maha Luka Aceh (PDS HB Jassin, 2005), Ode Kampung (Rumah Dunia, 2006), dan Anthology Empati Jogja (Pustaka Jamil, 2006).

Cerpen-cerpen termuat dalam Sapardi Djoko Damono dkk. (Ed.) Graffiti Imaji (YMS, 2002) dan The Regala 204B (Gapuraja, 2006).

Berikut wawancara saya (Oyos Saroso H.N.) dengan Udo Z. Karzi seputar Anugerah Sastra yang baru saja diraihnya itu.

--

Di tengah miskinnya karya sastra berbahasa Lampung anugerah Rancage ini tentu sangat membahagiakan. Bukan hanya bagi Zul. Tapi juga bagi masyarakat Lampung. Perasaan Anda sendiri bagaimana? Apa arti penghargaan ini bagi Anda dan masa depan sastra berbahasa Lampung?

Senang, tentu. Namun, saya agak tegang juga mengingat buku Mak Dawah Mak Dibingi itu sebenarnya hanyalah pintu masuk saja bagi sebuah upaya memperjuangkan keberadaan bahasa dan sastra Lampung. Setelah ini, para seniman (sastrawan) Lampung dalam arti sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai media kreativitasnya, harus tetap berupaya melahirkan karya-karya sastra berbahasa Lampung. Minimal satu buku satu tahun. Sementara itu, para seniman (tradisi) Lampung masih terlalu asyik dengan kelisanan mereka. Saya sangat berharap setelah Hadiah Sastera Rancage 2008 diberikan kepada sastra Lampung, kehidupan sastra berbahasa Lampung semakin bertambah dinamis.

Paling tidak, ada semacam kebangkitan sastra berbahasa Lampung seiring dengan tumbuhnya 'kepercayaan diri' penutur bahasa Lampung bahwa ternyata bahasa Lampung bisa bergaya, bahasa Lampung bisa berdaya, dan bahasa Lampung bisa modern. Bahwa bahasa Lampung bisa menjadi media ekspresi imajinatif-kreatif, sehingga bisa melahirkan karya sastra sebagaimana bahasa-sastra Sunda, Jawa, dan Bali .

Publik sebenarnya baru tahu bahwa Anda menulis sastra Lampung belum lama (belum sampai 10 tahun). Apa yang melatarbelakangi Anda menulis sastra berbahasa Lampung? Bukankah menulis sastra berbahasa Indonesia lebih mudah, apalagi di Lampung banyak sastrawan yang bisa dijadikan ‘sparing partner’?

Sebelum tahun 1999 saya memang belum tertarik menulis dalam bahasa Lampung. Sebuah puisi saya "Bagaimana Mungkin Aku Lupa" menjadi pemenang kedua Lomba Cipta Puisi Narasi Wisata-Budaya Lampung yang diselenggarakan dalam rangkaian Festival Krakatau IX tahun 1999.

Benar puisi itu berisi pengalaman batin saya tentang apa yang -- mungkin -- disebut sebagai budaya Lampung. Tapi, saya lihat betapa banyak catatan kaki yang harus saya buat untuk puisi itu. Saya iseng mengalihkan puisi saya itu ke bahasa Lampung. Lumayan bagus saya baca dan terasa lebih tepat untuk mengembangkan imajinasi tentang kelampungan. Dan, satu hal lagi, ketika puisi itu berubah menjadi puisi berbahasa Lampung, saya tidak memerlukan catatan kaki lagi untuk kata atau idiom khas bahasa Lampung.

Sementara itu, saya mulai berkenalan dengan majalah berbahasa Jawa, Penjebar Semangat yang di dalamnya memuat artikel, geguritan, cerita cekak (cerkak), cerita humor, dan lain-lain.

Pada tahun 1999 itu diselenggarakan sebuah seminar bahasa Lampung. Meskipun saya tidak mengikuti seminar, tetapi saya membaca berita tentang bagaimana bahasa Lampung terancam punah. Pakar sosiolinguistik Asim Gunarwan waktu itu mengatakan, jika tidak diupayakan pelestariannya dalam tiga sampai generasi (75 tahun-100 tahun) lagi bahasa Lampung akan punah.

