November 5, 2012

Tragedi di ‘Tanah Harapan’: Konflik dan Kekerasan di Lamsel

Oleh Bartoven Vivit Nurdin

LAMPUNG memiliki julukan sebagai tanah harapan. Julukan tanah harapan diberikan penduduk yang datang ke Lampung sejak kolonisasi dan transmigrasi. Itu artinya Lampung sebagai tanah harapan bagi kehidupan yang harmoni. Namun, beberapa waktu belakangan ini kita semua, khususnya di Lampung, terperangah dengan rangkaian konflik di Lampung Selatan. Kalau kebanyakan orang menyebutnya sebagai sebuah konflik, saya lebih setuju untuk menyebutnya sebagai kekerasan.

Dari pandangan teori sosial, konflik adalah indikator perubahan. Oleh karena itu, wajar adanya terjadi dalam suatu masyarakat, baik masyarakat yang homogen maupun pada masyarakat yang heterogen, seperti Lampung. Sebagai indikator perubahan, konflik memiliki makna dalam dinamika dan perubahan masyarakat. Apalagi masyarakat sekarang ini adalah masyarakat tanpa batas (bourdeless society) yang tidak terikat oleh batas-batas administratif. Ditambah sekarang kecepatan inovasi teknologi mulai dari komputer, internet, sampai alat komunikasi canggih, kita temukan sampai di pelosok desa. Tegasnya, konflik diperlukan oleh suatu masyarakat untuk dinamika yang seharusnya berdampak pada kemajuan suatu masyarakat

Namun, yang menjadi masalah adalah ketika konflik menjadi kekerasan, sebagaimana halnya di Lampung Selatan. Banyak orang bertanya pada para pakar, apa akar dari konflik di Lampung Selatan. Saya mencermati hal ini tidak perlu dijawab, karena jawabannya akan sangat rumit dan tidak sesederhana pertanyaannya. Karena di balik akar ada akar-akar lainnya yang rumit dan semrawut untuk dijawab. Yang jelas kita tidak perlu mencari akar konflik, karena konflik adalah bagian dari dinamika masyarakat. Yang perlu kita pertanyakan adalah bagaimana konflik itu tidak berhujung kekerasan. Artinya, pencegahan terhadap terjadinya kekerasan tersebut. Ini yang kita tidak pernah lakukan selama ini. Saya tidak ingin menyalahkan satu pihak, karena semuanya adalah kesalahan ?holisitik? (menyeluruh) sehingga semua elemen dan pihak bertanggung jawab atas hal ini.

Untuk mengkaji hal tersebut, saya ingin melihat Lampung dalam perjalanan sejarah. Lampung adalah wilayah tujuan kolonisasi dan transmigrasi yang bisa dikatakan sukses. Ini artinya Lampung harmonis untuk orang-orang yang datang ke sini, tidak salah kalau orang banyak mengatakan bahwa Lampung adalah tanah harapan. Bermacam suku, agama, dan latar belakang lainnya datang ke Lampung, tanpa pernah terdengar persoalan kekerasan yang serius dan mengemuka. Artinya, masyarakat Lampung di Lampung Selatan sudah berabad-abad hidup dalam keharmonisan dan berdampingan dengan berbagai macam bentuk perbedaan. Kekerasan muncul seakan sebagai suatu prediksi yang tidak terduga sebelumnya baik oleh para pakar konflik, pemerintah daerah, pemuka masyarakat, pemuka adat dan elemen masyarakat lainnya.

Kenapa baru sekarang terjadi kekerasan yang fatal? Sebab, masyarakat dahulu berbeda dengan masyarakat sekarang. Dahulu, ketika kolonisasi dan transmigrasi datang di Lampung, masyarakat hidup berkelompok-kelompok dan tidak bersinggungan secara ekonomi, karena yang datang tentu bertujuan mengubah hidup dengan fokus pada mengelola lahan dan tanah yang ada. Bahkan tidak sedikit transmigran yang datang ikut bekerja di ladang-ladang milik penduduk asli dengan mendirikan umbul-umbul. Bahkan penduduk asli pun dengan senang hati mengangkatnya menjadi saudara dan bahkan memberikan lahannya untuk digarap. Friksi tidak terjadi karena keduanya saling memberi dan tidak menggangu mata pencaharian masing-masing. Penduduk asli dengan kebun dan transmigran dengan pertanian lahan basah.

