November 4, 2012

[Refleksi] Lampung (1)

Oleh Djadjat Sudradjat

"Hidup adalah seni menarik kesimpulan yang memadai dari premis-premis yang tidak memadai." (Samuel Butler, pengarang Inggris)

"RUMAH terbuka" atau "rumah bersama". Atau adakah amsal yang lain, yang lebih tepat, untuk disematkan kepada Lampung? Realitasnya bumi ini tak pernah menolak para "tamunya". Ia menerima belaka siapa saja untuk menjadi penghuni bersama. Yang asli dan yang pendatang diluluhkan dalam rumah itu. Sai Bumi Ruwa Jurai.

Juga Lampung Selatan yang kini tengah "dijadikan etalase kekerasan" dengan "Tragedi Way Panji", 28-29 Oktober pekan silam. Mari kita lihat bukti nyata rumah bersama itu di kabupaten paling selatan Provinsi Lampung itu. Dari penduduk sekitar 1 juta jiwa itu etnis Lampung hanya 11,9%. Betapa ia membuka pintu selebar-lebarnya untuk para pendatang yang kemudian menjadi mayoritas. Tetapi, adakah pula yang mayoritas lantas menancapkan dominasi yang diekspresikan dengan laku loba? Laku jumawa?

Komposisi itu: etnis Jawa 61,02%, Sunda 13,29%, Banten 3,68%, Palembang 2,89%, Bali 1,62%, Minangkabau 0,84%, Ogan 0,82%, Semendo 0,46%, dan etnis lainnya 3,48%. Dari angka ini betapa Lampung sesungguhnya tanah harapan yang tak punya problem penerimaan pendatang. Bukankah Lampung menjadi ikhwal transmigrasi di negeri ini, 40 tahun sebelum Republik Indonesia berdiri?

Etnis Bali, seperti etnis-etnis pendatang, juga tersebar di seluruh kabupaten di Lampung. Tapi, di tempat lain kita tak pernah mendengar ada kekerasan komunal yang melibatkan etnis Bali dengan etnis lain. Karena itu kita penting meletakkan ?Tragedi Way Panji? yang memilukan itu sebagai kasus. Ia memang bernuansa SARA. Tapi, tak bisa lantas diambil kesimpulan sebagai konflik etnis Bali versus etnis Lampung. Terlebih lagi 20 ribuan warga dari Desa Agom, Kecamatan Kalianda, yang menggeruduk Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, sangat mungkin tak sepenuhnya etnis Lampung. Sudah bercampur rupa-rupa etnis.

Memang mencermati kekerasan itu ada gelora amarah yang tak tertahankan di situ, di "palagan" Way Panji. Penyerbuan di hari pertama, empat penyerbu menjadi jasad. Penyerbuan kedua 10 orang warga Balinuraga mati. Ratusan rumah dibakar. Para penghuninya yang panik menyelamatkan diri, tak tahu ke mana harus pergi.

Menurut banyak akademikus, konflik Way Panji menjadi contoh yang kian menguatkan rapuhnya ikatan sosial sesama warga bangsa, tak dihayatinya kebhinnekaan, longgarnya tenunan keindonesiaan. Tarikan kesimpulan seperti ini bisa benar juga bisa kurang pas. Memang konflik komunal seperti ini kini menjadi realitas di banyak tempat di negeri ini. Tetapi, dalam kasus Lampung Selatan, tarikan itu mungkin juga bisa berlebihan.

Tragedi Way Panji memang tak bisa tidak akhirnya menjadi panggung terbuka. Stigma buruk terhadap Lampung tak bisa dihindari, terlebih lagi setelah kasus Mesuji dan beberapa kali kerusuhan di Lampung Selatan pada tahun ini. Inilah tahun penuh ujian bagi Lampung Selatan, bagi Bupati Rycko Menoza, yang juga putra Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P.

Kekerasan massa di Way Panji yang sifatnya spontan itu, kemudian memang menjadi panggung banyak pihak. Tetapi, ini memang tidak bisa dihindari. Ini bisa terjadi di mana pun. Bukankah di alam ketika politik menjadi panglima, kita tak bisa menghindar dari kepentingan itu? Berbagai ?tokoh? datang silih berganti. Ada yang berbicara objektif, ada yang dipelintir menurut kepentingan politiknya.

"Kami sedih ketika melihat dan mendengar di televisi-televisi Jakarta tokoh-tokoh politik itu bicara seenaknya. Mereka tahu terlalu sedikit tetapi berbicara terlalu banyak. Mereka bicara tak memikirkan bagaimana orang-orang di sini yang mengalami, melihat sendiri, dan berupaya sekuat mungkin mencegahnya," kata seorang perwira pertama yang sejak awal kerusuhan berupaya membendung massa di Balinuraga.

Ia pun menejelaskan jika TNI dan polisi berbuat tegas dan keras seperti yang diharapkan para politisi di Jakarta itu, yang terjadi adalah tentara melawan rakyat. ?Sungguh tidak mudah melawan massa yang datang penuh amarah. Salah sedikit saja bisa fatal. Mereka tidak takut apa pun. Terlebih jumlahnya puluhan ribu,? katanya lagi.

Sebenarnya, kata sang perwira itu, sebelum para politisi, para sosiolog, dan banyak pihak berbicara dengan tarikan-tarikan macam-macam, penyebab konflik itu sesuatu yang sesungguhnya ?sederhana?. Soal pelecehan gadis dari Desa Agom oleh para pemuda Desa Balinuraga, sungguh bisa dicegah agar tak menjadi destruksi yang mengerikan. Sebab, semarah apa pun, jika ada komunikasi dan persuasi jalan tengah, semua bisa diatasi. Memang seperti kita tahu, Bupati Rycko di hari Minggu pergi untuk sebuah acara di Jatinangor, Jawa Barat. Rycko telah meminta maaf atas semua ini.

Selain itu, kerap sebuah konflik diselesaikan dengan perdamaian secara formal. Tetapi, dalam hidup keseharian kesepakatan itu tak ada yang merawat. Tak ada yang menjadi ?pembimbing? agar kesepakatan itu tak bersimpang jalan. Juga tak ada yang menjadi pengadil yang objektif. Yang dipercaya oleh mereka yang berseteru. Akar konflik itu, seperti juga kanker yang telah dioperasi tetapi akar-akarnya masih kuat menancap dan pasti bertumbuh.

Yang juga menjadi kian berat konflik komunal juga kerap tak tuntas penanganan hukumnya. Ini memang menjadi pilihan yang tidak mudah bagi aparat, terutama polisi. Ada banyak kasus, setiap ada penegakan hukum, massa kerap brutal menuntut pembebasan. Negara memang tak boleh menyerah terhadap pelanggar hukum, tetapi dalam banyak kasus konflik komunal, polisi kerap dihadapkan pada situasi sulit.

Saya melihat kekerasan di Way Panji adalah ujian. Ujian bagi sesama penduduk, bagi para tokoh/elite, aparat keamanan, penegak hukum, dan kita semua. Apa pun rumitnya persoalan negara punya segalanya untuk menyelesaikannya. Negara harus mampu ?menarik kesimpulan yang memadai dari premis-premis yang tidak memadai,? seperti saya kutip di awal. Negara harus bisa. Sebab, ia punya segalanya.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 November 2012

No comments:

Post a Comment