November 7, 2012

Memandang Konflik dari Sudut Kemanusiaan

Oleh Dedy Mawardi


"KAMI hanya melihat hilir mudiknya pejabat negeri ini di depan desa kami. Kami hanya melihat begitu pedulinya pejabat negeri itu terhadap saudara-saudara kami di sana, kami tidak pernah merasakan semua itu kepada kami. Padahal, yang berkonflik itu adalah kami warga Agom, Kecamatan Kalianda, dengan warga Balinuraga, Kecamatan Way Panji. Kami ini sama-sama 'korban', tetapi mengapa kami diperlakukan beda."

"Kami tak pernah ditanya oleh pejabat negeri itu, tak pernah pula diajak bicara dan berunding. Kami tidak menghendaki warga Balinuraga yang bersuku Bali itu keluar dari daerah ini. Kami tidak tahu siapa yang berunding di atas sana. Karena kami tak pernah ditanya, tak pernah diajak, dan kami tak pernah mendelegasikan suara kami kepada mereka yang berunding. Jika hasil perundingan itu tak terjaga seperti yang sudah-sudah. Siapa yang akan menjadi korban. Apakah yang berunding itu atau kami warga Agom."

"Kami tak pernah melihat konflik kemarin itu adalah konflik antara Lampung dan Bali atau konflik karena adanya kesenjangan sosial. Konflik kemarin itu adalah konflik antarkampung yang dipicu oleh ulah arogan oknum pemuda bersuku Bali yang sering membuat resah para warga yang bertetanggaan dengan mereka."

Kalimat di atas merupakan catatan saya ketika bertemu dengan tokoh warga Agom di Kalianda kemarin (Sabtu, 2 November 2012). Dari dialog kemarin, banyak hal dan fakta yang tak pernah diungkap dan ditangkap oleh pejabat negeri ini dan media massa. Karena banyak hak dan fakta yang tak tersingkap, sangat dipahami jika masyarakat luas memiliki pandangan dan penilaian atas konflik itu yang berbeda dengan warga Agom maupun Balinuraga sendiri.

Salah satunya soal pemicu konflik itu sendiri. Masyarakat luas menilai bahwa konflik itu adalah konflik berbau SARA (Lampung vs Bali). Faktanya, konflik itu tak ada hubungannya dengan soal suku. Tak ada pula hubungannya dengan kesenjangan sosial. Faktanya, ketika konfik pecah pada Senin, banyak warga Agom, terutama anak-anak dan perempuan, yang mengungsi dan banyak pula peristiwa haru ketika warga Agom harus ikut menyelamatkan warga Balinuraga dari amuk massa.

Jika kita berkehendak untuk menyelesaikan konflik, menurut saya, takkan selesai jika hanya berdiskusi atau ribut berunding-berunding saja tanpa bertanya dengan hati kepada pemilik konflik yang sesungguhnya. Apa yang dikehendaki oleh para pemilik konflik itu sesungguhnya? Nyatanya pemilik konflik, yakni warga Agom dan warga Balinuraga, tak menghendaki konflik itu terulang kembali. Kedua warga Lampung asal suku Lampung dan Bali ingin menyudahi konflik ini dan kembali hidup bertetangga dengan baik dan damai. Karena memang mereka sudah puluhan tahun hidup bertetangga. Lantas apa solusi yang dikehendaki oleh kedua warga Lampung yang berkonflik itu? Jawaban dua warga Lampung ini sangat sederhana, yakni "ingin damai" dan "ingin memulihkan keadaan menjadi semula kembali".

Sejujurnya saya agak terhenyak dengan jawaban dari kedua warga Lampung yang berkonflik itu. Nyatanya kehendak pemilik konflik itu sangat berbeda dengan ingar-bingarnya ulasan, pendapat dan upaya yang dibicarakan banyak pihak dan terekspos oleh media massa secara luas selama ini. Jika kehendak para pemilik konflik seperti itu, sangat tidak mungkin jurus ?berunding? yang tengah diupayakan pemerintah daerah saat harus diselesaikan secepatnya. Apalagi jika pihak yang berunding versi pemerintah daerah itu juga tidak melibatkan secara langsung kedua warga Lampung yang sedang berkonflik itu. Sangat riskan karena perundingan-perundingan yang sebelumnya tak menjadi pegangan kedua pihak untuk mengatur perilaku sosial warganya. Penyebabnya adalah karena perundingan sebelumnya itu tak melibatkan mereka yang berkonflik dan perundingan itu tak mampu menyelesaikan persoalan ?kemanusiaan? dari salah satu pihak.

Persoalan ?kemanusiaan? seperti pemulihan kejiwaan, pemulihan trauma dan perasaan diperlakukan sama dalam proses pemulihan merupakan elemen penting yang musti diselesaikan terlebih dahulu. Maka sangat naïf jika solusi konflik yang terjadi di Lampung Selatan itu dilakukan dengan cara mempercepat perundingan. Dengan itu juga perlu mendapat perhatian penting. Seharusnya semua pihak tidak berpikir pragmatis seperti itu. Mengapa tak pernah mau belajar dari peristiwa sebelumnya?

Menurut saya, konflik di Lampung Selatan itu diselesaikan dengan cara rekonsiliasi dengan melibatkan mediator. Rekonsiliasi itu sebagai ?good idea? dari proses, sedangkan mediator adalah pihak yang independen yang akan memediasi. Sedangkan para pihak yang akan duduk dalam proses rekonsiliasi itu adalah warga Agom, warga Balinuraga, keluarga para korban dan pemerintah daerah. Dengan pilihan metode penyelesaian konflik semacam ini, upaya yang harus dilakukan di awal pekerjaan adalah memulihkan rasa ?kemanusiaan? dari kedua belah pihak. Mungkin salah satunya adalah menghilangkan rasa ?diperlakukan tidak sama? di dalam perasaan warga Agom. Demikian pula sebaliknya.

Tahap berikutnya adalah pemulihan ?kejiwaan? yang dialami oleh warga Agom dan warga Balinuraga, khususnya terhadap anak-anak dan kaum perempuan. Kemudian tahap pemulihan secara materiil dan terakhir adalah menjaga proses pemulihan agar sesuai dengan kesepakatan. Di sini peran pemerintah daerah harus bermain dengan tetap bersikap independen dan mengayomi semua warga serta secara terus menerus melakukan komunikasi dan pendekatan kepada warga.

Maka, di sini sangat diperlukan pemimpin dan pejabat yang punya tipikal seperti "Jokowi". Jika tidak, proses rekonsiliasi yang sudah berjalan akan hancur kembali dengan sikap pemimpin dan pejabatnya sendiri.

Pertanyaan penutupnya, siapa yang bisa bertindak sebagai mediator dalam proses rekonsiliasi ini. Jawaban saya adalah seorang Jusuf Kalla atau lembaga sekelas Komnas HAM.

Semoga tulisan ini menjadi inspirasi untuk terciptanya "Damai Lampungku".

Dedy Mawardi, Praktisi hukum, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Rabu, 7 November 2012

No comments:

Post a Comment