KAWASAN Tampang Belimbing (Tambling), bagian dari kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Kecamatan Bengkunat Belimbing, Lampung Barat, ini dikenal angker. Bukan hanya karena hewan buas, melainkan juga karena polisi kehutanan dengan senjata M-16 semiotomatisnya yang mengawasi pendatang tak dikenal.
----
Kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation (TNWC) hanya seluas 100 hektare dari luas lahan TNBBS yang sekitar 52 ribu hektare. Tanah ini meliputi tanah Marga Belimbing.
Kawasan ini agak terpencil karena berada di kaki Pulau Sumatera. Bersama Jaja Subagya, seorang kerabat yang tinggal di Pekon Tampangtua, tak jauh dari lokasi itu, Erlian dan Meza Swastika dari Lampung Post mengisi waktu libur Lebaran dengan berkunjung ke daerah ini beberapa waktu lalu.
Perjalanan dengan kapal motor dari dermaga Kotaagung, Tanggamus, menuju Pekon Tampangtua benar-benar melelahkan. Waktu dua jam habis hanya dengan memandangi lautan luas Teluk Semangka yang dulu dikenal sebagai teluk tempat persinggahan kapal-kapal berbobot besar (very large cruise ship) seperti kapal pengangkut bahan bakar milik Pertamina dan kapal asing lainnya.
Gelombang laut yang besar membuat kami tidak bisa tidur, karena kapal bergoyang ke sana kemari, perut rasanya hendak muntah. Tetapi, Jaja, pemuda abege ini terus meyakinkan kami bahwa setiba di sana situasinya akan jauh berbeda. "Om pasti senang di sana, karena ada pantai yang ada gunungnya. Atau nanti Om juga bisa minum air dugan (kelapa muda, red)," kata Jaja berusaha menghibur kami yang lelah.
Namun, kami berdua sudah benar-benar malas menanggapi Jaja yang terus membuka percakapan dengan kami. Gelombang yang agak tinggi membuat Pulau Tabuan di sisi utara kapal motor kami terlihat timbul tenggelam.
Tepat pukul 12.00 kapal baru sedikit menepi ke pantai Pekon Tampangtua. Karena dasar pantai terlalu dangkal, kapal penumpang tidak bisa langsung bersandar ke tepi pantai. Dan penumpang, termasuk kami, dijemput dengan perahu dayung.
Sambutan penduduk dan suasana sekitar memang menjadi obat lelah buat kami. Penduduk Tampangtua cukup ramah. Jaja menjelaskan jika orang "asing" datang, warga yang mayoritas suku Sunda itu sangat welcome.
Suasana perkampungan di Pekon Tampangtua masih sangat terasa. Rumah-rumah kayu penduduk berjejer tidak beraturan, ada yang menjorok ke dalam dengan pekarangan yang dijadikan perkebunan singkong.
Di rumah Jaja, sambutan keluarganya sangat ramah. Dua piring sekubal (ketan yang dibungkus dengan daun, red) dan semangkuk sambal goreng ati ayam menjadi menu penyambut kedatangan kami. Luar biasa.
Sedikit basa-basi, Mang Uci, kakak tertua Jaja, bercerita kepada kami bahwa banyak ternak warga habis disantap oleh harimau asal Taman Nasional Gunung Leuser Aceh yang dilepas di Tambling. Warga pekon sudah tidak bisa berpikir lagi.
"Terlebih-lebih warga yang tinggal di Way Pengekahan. Padahal, mereka keturunan Marga Belimbing. Sejak dilepaskan harimau, mereka tidak bisa bekerja ke kebun lagi. Dulu, di sini ada kebiasaan menghidupkan obor untuk jalan kampung menjelang magrib. Tetapi sejak harimau dilepas di sini, tradisi itu hilang," cerita Mang Uci.
Meski miris mendengarnya, kami tidak ingin terlalu larut dengan cerita itu. Jaja mengajak kami naik sepeda motor trail keliling kampung. Kemudian menuju ke Tambling Nature Wildlife yang dikelola pengusaha Tomy Winata (TW).
Sepanjang perjalanan, pemandangan kontras ada di dua sisi. Di sisi kanan, gugusan Bukit Barisan yang sudah gundul laksana benteng. Di sisi kiri, ombak besar Samudera Hindia menghempas-hempas ke pantai. Ini sungguh potensi pariwisata yang besar.
Dulu, di kawasan ini menjadi hal yang lumrah menjumpai hewan-hewan liar. Namun, penduduk yang selain penduduk pendatang juga penerus keturunan Marga Belimbing, bisa hidup berdampingan dengan hewan-hewan di sini. Bahkan, harimau asli Sumatera disebut oleh warga sebagai "Tamong" yang berarti buyut buat penduduk setempat. Namun, sebutan itu tidak kepada lima ekor harimau yang ditangkap dari Taman Nasional Gunung Leuser Aceh yang dilepaskan di kawasan ini.
Kini, ada dilema lain yang terjadi. Sekitar 200 kepala keluarga kini mulai waswas beraktivitas. Mereka yang tinggal di Desa Way Pengekahan dan Desa Way Haru harus menjaga jiwa raganya dari ancaman hewan buas itu. "Sekarang kami yang harus menyesuaikan dengan harimau-harimau yang dilepas itu agar tidak jadi mangsa para 'Tamong' dari Aceh itu," ujar salah seorang warga Way Pengekahan yang kami temui.
Dengan suasana yang serba tidak jelas itu, warga berharap segera direlokasi. Meski itu tanah keturunan mereka dari Marga Belimbing, salah satu marga tertua di Kabupaten Lampung Barat.
Akhirnya, kunjungan ini tak lebih sebagai silaturahmi, tidak ada sisipan wisata yang menarik. Hanya obor-obor yang dipasang di jalan-jalan kampung (saat Lebaran), yang membuat ada nostalgia. Bukan keunggulan, memang, tetapi karena listrik belum ada di sini. n M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Oktober 2008
G ada listrik,jaringan sinyal susah,tapi kedamaian suana tentram bgitu trasa di sana.....
ReplyDelete.berharapp pemerintah tau dan memperhatikan