October 12, 2008

Traveling: Tambling, Sebuah Wisata Konservasi

NYARIS tidak ada perubahan di kawasan Tampang Belimbing. Jika dulu kawasan ini jadi tempat berburu, sekarang justru berbalik, harimau asal Aceh yang memburu.

Semula kawasan ini dikelola oleh SAC Nusantara yang menjadikan areal seluas 100 hektare yang diperoleh dari hak pengelolaan kawasan sebagai taman buru. Tetapi, tahun 2003 hak pengelolaan lahan beralih ke tangan Tommy Winata melalui PT Adhiniaga Kreasi Nusa (AKN) melalui kerja sama operasional (KSO) dengan menjadikan kawasan ini sebagai kawasan konservasi.

Sejak itu, di kawasan ini mulai dilepas berbagai hewan, seperti berbagai spesies burung, buaya, kerbau liar sampai menjangan. Beberapa satwa memang sudah ada sejak lama. Selain itu, ada juga buaya muara yang dilepas di muara yang mengular melintasi kawasan ini, puluhan tukik juga selalu dilepas di pantai dermaga. Ada juga seekor penyu sisik berukuran besar yang juga siap dilepas. Seorang staf setempat mengatakan pada suatu saat nanti kawasan ini benar-benar ideal disebut sebagai kawasan konservasi dengan beragam hewan dan tumbuhan hutan.

Sayangnya, nyaris tak pernah terlihat secara langsung cerita tentang "hebatnya" satwa-satwa yang ada di kawasan ini. Seperti serombongan menjangan, segerombol kerbau liar atau komunitas burung-burung hutan, termasuk monyet-monyet hutan.

Meski dalam kerja sama operasional itu, PT AKN hanya punya hak kelola seluas 100 hektare, tapi TW mengaku bertanggung jawab atas keseluruhan kawasan TNBBS yang luasnya mencapai 52 ribu hektare. Entah seperti apa bentuk pertanggungjawabannya.

Satu pertanyaan yang agak membingungkan di kalangan jurnalis dan aktivis lingkungan terhadap niat Tommy Winata akan kelanjutan pengembangan kawasan konservasi ini. Karena sampai saat ini pun kawasan ini tidak dibuka untuk umum maupun wisatawan. "Yang biasa datang ke sini paling hanya Pak TW dan keluarganya atau koleganya saja. Di luar itu sama sekali tidak ada tamu lain," ujar salah seorang staf PT AKN.

Sampai kini pun, operasional kawasan itu dalam sebulannya memakan biaya yang sangat besar. Mulai dari gaji karyawan sampai perawatan fasilitas mencapai Rp300 juta.

Secara kasat mata mata kawasan ini memang tidak benar-benar "hijau" di beberapa titik. Bahkan, ada sisa-sisa perkebunan atau lahan yang terlihat gundul dengan belukar luas. Mungkin karena wilayah kelola yang terlalu luas. Sehingga, meski PT AKN sudah mengelola sejak 2003, hasilnya belum terlihat.

Untuk fasilitas penangkaran sebagai wujud proyek besar pengelepasliaran lima harimau asal Aceh, kawasan TNWC juga menyiapkan Rescue Center sebagai tempat penangkaran tiga harimau sumatera lain. Yakni, Ucok, Buyung, dan Panti yang masih dalam perawatan medis akibat penyakit sebelum dilepasliarkan ke alam bebas seperti Pangeran dan Agam.

Demikian halnya dengan fasilitas yang ada, di kawasan ini pun terbilang mewah. Untuk mobilisasi pengunjung dari satu titik ke titik lain yang hanya berjarak beberapa meter saja disiapkan mobil golf. Pengelola tampaknya sangat detil dalam hal menjaga kenyamanan pengunjung sampai untuk mengusir nyamuk atau lalat pun disiapkan alat elektronik khusus penghisap serangga. "Ini bukan lagi kampung, justru kita yang kampungan," ujar seorang teman jurnalis ketika ikut meliput proses penglepasliaran harimau di TWNC beberapa bulan yang lalu. MEZA SWASTIKA/ERLIAN/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Oktober 2008

No comments:

Post a Comment