November 25, 2012

[Fokus] Senjakala Sastra Lisan Lampung

BERBAGAI seni budaya Lampung mendapat apresiasi tinggi di luar. Namun, kita sang pemilik tidak memberi perhatian.

Humaidi Abbas menggendong Ilyas muncul di panggung dalam satu gedung pertemuan di Jakarta. Di hadapan mereka, duduk seniman-seniman dari berbagai negara yang sedang menghadiri acara sastra internasional.


Humaidi memainkan gambus lunik dengan lembut. Petikan alat tradisional itu menjadi latar berbalas pantun dengan Ilyas. Hampir 15 menit, keduanya menghibur sekaligus mengenalkan sastra lisan Lampung ke para seniman dunia.

Hampir semua peserta memberi standing applaus kepada Humaidi dan Ilyas. Usai acara, semua seniman asing mendekati mereka dan mengajak mengobrol. Penerjemah pun kerepotan melayani pertanyaan karena hampir semua ingin bertanya soal sastra lisan Lampung kepada Ilyas dan Humaidi.

?Malah semuanya minta foto. Ada beberapa peserta yang memeluk dan merangkul. Mereka kagum dengan apa yang kami sajikan. Malah gambus yang saya pakai hampir hilang karena banyak yang ingin memegang dan coba memainkan,? kata Humadi, mengenang momen yang tidak terlupakan tiga tahun lalu.

Apresiasi orang asing terhadap kesenian tradisional begitu luar biasa. Perpaduan gambus lunik yang mengiringi sastra lisan Lampung membuat orang asing berdecak kagum. Berbeda dengan apresiasi di dalam negeri yang tidak begitu antusias terhadap seni tradisi.

Menurut Humaidi, seni tradisi lebih dihargai dibandingkan musik modern. Orang yang punya kemampuan pada kesenian tradisional lebih dibanggakan dan diapresiasi.

?Saat ini terbalik. Orang Indonesia lebih suka dengan musik modern yang berasal dari Barat. Padahal akan sulit menandingi karena musik modern lebih dikuasai orang Barat. Tapi, jika menguasai seni tradisi, musik, sastra lisan, dan tari, akan lebih dihargai oleh negara lain,? kata dia.

Pria kelahiran Kedondong, Pesawaran, 56 tahun lalu ini dikenal sebagai salah seorang seniman tradisional. Dia kerap tampil dalam berbagai kegiatan daerah dan nasional. Gambus lunik dan sastra lisan wawancan menjadi keahliannya.

Sastra lisan menjadi bagian dari seni tradisi di Bumi Ruwa Jurai. Hampir semua daerah di Lampung memiliki istilah sendiri untuk menyebut kesenian bertutur itu. Di Kedondong, Pesawaran, dikenal dengan nama wawancan.

Di wilayah pesisir yang lain atau Lampung Saibatin juga dikenal dengan istilah bubandung, muwaya, dan hahedok. Sementara di kalangan Lampung Pepadun dikenal dengan istilah ringget, ngadiyo, pisaan, dan beberapa istilah lain.

Menurut Humaidi, perbedaan istilah itu hanya penyebutan di daerah tempat berkembangnya sastra lisan itu. Pada awalnya, sastra lisan dipakai untuk menceritakan sesuatu, memberikan nasihat, menyampaikan informasi, dan dipakai dalam berbagai acara adat.

Di Kedondong, misalnya, wawancan dipakai juga dalam acara muda-mudi saat pesta pernikahan. Bahkan saat kunjungan bujang ke rumah gadis untuk berkenalan, dipakailah sastra lisan.

?Saat berkunjung ke rumah gadis, laki-laki akan mulai berpantun untuk mengenalkan diri. Jika si gadis menolak cintanya tidak ada rasa kesal dan marah dari pemuda tadi. Dia pun akan berpantun membalasnya,? kata Humadi.

Namun, kini para pelaku sastra tutur mulai berkurang karena banyak yang meninggal. Termasuk Ilyas, yang berduet dengan Humaidi pada 2009.

Humaidi pun mengakui penutur sastra lisan sudah banyak yang meninggal, terutama di kota-kota besar. Sementara di daerah kabupaten dan kota, pemakaian wawancan dan sejenisnya sudah mulai berkurang. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 November 2012

No comments:

Post a Comment