Saya tidak mau mengomentari apa yang dilakukan akademisi, pakar bahasa, dan pemerintah daerah terhadap bahasa dan sastra Lampung. Saya hanya ingin menuliskan puisi dalam bahasa Lampung. Tahun 2000 jadilah beberapa puisi berbahasa Lampung yang terkumpul dalam sebuah manuskrip. Semua berbahasa Lampung. Tapi, apa daya sebuah penerbit yang mengaku memiliki komitmen terhadap pengembangan seni dan budaya Lampung menolak menerbitkan buku puisi Lampung saya itu.

Alasannya, Lampung tidak kenal puisi seperti itu. Tapi, saya tidak habis pikir. Kalau bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Bali bisa, mengapa tidak dengan bahasa Lampung. Lalu, ada saran agar puisi-puisi itu dibuat dalam dua bahasa Lampung dan Indonesia . Akhirnya, buku kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesia, Momentum itu diterbitkan Dinas Pendidikan Lampung tahun 2002.

Saya sempat kapok menerbitkan buku berbahasa Lampung. Tapi, diam-diam saya siapkan sebuah manuskrip puisi Mak Dawah Mak Dibingi/Tak Siang Tak Malam. Masih dua bahasa Lampung-Indonesia. Saya masih ogah-ogahan menerbitkan buku itu, meski katanya judulnya cukup 'menjual'. "Ah, nanti-nanti sajalah," kata saya.

Sampai kemudian saya ditugaskan ke Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, September 2006. Melalui dunia maya, saya berkenalan dengan Bang Irfan Anshory (di Bandung, Jawa Barat). Melalui e-mail kami mendiskusikan tentang sastra Lampung. Kebetulan, dia sudah mendengar saya pernah menerbitkan buku puisi Lampung.

Dari komunikasi yang intens, tercetuslah 'semangat' untuk memajukan sastra berbahasa Lampung. Kebetulan di Lampung ada Y Wibowo, Mustaan, dan Budi Hutasuhut yang bergerak di bidang penerbitan perbukuan, yang di dalamnya sebenarnya saya terlibat. Kemudian tercetuslah gagasan untuk segera menerbitkan buku puisi berbahasa Lampung. Kalau tadinya dua bahasa, disepakati untuk satu bahasa saja: bahasa Lampung.

Maka, terbitlah buku puisi saya itu, Mak Dawah Mak Dibingi (BE Press, Bandar Lampung, Desember 2007).

Sejak awal -- katakanlah semenjak terbitnya Momentum (2002) sebenarnya saya mengajak orang Lampung untuk menulis sastra dalam bahasa ibunya: bahasa Lampung. Tapi, saya sadar betul betapa sulitnya karena kebanyakan orang Lampung (bersuku Lampung), terutama kaum muda justru sulit berbicara bahasa Lampung. Berbicara saja susah, apalagi hendak menjadi penulis sastra berbahasa Lampung.

Yang terjadi kemudian adalah betapa orang Lampung semakin gencar mementaskan sastra (tradisi) lisan Lampung. Berbagai proyek pun digelar semacam pelatihan sastra lisan Lampung. Saya sih setuju saja, tetapi saya hanya menyayangkan para seniman Lampung lebih asyik-musyuk dengan tradisi kelisanan itu. Ada juga yang mendokumentasikan sastra tradisi lisan itu dalam bentuk rekaman atau buku.

Namun, tradisi kepenulisan sastra berbahasa Lampung tak bergerak-gerak juga. Dengan latar itulah, saya menulis dengan bahasa Lampung. Setidaknya, ini sebuah upaya saja agar bahasa Lampung tak benar-benar terkubur.

