October 12, 2008

Apresiasi: Pelampung Bahasa Letusan Krakatau

Oleh Binhad Nurrohmat*

Orang banyak nyatalah tentu,
Bilangan lebih daripada seribu,
Mati sekalian orangnya itu,
Ditimpa lumpur, api, dan abu.

Pulau Sebuku dikata orang,
Ada seribu lebih dan kurang,
Orangnya habis nyatalah terang,
Tiadalah hidup barang seorang.


(Petikan Syair Lampung Karam, Mohammad Saleh, 1883)

SIAPA menyangka, Mohammad Saleh menulis kitab Syair Lampung Karam dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab-Melayu yang menceritakan bencana letusan Krakatau pada Agustus 1883 itu. Mohammad Saleh mengungsi dari Tanjungkarang (Lampung) ke Singapura setelah letusan Krakatau. Mohammad Saleh menyelesaikan kitab syair itu dan menerbitkannya di kota pengungsian itu pada November 1883.

Syair-syair Mohammad Saleh itu menjadi pelampung bagi tubuh bahasa yang menyimpan peristiwa tenggelamnya puluhan ribu manusia di Lampung akibat letusan Krakatau sehingga kesaksian dan ingatan tentang petaka itu tak karam. Peneliti bernama Suryadi menemukan lembaran-lembaran syair itu di Belanda, Rusia, Inggris, Jerman, Indonesia, dan Malaysia dan dikabarkan ke khalayak dunia pada September 2008.

Siapakah Mohammad Saleh? Kini sulit merunut riwayatnya kembali. Tapi namanya bakal terkenang lebih lama lantaran syairnya, melampaui seluruh usianya. Melalui syair-syair itu, petaka akibat letusan Krakatau itu tidak lenyap dan menjadi bahan berharga dan berguna bagi generasi manusia di Lampung atau di tempat lain setelah bencana itu berlalu.

Mohammad Saleh lebih dari sekadar menggubah syair, ia menulis manusia dan kenyataan hidupnya melalui tradisi seni bahasa. Di lantai VIII sebuah penginapan di Seoul, Korea, syair-syair itu menyulut perkabungan saya yang mengerikan dan mengharukan tentang manusia, sejarah, dan kesusastraan. Ketahuilah, hari ini dilahirkan oleh masa silam, maka beruntunglah manusia yang tidak kehilangan jejak sejarah generasi sebelumnya.

Di Korea, saya telah mengunjungi museum-museum kesusastraan yang tidak menyimpan artefak masa lalu serupa tumpukan kertas rombeng di gudang arsip yang senyap dan terancam rayap. Di museum-museum itu suara kesusastraan dihidupkan marwah dan spiritnya di masa kini. Roman Toji karya Park Kyung-Ni misalnya. Roman 21 jilid ini merupakan epik masa lampau dan masa kini Korea. Toji artinya tanah atau daratan.

Generasi sesudah Park Kyung-Ni mendirikan Park Kyong-Ni Literary Park di Wonju, Korea. Taman ini mewujudkan kata-kata elementer dalam roman itu menjadi serangkaian artefak yang menggambarkan dan membangunkan kesadaran manusia Korea tentang masa lalu dan masa kini, serta jati diri bangsanya.

Museum-museum kesusastraan di Korea itu turut menjadi pelampung bagi masa silam Korea sehingga jejaknya tak tenggelam di masa kini. Melalui museum-museum itu, jejak manusia Korea beserta kebudayaan dan kekayaan ekspresi bahasanya bergema hingga ke masa kini meski waktu berlari ke depan meninggalkan kesilaman. Melalui museum-museum itu kesusastraan menjadi lebih dari sebatas seni menulis.

Bagaimana jika roman Arus Balik, Warahan Radin Jambat, puisi Rendra, dan kitab Syair Lampung Karam dibuatkan museum serupa itu? Musium-musium itu akan menghidupkan masa lalu Indonesia melalui gambar atau monumen ihwal kejayaan Nusantara masa silam yang merajai lautan hingga ke belahan bumi utara, petualangan Radin Jambat dari kota ke kota, Rendra dalam penjara, dan bangkai perahu serta jangkarnya yang terdampar di Tanjungkarang akibat letusan Krakatau. Museum-museum itu akan menjaga sejarah kebanggaan dan kesedihan manusia.

