March 2, 2008

Apresiasi: Bahasa dan Puisi Lampung (Untuk Buku 'Mak Dawah Mak Dibingi')

Oleh Asarpin*

AKHIRNYA setelah cukup lama ditunggu, terbit juga buku puisi Lampung. Pengarangnya, siapa lagi kalau bukan yang selama satu dekade terakhir ini kita kenal banyak menulis dengan bahasa dan idiom-idiom Lampung: Zulkarnain Zubairi atau Zul atau Udo Karzi. Saya lebih suka memanggilnya Karzi tanpa Udo karena agak bebas dari hierarki, lebih sugestif dan lebih terasa gestikulasi diksinya.

Buku analekta puisi Mak Dawah Mak Dibingi (Tak Siang Tak Malam) memuat lima puluhan puisi yang ditulis dalam rentang waktu berbeda dan menampilkan tematik yang beragam. Pilihan judul kumpulan ini mirip salah satu lirik lagu Hiwang (lagu berlinang air mata) yang diiringi dengan gitar tunggal yang ditembangkan oleh Iwan Sagita. Dari segi tema dan gaya, tidak ada yang baru dari buku ini, kecuali bahasanya. Bahasa Lampung yang digunakan banyak ditakik dari bahasa lisan masyarakat Lampung pesisir dengan upaya untuk menjadikan keberaksaraan sebagai tujuan.

Karzi memang kerap kali bersemboyan seperti judul buku A. Teeuw: Kelisanan dan Keberaksaraan. Karzi belum merasa jadi sastrawan Lampung kalau berhenti hanya pada kelisanan tanpa melanjutkan dengan pengembaraan lewat keberaksaraan. Bukankah karya tulis tidak lain adalah memindahkan wadak kelisanan dalam bentuk tulisan? Semua bahasa tulis yang ada di dunia ini bermula dari bahasa lisan dan ribuan bahasa tulis kini masih dalam bentuk kelisanan. Terlampau menghamba pada tesis keberaksaraan akan menggiring kita justru menafikan kekayaan khazanah lisan nenek moyang kita dan menganggapnya seolah-olah karya kelas dua, padahal sastra lisan justru dikenal paling liar untuk bisa dijinakkan. Kalau sastra lisan sudah dituliskan, memang tak jarang akan terjinakkan, beku, mati. Namun, ya tulisan saja tidak usah mengklaim kita telah menjalankan titah keberaksaraan. Bukankah begitu?

Perubahan Bunyi

Menulis puisi dengan menggunakan bahasa Lampung ternyata jauh lebih sulit dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Setidaknya, begitulah kesan saya sehabis membaca analekta puisi Karzi ini. Sekalipun kita tahu bahwa Karzi lahir sebagai orang Lampung dan sangat fasih berbahasa Lampung secara lisan, tapi bahasa tulisnya terasa masih mencari bentuk. Kalau Karzi sendiri yang sudah pengalaman menulis bahasa Lampung masih terasa kaku, apalagi yang tidak berpengalaman seperti saya dan kebanyakan orang Lampung.

Karzi bisa saja mendongeng secara lisan selama dua jam, tetapi ketika dituliskan, terasa mengalami banyak hambatan. Memang belum ada aturan baku tentang penulisan bahasa Lampung, apalagi untuk jenis puisi atau cerpen. Setiap orang yang ingin menulis harus meraba-raba sendiri dan mencari logat dan diksi yang menurut kita sesuai. Kelebihan Karzi, justru ia berani menerobos kebuntuan dan keragu-raguan dengan caranya sendiri. Salah satunya adalah mengubah secara total kh menjadi r, dalam arti mengubah bunyi. Bukankah puisi justru yang paling berhubungan dengan bunyi dan mengapa harus diubah?

Dalam buku puisi Lampung modern ini, Karzi tampaknya ingin menyuguhkan tata bahasa berikut niat melakukan "pembakuan" kosakata Lampung. Secara konsisten ia telah mengubah kata kh yang banyak dipungut orang Lampung dari Arab dan Persia itu menjadi huruf r yang sejak tahun 1980-an sering menjadi polemik di kalangan dosen Unila dan pemerhati sastra-budaya di Lampung. Tidak semua orang sepakat dengan perubahan yang dilakukan Karzi, lebih lagi jika teori semantik dan strukturalisme yang mengharamkan perubahan bunyi sekecil apa pun kita gunakan sebagai basis penilaian.

