November 11, 2012

[Wawancara] Hartoyo: Petakan Wilayah Konflik

KERUSUHAN antarkampung di Lampung terus terjadi. Tragedi Lampung Selatan pada 27?29 Oktober lalu belum dingin, konflik di Lampung Tengah menyusul.

Catatan kerusuhan di Lampung yang lebih spesifik disebut kerusuhan antarkampung sangat panjang. Kerusuhan di Lampung Selatan menjadi yang terparah karena menyebabkan 12 orang meninggal, belasan orang luka, dan ratusan rumah dibakar.


Pada September 2012, kerusuhan sama terjadi di Lampung Timur. Agustus 2012, ada hal sama di Natar, Lampung Selatan. Semua menimbulkan kerugian besar.

Selain penyerangan antarkampung, modus kejahatan beramai-ramai itu tampaknya cukup khas di Lampung. Sebelumnya, terjadi penyerangan kantor Bupati Mesuji, kantor polisi di Padangcermin, perobohan patung Zainal Abdidin Pagaralam di Kalianda.

Sepanjang 2012 ini menjadi tahun yang penuh dengan konflik dan kerusuhan. Lampung berubah menjadi daerah yang akrab dengan kekerasan dan kerusuhan. Semua mata tertuju ke Lampung. Pemberitaan media-media nasional, cetak, eletronik, dan online pun diarahkan ke provinsi ujung Sumatera ini.

Apa yang sebenarnya terjadi di Lampung? Berikut pandangan sosiolog Universitas Lampung Hartoyo saat diwawancarai Padli Ramdan dari Lampung Post, Sabtu (10-11).

Lampung sedang muram oleh kerusuhan antarkampung. Bagaimana menurut Anda?
Ini adalah indikasi hubungan sosial antarkelompok masyarakat di Lampung sudah mulai renggang. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kepercayaan yang rendah terhadap institusi negara untuk menyelesaikan konflik. Menurut saya, kita perlu memetakan wilayah yang memiliki potensi konflik untuk membuat deteksi dini agar tidak terjadi kerusuhan yang lebih luas dan merusak.

Ada persamaan pola kerusuhan di Lampung. Yakni, antarkelompok. Gejala apa ini?

Benar. Secara umum, konflik yang terjadi menunjuk pada konflik ekspresif, bukan konflik instrumental. Konflik yang spontan bersifat massal, amuk massa, kemudian irasional, dan tidak terlokalisasi dengan baik.

Beda dengan konflik instrumental, rasional, terorganisasi dengan baik, mobilisasi organisasi, ditujukan untuk mengubah kebijakan. Konflik saat ini bersifat amuk massa. Ini gejala keterkaitan antara frustrasi dan agresi. Ketika seseorang mengalami frustrasi, dan tidak ada jalan lain, tidak ada peluang lain yang dapat dilakukan untuk mengekspresikan tindakan-tindakan yang bisa mengalahkan pihak lawan akan dilakukan. Ini cepat dilakukan mudah tereskalasi intensif, mengarah konflik yang merusak atau destruktif.

Apa sebetulnya yang menjadi akar masalahnya?

Penelitian secara mendalam belum ada, tapi dari data kasar itu menunjukkan akar masalah sekarang ini adalah masalah kepentingan material. Adanya semacam disparitas vertikal, seperti tingkat pendidikan, ekonomi yang senjang, peluang pekerjaan tidak sebanding, peluang politik untuk mendapat kekuasaan atau jabatan atau semacam insentif politik yang belum sebanding.

Itu diikuti dengan keragaman horizontal, seperti perbedaan agama dan etnik. Semakin kuat disparitas vertikal dan semakin kuat perbedaan-perbedaan horizontal. Termasuk segregasi etnik yang mengelompok di wilayah atau desa tertentu.

Semakin tidak dikelola dengan baik, semakin berpotensi munculnya konflik. Konflik tidak muncul tiba-tiba, tapi ada dasarnya sehingga berpotensi menjadi konflik berkepanjangan, berkelanjutan, dan merusak.

Ada sebab lain berkaitan lemahnya penegakan hukum?


Saat ini kebanyakan sudah mengalami pelemahan atau pendangkalan dalam berbagai aspek. Pertama, semakin kuatnya interpretasi terhadap nilai-nilai yang berbeda, dan itu tidak pernah ada titik temu. Masyarakat tidak pahami multikultur atau diversifikasi keragaman kultural. Toleransi hidup beragama semakin mengalami erosi. Ego kelompok berkembang.

