October 30, 2011

[Inspirasi] Perjuangan Isnen untuk ‘Mangrove’ Pahawang

PULAU Pahawang belum banyak dikenal masyarkat Lampung. Pulau yang terletak di Kabupaten Pesawaran ini ternyata menyimpan potensi mangrove yang luar biasa dan keindahan terumbu karang yang menakjubkan.

Isnen Hayani (LAMPUNG POST/PADLI RAMDAN)

Isnen Hayani, warga Pahawang, berusaha mengangkat pulau tempat ia tinggal itu agar dikenal luas. Ayah dua anak ini berusaha menjaga mangrove agar tidak rusak. Ia juga berjuang untuk mengajak warga yang lain menjaga mangrove sebagai kekayaan pulau yang sangat bernilai.

Ketertarikan Isnen dengan mangrove berawal saat ia kembali ke Pahawang. Ia memang lahir di Pahawang. Namun, sejak kecil hingga remaja, Isnen tinggal di Serang bersama keluarga dari pihak ayah. “Tahun 2002, saya baru kembali lagi ke Pahawang. Ayah meninggal dan ibu jadi tinggal sendirian. Saya harus mengurus ibu di pulau,” kata pria kelahiran tahun 1972 ini.

Ia pun kemudian mempelajari tentang mangrove bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat Mitra Bentala sebagai pendamping di Pahawang. Perlahan-lahan keinginan untuk menjaga dan melestarikan hutan mangrove pun tumbuh dalam diri Isnen. Ia menyetujui bahwa kekayanan alam berupa mangrove harus dijaga sebagai sebuah harta kekayaan yang berharga.

Isnen bersama beberapa warga akhirnya membentuk Badan Pengelola Daerah dan Perlindungan Mangrove (BPDPM) tahun 2005. Lembaga inilah yang kemudian membuat aturan untuk menjaga hutan mangrove di Pahawang.

Luas mangrove di Pahawang mencapai 1.402 hektare (ha), sedangkan yang dikelola BPDPM hanya 30 ha. “Mangrove seluas 30 ha ini yang menjadi zona inti yang harus dijaga,” ujar dia.

Isnen begitu fasih menjelaskan tentang jenis mangrove yang ada di pulau yang bisa ditempuh kurang lebih 40 menit dengan kepal kecil dari Dermaga Ketapang, Peswaran, ini.

Ia pun hafal beberapa nama Latin dari jenis bakau. Isnen tahu apa saja jenis bakau yang bisa dikonsumsi dan yang dapat digunakan sebagai obat.

Awalnya, langkah Isnen untuk menjaga mangrove ditentang dan diremehkan warga sekitar. Pasalnya, warga kurang menyukai gerakan untuk melestarikan mangrove. Masyarakat awalnya masih suka mengambil kayu dan kulit mangrove. Kayu dan kulit bakau memiliki harga yang cukup mahal dan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat.

Namun, cara yang dilakukan masyarakat ini merusak hutan yang ada. Lambat tapi pasti dengan adanya lembaga BPDPM, warga sudah mulai sadar akan pentingnya keberadaan mangrove.

Adanya BPDPM membuat pelaku yang merusak hutan bisa dikenakan sanksi, bahkan bisa mendapatkan hukuman.

“Bukan berarti hasil mangrove tidak bisa diambil. Warga tetap bisa mengambil kayu bakau. Jumlahnya dibatasi hanya untuk memenuhi kebutuhan, misalnya untuk membangun rumah. Kalau melebihi kebutuhan, dianggap merusak,” kata dia.

BPDPM, kata Isnen, tetap memberikan keleluasaan kepada warga untuk mengambil hasil hutan. Hasil hutan bisa dimanfaatkan dengan baik untuk memenuhi kebutuhan warga sekitar. Warga tidak boleh mengambil untuk tujuan bisnis, dibatasi hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi.

Mangrove yang dapat diambil yang berada di luar zona inti, 30 ha. “Pengambilannya pun harus mengajukan lewat BPDPM,” ujar dia. Perjuangan Isnen tidak hanya di situ. Pria yang hanya tamat SMP ini juga mengusahakan agar mangrove di Pahawang mendapat sertifikat.

Ia bersama beberapa warga dan aktivis Mitra Bentala menghadap ke Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan, DPRD Pesawaran, dan bupati Pesawaran untuk mendapat pengakuan.

BPDPM pun mendapat persetujuan bupati dan memperoleh surat keputusan dari bupati.
Berbekal pengakuan ini, diajukan permohonan sertifikat mangrove ke Balai Pengelola Hutan Mangrove (BPHM) di Medan. Mangrove di Pahawang masih tetap terjaga dan dinilai bagus oleh BPHM. Lembaga ini pun mengeluarkan sertifikat untuk mangrove di Pahawang.

Dengan adanya setifikat ini, pembenihan mangrove di Pahawang diakui dan menjadi yang pertama di Lampung. “Mangrove Pahawang merupakan yang pertama di Lampung yang mendapat sertifikat. Di daerah lain, seperti di Lampung Timur, belum,” kata dia.

Dengan mendapat sertifikat, BPDPM bisa melakukan pembenihan dan menjualnya kepada pihak lain yang membutuhkan. Ia mejelaskan kondisi mangrove di Pahawang masih terjaga dengan baik.

Jarang sekali daerah kepulauan memiliki mangrove yang masih terjaga. Daerah lain seperti Medan dan Yogyakarta saja melakukan studi banding ke Pahawang untuk melihat bagaimana pengelolaan dan pelestarian hutan bakau di Pulau Pahawang.

Mangrove di Pahawang ada sebanyak 22 jenis. Dari 22 jenis tersebut, ada beberapa jenis yang memang khas dan hanya ada di Pahawang. “Mangrove jenis bidara dan jenis api-api yang unik ada di Pahawang,” kata dia.

Untuk menjaga kelestarian mangrove, pengunjung yang datang ke Pahawang diajak menanam tumbuhan khas pesisir ini. Menurut suami dari Safiah ini, hal tersebut dilakukan untuk menanamkan kesadaran bagi warga sekitar untuk terus menjaga kelestarian bakau.

Orang dari luar pulau saja mau untuk menanam mangrove. “Masa yang tinggal di pulau malah tidak mau. Ini dilakukan untuk menarik kesadaran warga,” ujar dia.

Bagi Isnen, menjaga dan melestarikan mangrove memang tidak mendatangkan keuntungan. Namun, dengan memelihara hutan mangrove, ia ingin mengenalkan Pahawang kepada dunia luar bahwa pulau yang kecil tersebut menyimpan potensi dan keindahan. Potensi keindahan alam dengan jenis mangrove yang unik harus dikenal luas di luar Pahawang.

Isnen, putra asli dari Pahawang, berjuang mengenalkan dan memajukan pulau kecil yang belum banyak didengar. Pahawang bisa menjadi objek wisata baru yang tidak kalah dengan potensi pulau Indonesia di bagian timur. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Oktober 2011

No comments:

Post a Comment