November 4, 2012

[Buku] Tradisi Lisan Orang Lampung

Judul: Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh

Penulis: Udo Z. Karzi

Penerbit: Indepth Publishing, Bandar Lampung

Cetakan: I, Juni 2012

Tebal: xxii + 226 hlm

ISBN: 978-602-18479-0-9



"Tolong ambilkan dan berikan padaku semangat yang tercampak di semak-semak," Mat Puhit bersajak.

Mamak Kenut tertawa berderai. "Mat, Mat... puasa ya puasa. Jangan lantas jadi ngawur begitu."

ITU adalah paragraf pertama dari judul Semangat halaman 66 dalam buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh,  yang merupakan kumpulan tulisan Udo Z Karzi di koran Lampung Post dalam kolom Nuansa.

Membaca buku setebal 226 halaman dengan 101 tulisan ini, kita seperti tengah menikmati sebuah sketsa bagaimana Mamak Kenut dkk memandang, membicarakan, mengguyoni, menertawakan, menyindir,  atau mendiskusikan “sok serius” pelbagai masalah mulai dari politik, budaya, sosial, keagamaan, ekonomi, olahraga, hingga kehidupan sehari-hari. Sebagian besar, tema yang ditulis Udo adalah merupakan cerminan apa yang terjadi (aktual), baik di daerahnya (Lampung) maupun di negeri ini (Indonesia). Maklum, sebagai wartawan di Lampung Post, Udo tentu bersentuhan langsung dengan pelbagai berita, sehingga sebagian besar itulah yang menjadi tema tulisannya.

Gaya tulisan Udo yang ringan, santai, namun sebenarnya cukup sublim, menjadikan setiap tulisannya cukup enak dimamah. Latar belakang Udo sebagai sastrawan– penyair, cerpenis, penerima Hadiah Sastra Rancage 2008, barangkali memudahkan ia “memainkan” kata-kata sehingga ia tidak merasa terbebani harus menulis sebuah kolom yang berat, penuh kontemplasi, atau dengan sederet referensi dari buku-buku dan kutipan-kutipan dari mulut orang Barat.

Seperti judul bukunya; Orang Lampung Punya Celoteh, setiap tulisan kolom ini seperti merefleksikan bagaimana orang Lampung memandang atau menanggapi suatu isu. Karenanya, dalam setiap tulisan Udo, tak hanya ada tokoh (utama) Mamak Kenut --dalam bahasa Lampung, Mamak sebutan untuk paman atau om namun belum kawin-- yang digambarkan sebagai sosok muda yang kadang konyol namun juga kerap membawa solusi, juga ada beberapa temannya seperti Mak Puhit, Minan Tunja, dan Pithagiras. Juga sesekali muncul Udien (wartawan), Radin Mak Iwoh (birokrat), dan Paman Takur (politisi pengusaha kotor).

Udo yang pernah menjadi wartawan di Borneo News, Pangkalan Bun (2006-2009) ini dalam setiap tulisan kolomnya tidak pernah berupaya menggurui. Malah, terkadang lebih mirip merupakan potongan-potongan cerita – karena sebagian besar banyak ditulis dalam bentuk dialog antar tokoh di dalamnya. Kerap juga nakal, terkadang bijak, dan penuh imajinasi—salah satunya seperti pada tulisan dengan judul Kereta Api, Nyut..., Nyut..., Nyut... Dalam tulisan ini, tokoh Mamak Kenut dkk mengimajinasikan kereta api bisa terbang bagai pesawat dan bisa berlayar seperti kapal hingga menjelajahi dunia.

Sementara dalam kata pengantarnya, Djadjat Sudradjat (Wakil Pemimpin Umum Lampung Post) menyebutkan, tulisan Udo terasa kental dengan tradisi lisan (orality tradition) Lampung. Bahkan, katanya, hal itu bisa langsung dikenali dengan pemakaian nama lokal, juga seringnya menggunakan ungkapan dan istilah Lampung.  Jadi, memang jelas ada upaya Udo untuk mengangkat tradisi lisan Lampung yang pernah hidup dan berkembang dalam kehidupan masa kini.

Endorsment Binhad Nurrohmat, penyair, di awal buku ini juga menarik disimak; Mamak Kenut adalah jelmaan King of Rumpi yang gampang tergoda nafsu untuk mencereweti urusan politik, olahraga, dangdut, hingga korupsi lewat gaya slebor kampung Negarabatin.  Sesungguhnya Mamak Kenut “dipintarkan” oleh kenyataan yang bodoh dan “dicerdaskan” oleh kondisi yang bebal.  Mamak Kenut adalah miniatur manusia bangsa ini yang dihujani kenyataan abnormal, sehingga nalar kian berdaya, tetapi tak becus membereskan apa pun selain menggerutu.

Akhirnya, lewat buku ini masyarakat di luar Lampung sedikit banyak bisa membaca bagaimana tradisi lisan orang Lampung—yang telah diupayakan Udo lewat Mamak Kenut.  “Mamak Kenut ini semacam Paman Gembul,” canda Udo kepadaku ketika kami bertemu di acara Temu Redaktur Kebudayaan Se-Indonesia beberapa waktu lalu, sembari berjanji memberi buku ini—yang kemudian dikirimkannya lewat pos ke Banjarbaru. (sandi firly)

Sumber: Tepi Langit, Media Kalimantan, Minggu, 4 November 2012

No comments:

Post a Comment