Lampung banyak dengan sastrawan yang menulis dengan bahasa Indonesia . Beberapa puisi dan cerpen berbahasa Indonesia saya sesekali masuk koran dan tergabung dalam beberapa antologi bersama. Tapi, masalahnya, siapa yang mau memberdayakan bahasa Lampung. Kesadaran bahwa bahasa Lampung bisa lebih berdaya guna harus mulai dibangun.

Selama ini adakah kendala dalam menulis sastra Lampung? Apa saja kendala itu?

Sebenarnya tidak ada. Kendala itu hanya berkaitan dengan teknis belaka ketika hendak disosialisasikan atau dipublikasikan. Tidak seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Bali , Lampung tidak memiliki majalah berbahasa Lampung. Apalagi hendak diterbitkan menjadi buku. Lebih sulit lagi.

Namun sebenarnya masalah ini lebih terkait dengan masalah komitmen untuk -- sebenar-benarnya -- mengembangkan bahasa-sastra-budaya Lampung. Mana bisa membangun bahasa-sastra-budaya Lampung dengan sikap yang kelewat pragmatis, materialistis, serta penuh dengan perhitungan untung-rugi atau dengan mental 'saya harus mendapatkan sesuatu dari kerja ini'.

Wah, menerbitkan buku sastra berbahasa Lampung itu dijamin rugi. Tapi, dalam jangka panjang buku sastra Lampung itu mempunyai nilai strategis bagi perjalanan bahasa-budaya Lampung itu. Tapi, kebanyakan kita tidak mau berpikir ke arah sana .

Banyak orang mengatakan bahasa Lampung akan punah dalam beberapa puluh tahun lagi jika tidak ada langkah antisipasi yang konkret. Menurut Anda sebenarnya kondisi bahasa Lampung seperti apa sih?

Sebuah penelitian mengatakan, hanya Provinsi Lampung yang bahasa pendatang lebih dominan ketimbang bahasa setempat. Kondisi bahasa Lampung -- diakui atau tidak -- memang berada dalam kondisi yang mengenaskan. Sebagai salah satu penutur, saya seperti berada dalam kekhawatiran yang sangat akan nasib bahasa Lampung.

Anak saya, keponakan-keponakan saya adalah contoh konkrit betapa pemakaian bahasa Lampung semakin tidak populer. Suatu keadaan yang memang tidak mungkin ditolak memang. 'Serbuan' bahasa Indonesia dan bahasa lain ke Lampung tidak mampu ditahan bahasa Lampung.
Sementara pengajaran bahasa Lampung di sekolah masih jauh panggang dari api. Alih-alih membuat siswa bisa berbahasa Lampung, mereka malah dibuat bingung, bahkan ada yang sampai pobi dengan bahasa Lampung.

Menurut Anda, apa sebenarnya problem besar bahasa Lampung?

Masalah bahasa Lampung saya pikir sangat kompleks. Jumlah penutur yang hanya sekitar 15% dari penduduk Lampung menjadi masalah utama. Upaya memperluas pemakaian bahasa Lampung sering terbentur oleh heterogenitas bahasa yang dituturkan masyarakat Lampung. Perlu kerja keras untuk itu.

Di sisi lain, pemerintah daerah di Lampung relatif tidak memiliki kebijakan yang jelas dan strategis bagi pemertahanan bahasa Lampung. Ketimbang terus-terusan mengeluhkan betapa generasi muda tidak lagi akrab dengan bahasa Lampung, lebih baik para pemimpin daerah ini merumuskan langkah konkrit bagi pengembangan bahasa Lampung.

Peraturan Daerah (Perda) Bahasa Daerah Lampung kalaupun jadi dibuat dan disahkan bisa jadi hanya menjadi dokumen hiasan jika pemerintah daerah tidak memiliki arah kebijakan yang jelas tentang bahasa Lampung. Apalagi jika semua itu lebih berbau politis ketimbang memang didasari sebuah sikap budaya untuk benar-benar memberdayakan bahasa Lampung.

Menurut Anda apa problem besar pengembangan sastra Lampung?