Ada segurat tanya yang terus muncul ketika saya membaca buku puisi ini: Siapakah sasaran pembaca yang dituju Karzi dalam buku puisi ini? Jika pembacanya adalah orang Lampung sendiri, dalam arti yang bisa bahasa Lampung, saya adalah orang Lampung pertama yang mengernyitkan kening saat membaca kumpulan puisi dengan kosakata Lampung yang seenaknya mengubah bunyi ini. Jika pembaca yang dituju tidak hanya orang Lampung, maka wajarlah jika perubahan kh menjadi r mesti dilakukan. Namun, apakah ada jaminan bahwa Susi, Damanhuri, Isbedy, Iswadi, Oyos Saroso HN, dan lain-lain., bisa menangkap artinya? Kalau juga tidak, untuk apa perubahan dilakukan?

Mempertahankan kata generik adalah penting, untuk menyusuri dari mana sumber kata itu berasal. Nenek moyang orang Lampung harus diakui banyak menyerap dari Arab dan Persia, dan wajar jika banyak kata kh sering kita dengar dalam penuturan dan penulisan. Ada banyak kosakata yang digunakan masyarakat Lampung yang diserap secara langsung dari Arab dan Persia nyaris tanpa perubahan sedikit pun. Dengan menampilkan apa adanya, para peneliti di kemudian hari tidak akan mengalami banyak kesulitan untuk melakukan penelitian mengenai persinggungan kosakata Lampung dengan bahasa Arab dan Persia.

Bahasa Hibrid

Kita harus akui bahwa Karzi memang punya nyali yang tidak banyak dimiliki oleh penulis yang ingin menulis dengan bahasa ibunya. Dengan melakukan perubahan bunyi, Karzi terus menerabas kebuntuan. Dari segi bahasa, kosa kata yang digunakan kebanyakan berasal dari Lampung pesisir yang telah mengalami persentuhan dan asimilasi dengan bahasa lain. Nuansa bahasa Lampungnya mengajak kita untuk membuka diri dan menyesuaikan diri dengan cara bertanya. Kosakatanya tidak berambisi gagah-gagahan dan cukup kaya menghadirkan beberapa istilah antik dengan sentuhan kekinian. Hanya saja, sebagai genre puisi, beberapa kalimat masih belum bebas menari-nari dan belum terasa mengalir sebagaimana cerita lisan. Padanan kata atau logat yang digunakan pun belum begitu kaya.

Kosakata Lampung banyak berasal dari luar (terutama dari Campa, Khasi, Paluang). Beberapa kata berasal dari Campa misalnya: kata awi (bambu), jelatong (jelatang), punti/puti (pisang), langau (lalat besar), tabuan (tawon besar), dll. Kata bilangan (angka) yang digunakan orang Lampung merupakan campuran dari Melayu Sumatera dengan bahasa Campa, seperti bilangan telu (3), pitu (7), walu (8), siwa (9).

Lampung tidak mengenal kata tanya apa atau mana yang merupakan kata tanya dasar dalam bahasa Indonesia. Kata tanya yang digunakan orang Lampung Pesisir (atau dialek Api) berasal dari bahasa Khmer; avei, yang di Krui logatnya diambil penuh dari bahasa Khmer, yakni dipanjangkan dan tampak sangat medok: apei. Dalam bahasa Melawai dan bahasa Batak Karo kata ini berubah jadi apai (yang di Lampung artinya tikar). Bahasa Loda; ahai, dan Halmahera; pui. Sedangkan orang Lampung dialek Nyou atau o, banyak menyerap dari bahasa Palaung; mo, po. Bahasa Indonesia untuk kata tanya apa dan berapa, juga dipungut secara hibrid, yakni dari bahasa Khmer dan Palaung.

Sementara itu, kata kerja (tense) dalam bahasa Lampung lebih banyak menyerap dari Campa untuk kata payu (oke) yang dalam Campa ditulis padjau atau payuu. Kata mati dalam bahasa Melayu/Indonesia berasal dari bahasa Campa; matai, yang logatnya sama dengan yang digunakan masyarakat di Lampung Barat dan Lampung Timur. Kata penunjuk di sana dalam bahasa Lampung menjadi disan sama dengan yang digunakan masyarakat Batak Toba.