Perlu kita cermati, etnik Lampung adalah etnik yang terbuka terhadap pendatang. Sejarah mencatat bahwa bagaimana etnik menjadikan orang yang datang sebagai saudara, sungguh suatu kearifan lokal dan modal sosial yang luar biasa. Hal ini lah salah satu faktor Lampung menjadi daerah tujuan transmigrasi yang berhasil. Etnik Lampung dahulunya memiliki tanah yang luas-luas, dan penduduk yang datang bekerja banyak yang bekerja di lahan-lahan tersebut, kemudian saling bekerja sama dan diangkat menjadi saudara.

Namun, nilai-nilai ini sekarang sudah pudar, ketika interaksi sosial masyarakat sudah berubah. Kearifan lokal dan modal sosial juga memudar. Ditambah lagi pencapaian kesetaraan ekonomi dan sosial yang sudah hampir sama. Sementara itu, identitas semakin kuat, tapi keadaan sudah berubah, dan kebudayaan sudah luntur. Hubungan keduanya menjadi tidak seimbang. Sehingga hal-hal sepele membangkitkan emosi dan menjadikan karakter manusia yang tidak ?sehat?. Bahkan isu-isu sensitif pun dijadikan argumentasi untuk dimanipulasi dalam pembenaran akan tindak kekerasan, misalnya isu etnik dan agama.

Yang penting dipahami, kita tidak lagi hidup di masa lalu di mana penduduk asli dan transmigran hidup berdampingan, tapi Lampung masa kini adalah masyarakat tanpa batas (bourdeless society) yang sudah tercipta akulturasi, asimilasi bahkan amalgamasi. Masing-masing memiliki identitas kuat, tapi tidak diriingi dengan kuatnya budaya dan nilai-nilai kehidupan yang harmoni, ditambah lagi dengan kehidupan sosial-ekonomi yang hampir setara dan bahkan sering berkompetisi. Sehingga budaya tidak mampu mengontrol identitas, bahkan ketika identitas tersebut dijadikan isu, akhirnya malah berujung kekerasan tidak bisa dihindari lagi.

Untuk menghadapi perubahan dan dinamika masyarakat ini, tentu jurus lama tidak bisa dipakai dalam nuansa baru. Artinya, pendekatan lama tidak bisa dipakai dalam masyarakat yang tengah berubah. Pemerintah, misalnya, tidak bisa melihat masyarakat Lampung sebagaimana masyarakat Lampung dahulunya ketika zaman Belanda atau zaman sesudah kemerdekan, sehingga program-program antisipasi konflik dan kekerasan haruslah menggunakan pendekatan terkini yang sesuai dengan keadaan masyarakat saat ini. Pemimpin saat ini harus mengubah pedekatan terhadap masyarakat dengan memahami keberagaman masyarakat yang berdinamika dan terus berubah.

Pemerintah dalam hal ini harus memaksimalkan peranan tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama dalam setiap tatanan kehidupan bermasyarakat, yang biasanya hanya dimaksimalkan ketika akan pilkada. Negara harus mengakui pentingnya peranan ?masyarakat adat?, negara tidak bisa meminggirkan peranan tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat, seperti negara telah meminggirkan hak-hak adat dan lokal masyarakat. Padahal, ini adalah kearifan lokal dan modal sosial yang perlu terus diberdayakan dan dipelihara. Ini disebabkan banyak kasus kekerasan di Tanah Air yang semuanya diselesaikan oleh adat. Sementara kehidupan adat dan budaya lokal selama ini dalam posisi termarginalkan.

Terakhir, agenda-agenda untuk mengatasi salah satu bencana sosial ini sepertinya masih belum serius dilakukan pemerintah, terutama pemerintah daerah, karena ada anggapan urusan begini adalah semata urusan pihak keamanan. Selama ini kita lalai dalam memprioritaskan agenda pencegahan kerusuhan dan kekerasan. Kalau sudah begini baru disadari betapa pentingnya agenda dan program pencegahan konflik. Satu hal yang mendesak dilakukan adalah perlunya memperkuat modal sosial, yakni dengan pemetaan konflik berbasiskan culture area (Peta dengan batas-batas budaya dan etnik) dan kearifan lokal di Lampung. Pemetaan culture area berbasiskan kearifan lokal untuk deteksi konflik dan kekerasan merupakan pemetaan penting dalam pencegahan konflik di Lampung. Kearifan lokal di Lampung merupakan modal sosial yang penting dalam pencegahan konflik.

Bartoven Vivit Nurdin, Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Unila

Sumber: Lampung Post, Senin, 5 November 2012

No comments:

Post a Comment