Problemnya adalah ’kemalasan’ saja. Orang Lampung lebih suka ngomong ketimbang nulis. Kata pengamat/praktisi sastra Lampung, Lampung memiliki lebih dari 30 jenis sastra lisan.

Sastra lisan dan sastra tulisan harus mulai berjalan seiring agar sastra Lampung berkembang lebih dinamis.

Saya membaca blog Anda yang memakai bahasa Lampung itu. Anda tetap nekat memakai bahasa Lampung, meskipun banyak pembaca tidak tahu artinya. Apa sebenarnya maksud Anda dengan blog berbahasa Lampung itu?

Tentang blog berbahasa Lampung, saya dibilang ngeyel juga tak apa. Itu sebagai tempat menumpahkan uneg-uneg saja sekaligus menjadi media saya berlatih menulis dalam bahasa Lampung. Boleh juga dikatakan, untuk menunjukkan kepada pembaca: "Inilah bahasa Lampung itu." Secara guyon, saya katakan kepada teman yang bertanya untuk apa menulis blog berbahasa Lampung, "Ya, kalaupun bahasa Lampung benar-benar punah. Setidaknya, ini bisa menjadi semacam teks berbahasa Lampung yang tersisa di dunia maya."

Anda bisa dikatakan sebagai generasi terkini orang Lampung yang sangat peduli dan secara konkret membela bahasa Lampung. Apa sebenarnya harapan Anda terhadap bahasa Lampung?

Bahasa Lampung tetap eksis, berkembang, dan mampu menjadi bahasa kreasi bagi penuturnya. Saya yakin bisa asal ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menjaga, melestarikan, memberdayagunakan, dan membuat bahasa Lampung lebih bergengsi.

Saya beranggapan bahasa Lampung adalah penopang utama kebudayaan Lampung. Kalau bahasa Lampung punah jelas pula yang disebut kebudayaan Lampung kiamat.

Apa harapan Anda terhadap pemerintah, kalangan swasta (termasuk media massa dan penerbit buku), sastrawan lain, dan masyarakat luas di Lampung terhadap pengembangan bahasa dan sastra Lampung?

Yayasan Kebudayaan Rancage memutuskan memberikan penghargaan terhadap sastra Lampung tahun 2008 dengan harapan agar kehidupan sastra (berbahasa) Lampung menjadi lebih dinamis. Setelah Hadiah Sastera Rancage 2008 diberikan kepada Mak Dawah Mak Dibingi, maka tidak bisa tidak setiap tahun harus ada buku sastra Lampung yang masuk penilaian Rancage. Sebab, sejak 2008 Yayasan Kebudayaan Rancage akan rutin memberikan Hadiah Rancage untuk sastra empat bahasa Sunda, Jawa, Bali , dan Lampung.

Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain, Lampung harus menerbitkan buku sasta Lampung minimal satu buku satu tahun. Tidak boleh putus. Ini serius.

Ini kabar gembira untuk sastra dan sastrawan Lampung sekaligus tantangan yang tidak mudah. Soalnya menerbitkan buku sastra Lampung --- seperti saya katakan -- jelas tak untung.

Karena itu, pemda, penerbit buku, perguruan tinggi, usahawan, sastrawan, dan masyarakat Lampung harus benar-benar mau menyisihkan waktu, tenaga, dan dana untuk membangun tradisi baru bahasa dan sastra Lampung: menulis dan menerbitkan sastra Lampung!

Sebagai orang yang berangkat dari pers mahasiswa, saya berharap masih ada "orang gila" dalam arti yang mau menerbitkan buku sastra Lampung dengan segala resikonya.

Anda sekarang tinggal di Kalimantan . Apakah jarak yang jauh dengan kampung halaman berpengaruh dalam proses kreatif? Atau justru menambah semangat untuk kreatif?

Saya harus akui dinamika sastra dan sastrawan Lampung itu luar biasa dinamisnya. Kondisi seperti itu tidak saya temui di tempat saya sekarang. Bahkan, sampai sekarang saya masih belum tahu ada sastrawan di Kabupaten Kotawaringin Barat atau bahkan Provinsi Kalimantan Tengah.