***

Setelah seabad lebih Krakatau meletus dan mengaramkan sebagian daratan Lampung beserta penghuninya, di Lampung masih lahir para penyair. Barangkali, leluhur para penyair itu adalah penduduk pribumi yang dilantak letusan Krakatau atau berasal dari daratan lain yang jauh yang datang ke Lampung setelah letusan Krakatau.

Para penyair itu menulis puisi setelah serdadu Kompeni pergi, petualangan Radin Jambat berakhir, bahasa Indonesia merasuk hingga pedalaman, Rendra tidak lagi dipenjara, pendatang dan pribumi berakulturasi, dan Krakatau tampak damai. Seabad lebih setelah Krakatau meletus, apakah manusia di Lampung dan kenyataan hidupnya terekam dalam kata-kata para penyair itu?

Kekuatan bahasa dan daya ekspresinya menulis ihwal manusia dan kenyataan hidupnya membuat puisi bertenaga dan signifikan bagi manusia dan kebudayaannya. Inilah perkara mendasar yang membuat puisi dari masa silam bisa hidup hingga sekarang. Kenapa ada puisi yang ditulis pekan kemarin terasa lenyap hari ini seakan tidak pernah ada atau tak pernah dituliskan? Barangkali, puisi itu bersinar di masa datang seperti harta karun menyembul dari kedalaman lautan. Atau, puisi itu memang selamanya sirna bersama jutaan puisi lain yang pernah ditulis manusia.

Tapi percayalah, bumi ini tidak pernah bosan dihuni para penyair dan planet ini setia menerima puisi karena manusia butuh bahasa untuk mengucapkan pergolakan ihwal keberadaannya di dunia ini atau tentang bayang kehidupan di alam sesudahnya. Puisi penyair di Lampung dan di manapun akan bermakna bila kata-kata menjelma bahasa yang bisa menjadi pelampung bagi manusia di lautan pergumulan kehidupan yang sedih atau bahagia serta bila ekspresi bahasa bisa menarik ujung garis tradisi pengucapan yang sudah ada menuju ke depan, dan bukan sebaliknya.

Puisi (dan juga seni yang lain) tidak bisa merengkuh seisi dunia, begitu juga negara, ekonomi, maupun agama yang tak kuasa menggenggam segalanya. Namun dalam keterbatasannya, puisi bukan benda budaya yang tidak bisa berdaya. Memang bikin pusing kepala membandingkan potensi sebait puisi dengan harga sekarung lada atau rekening tim sukses pemilihan pejabat pemerintahan kota. Puisi tidak bisa seperti manusia membangun dermaga atau menaikkan harga palawija. Bagi "kebergunaan" praktis semacam itu, puisi pasti akan punah di seluruh bumi ini.

Puisi berada di pedalaman batin dan inteligensia yang membangun etos kreativitas yang dibutuhkan oleh mental dan laku penciptaan. Etos kreativitas merupakan fundamen manusia melawan keterbatasannya, serupa siasat penyair menghadapi imajinasi dan kata, seperti kebijakan bupati di tengah kemerosotan pendapatan daerahnya. Ibarat mawar, puisi bukan tangkai, duri, dan kelopak belaka, melainkan keharuman yang bisa dinikmati pancaindra lantaran kesegaran bahasanya menyadap makna gembira atau bencana dunia di suatu masa, misalnya syair Mohammad Saleh itu.

Letusan Krakatau bukan satu-satunya bencana dan perginya serdadu Kompeni bukan akhir sejarah pergulatan manusia. Kini manusia menghadapi persoalan yang berbeda dengan masa sebelumnya, sehingga raut dan debar puisi mestinya tak sama dengan yang sebelumnya. Tanpa Krakatau dan serdadu kompeni, manusia tetap butuh puisi yang membuat mereka bisa mereguk makna dan tidak kehilangan kesegaran bahasa untuk mengucapkan dirinya. Inilah yang membuat sebaris Haiku atau syair bisa lebih bermakna ketimbang sekawanan tokoh terkenal belaka dan hendak dipuja banyak manusia. Beginilah dunia ini, dan puisi belum kunjung sirna dari bumi.

* Binhad Nurrohmat, Penyair, kini tinggal di Seoul, Korea

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Oktober 2008

Lihat juga:
Letusan Krakatau di Mata Pribumi
Ditemukan Naskah Kuno Letusan Krakatau 1883

No comments:

Post a Comment