Demikian juga soal bunyi untuk menunjuk jarak dekat dan jarak jauh. Lampung tidak menyerap dari bahasa Melayu/Indonesia. Contoh: untuk penunjuk yang menggunakan i dan a di ujung untuk kata di sini (dekat) dan di sana (jauh), masyarakat Lampung menggunakan bunyi berbalik: dija (dekat), dudi (jauh) yang diambil dari bahasa Khasi yang keras. Untuk kata yang artinya tempat, orang Lampung menggunakan kata khang oleh Karzi diubah menjadi rang--yang diambil dari bahasa Palaung yang dilisankan dan ditulis oleh masyarakatnya sama dengan masyarakat Lampung, khang. Kalau diganti rang, maknanya sudah jauh berubah dan kesannya sangat taat asas pada perubahan bahasa Indonesia.

Pelacakan sumber semacam ini saya rujuk dari buku karya Slamet Muljana, Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara (Balai Pustaka, 1964), yang menunjukkan bahwa tidak ada satu pun kebudayaan di muka bumi ini yang bisa mengklaim bahasanya paling asli, paling murni, tanpa sentuhan dari unsur lain.

Begitu juga bahasa Lampung yang bagaimana pun berasal dari banyak sumber. Ini tidak masalah, dan tidak harus membuat orang Lampung menganggap tidak punya kebudayaan asli dan merasa rendah diri.

Apa yang agaknya menjadi masalah adalah dari mana masyarakat Lampung menyerap kata babai untuk jenis kelamin perempuan. Slamet Muljana tidak menyebutkan. Hanya mengatakan bahwa bahasa Campa menggunakan kata bibai dan binai yang berhubungan erat dengan nama binatang, tapi tidak menyebutkan binatang apa gerangan. Saya curiga binatang yang dimaksud adalah babi karena logat dan diksinya berdekatan. Jadi, babai di Lampung memang sering dicitrakan seperti babi, tidak layak dihargai, dianaktirikan, dinomorsepuluhkan, diperlakukan apa mau lelaki. Kalau ini benar, masyarakat Lampung jauh lebih diskriminatif dari masyarakat manapun juga dalam memandang perempuan.

Untuk kata bentuk ulangan, bahasa Lampung banyak menyerap dari Campa. Contoh, kata kucak-kacai (bertaburan), dalam bahasa Campa ditulis; khcat khcay . Begitu juga kata titarontos-titaroton dari kata trotes-troton (Campa). Demikian pula kata ulangan tandang-midang, hetak-hetoi, lintang-pukang, jelas dari Campa. Masyarakat Lampung menyebut jenis daun capa sama dengan bahasa Campa, yakni daun tjapa (ejaan lama) atau capa (ejaan baru).

Beberapa bentuk kata kerja pasif yang digunakan orang Lampung banyak menyerap dari Batak Dairi dan Palembang (terutama dari piagam Sriwijaya atau Piagam Talang Tuwo). Kata kerja pasif dengan indikator ni di awal-tengah-ujung, dengan pelaku orang pertama, mengambil dari Batak Dairi sekaligus Palembang. Contoh; ngenigelakh (Lampung), nigelarku (Palembang), nipepandenku (Batak Dairi). Kata pepadun di Lampung berasal dari Batak Dairi pepanden.

Lampung juga tidak mengenal dengan akrab aksara Kaganga yang selama ini diklaim sebagai aksara asli Lampung itu. Belum ada penelitian yang sungguh-sungguh mendasar dan bisa meyakinkan bahwa Lampung punya aksara murni; semua hanya klaim-klaim yang sempit. Saya pernah menanyakan kepada 20 orang tua yang masing-masing berada di Kota Agung, Padangratu Gedongtataan, Kedondong, Kelumbaian, Liwa, Lampung Timur (Maringgai dan Sukadana marga Subing), dan Menggala marga empat. Semua orang tua yang usianya di atas 75 tahun, bahkan datuk dari ibu saya yang kini usianya 89 tahun, tidak kenal aksara yang saya sodorkan dan saya bacakan.

Saya menduga (ini memang baru sebatas dugaan dan akan dilanjutkan penelitian) aksara Lampung hasil improvisasi atau hasil penerjemahan yang bersifat overinterpretasi (penerjemahan lebih dan mengambil alih) atau semacam asimilasi dari aksara Batak dan Bugis. Hanya sedikit perbedaan, hanya selisih beberapa huruf dan dielak dan logatnya.

* Asarpin, Pembaca Sastra, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Maret 2008


Telaah lebih lanjut baca (klik saja):

1. Peta Bahasa-Budaya Lampung


2. Bahasa dan Aksara Lampung

3. Standardisasi Bahasa Lampung

4. Standardisasi Bahasa Lampung, Beberapa Jawaban atas Tanggapan

5. Kamus dan Transliterasi Bahasa Lampung

6. Sastra Modern (Berbahasa) Lampung

No comments:

Post a Comment