Kondisi ini jelas berpengaruh kepada saya. Lebih pada sulitnya berdiskusi atau berbagi pengalaman dalam soal tulis-menulis.

Ada untungnya juga sebenarnya. Sekarang saya menemukan jarak dengan Lampung. Jarak ini saya pikir perlu untuk menetapkan sudut pandang terhadap Lampung. Dari jauh saya menjadi 'pengamat' yang objektif terhadap Lampung. Paling tidak, ada pembanding.

Tapi, sekarang ini saya lebih banyak "berdiam diri" sebenarnya. Mungkin, ketika saya pulang kampung, pengalaman ini akan berguna.

Anda melakukan pembaruan terhadap tradisi perpuisian Lampung. Bagaimana reaksi seniman tradisi Lampung terhadap puisi-puisi Anda?

Saya sebenarnya telah "kena marah" oleh ulun tuha yang tentu lebih paham dengan apa yang mereka sebut sebagai sastra tradisi (dan karena itu biasanya dalam bentuk lisan) Lampung. Saya mungkin salah karena telah menulis kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesia Momentum (2002).

Sayangnya mereka yang memarahi saya tidak menuliskan kemarahan mereka dalam bentuk tulisan. Tapi, hanya lewat lisan yang langsung atau tidak langsung saya dengar, baik di situasi formal maupun informal.

Ada beberapa sebab mengapa mereka memarahi saya. Pertama, saya secara sadar memakai huruf "r" untuk huruf "gh" atau "kh" yang selama ini diributkan masing-masing penganutnya. Padahal, menurut mereka, dalam bahasa Lampung tidak dikenal huruf r, tetapi gh atau kh.

Kedua, para tuha-tuha adat adat juga menganggap saya telah semau-mau menulis sajak. "Kamu itu benar-benar ngawur!" kata mereka. Sebab, sastra Lampung itu tidak begitu. Ada sanjak abab atau aaaa atau ..., coba lihat contoh konkrit berbagai jenis puisi Lampung lainnya (dadi, pattun, wayak, sesikun, seganing, segata, dan lain-lain).

Ketiga, bahasa yang saya gunakan bukan bahasa Lampung "tinggi" yang biasa dituturkan jelma Lappung dalam acara ghasan buhimpun (musyawarah adat) atau upacara adat lain. Saya lebih banyak menggunakan bahasa Lampung sehari-hari yang sering saya pakai di Liwa, Lampung Barat. Ini, bisa jadi, mereka anggap merusak bahasa Lampung.

Keempat, sajak-sajak Lampung yang saya tulis hampir sama sekali tidak memuat nilai-nilai tradisi Lampung seperti pi'il pesenggiri (pi'il pesenggiri, bejuluk beadok, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambayan). Saya malah menuliskan masalah-masalah kekinian (kontemporer) dalam bentuk puisi dengan bahasa sehari-hari dan seperti diucapkan sambil lalu saja. Bahkan, dalam beberapa sajak saya justru bersikap kritis terhadap apa yang "sudah dianggap tradisi" itu.

Saya memang sama sekali tak hendak mengindah-indahkan bahasa puisi saya, baik bahasa Lampung maupun bahasa Indonesia.Sayangnya, kritik atau "kemarahan" tuha-tuha adat ini tak pernah dituangkan dalam bentuk tulisan. Padahal, sekian bulan saya berharap buku kumpulan sajak saya itu mendapatkan apresiasi yang memadai dari mereka yang katanya ingin mengembangkan seni-budaya Lampung. Tapi, saya pun harus segera maklum. Sebab, budaya tulis masih belum melekat dalam diri kita. Kita masih lebih suka dengan segala bentuk kelisanan, termasuk dalam sastra (berbahasa) Lampung yang sering disimpelkan dengan menyebutkan sastra tradisi Lampung.

Sumber: Taman Sastra dan Jurnalisme, 8 Februari 2008

No comments:

Post a Comment