Kedua, ada pelemahan pranata sosial. Modal sosial yang tadinya bisa berkembang cukup baik, dengana adanya prasangka kelompok, ego kelompok yang meningkat, itu bisa dipakai untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Modal sosial semakin menurun.

Modal sosial dilihat dari horizontal dan vertikal. Secara horizontal, kita lihat bagaimana social bond atau ikatan sosial yang mengalami perenggangan. Rem sosial sudah mengering.

Ketiga, adanya tingkat kepercayaan yang menurun secara horizontal antara kelompok dan secara vertikal. Antara komunitas masyarakat berbagai kelompok dan berbagai institusi yang memiliki power lebih tinggi, seperti pemerintah daerah, kepolisian, dan DPRD. Masyarakat mengalami kekurangan kepercayaan terhadap institusi dalam menyelesaikan konflik antarkelompok.

Keempat, sistem nilai dan norma sudah mulai mengendur sehingga tidak bisa menjadi kekuatan integratif yang bisa ditaati dan dipakai oleh masing-masing kelompok untuk menjadi acuan sikap dan perilaku dalam kehidupan hubungan antarkelompok.

Keempat, adanya hubungan antarkelompok yang satu sudah mengangap hubungan dengan kelompok lain tidak ada imbal baliknya. Sudah merasa kurang begitu bermanfaat ketika berhubungan dengan pihak lain. Kondisi ini membuat rentan munculnya konflik. Ini harus dikelola dimanajemen dengan baik dengan manajemen konflik yang konstruktif.

Pranata hukum tidak hanya yang bersifat formil, tapi hukum yang berlaku dalam masyarakat, hukum adat dan tradisional. Hukum yang ada di masyarakat juga sudah tidak mampu bekerja secara fungsional untuk bisa dipakai oleh masing-masing etnik atau kelompok untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Kelemahan semacam ini menunjukkan bahwa potensi konflik di masyarakat Lampung sudah masuk ke ruang iklim konfliktual.

Bagaimana dengan perdamaian yang sudah dilakukan?

Perdamaian mengarah pada peace making. Masih ada satu tahapan lagi peace building. Proses perdamaian sudah dilakukan setiap terjadi konflik, tetapi konflik saat ini muncul lebih cenderung mengarah pada konflik akumulatif dan berkepanjangan. Akumulatif dilihat dari munculnya kembali konflik yang dahulu pernah terjadi dalam bentuk konflik.

Konflik sebelumnya sudah dilakukan perdamaian. Perdamaian ini wujud dari kepedulian berbagai pihak untuk melakukan upaya menciptakan peace making. Itu tidak cukup. Perjanjian damai hanya disadari, dilakukan oleh sekelompok elite, tapi tidak disosialisasikan secara terus-menerus kepada tingkat grassroot akan berpotensi memicu konflik berkelanjutan. Menindaklanjuti peace making melalui peace building dengan menyelesaikan akar masalah yang memang diperlukan, dihadapi secara riil oleh masing-masing pihak.

Kalau akar masalah tidak diselesaikan hanya sebatas penyelesaian damai saja, fakta menunjukkan akan terjadi konflik berkelanjutan, konflik berulang.

Bukan hanya wilayah yang terjadi konflik saja, perlu diantisipasi wilayah lain yang punya potensi. Perlu adanya pemetaan wilayah konflik, termasuk di dalamnya secara lebih menyeluruh pemetaan sosial budaya.

Anda melihat ada pihak yang menciptakan dan atau memanfaatkan konflik ini?

Kalau dilihat dari proses terjadinya, konflik di Lampung bersifat spontan. Belum punya data apakah ada yang menciptakan atau tidak. Tapi secara teoritis itu bisa saja.

Konflik yang spontan itu kemudian ada yang memicu dan dilihat dari banyaknya anggota masyarakat yang terlibat dalam suatu konflik semakin memungkinkan terbukanya free rider. Artinya, orang yang memanfaatkan situasi konfik untuk mencapai kepentingannya. Secara teoritis itu jelas.

Semakin konflik bereskalasi, meluas, mendalam, dan semakin banyak orang yang terlibat, maka semakin banyak kepentingan yang masuk. Teorinya seperti itu, tapi datanya belum ada.


BIODATA

Nama : Dr. Hartoyo
Kelahiran : Blora, 8 Desember 1960
Pendidikan
- SD Muhammadiyah Blora
- SMPN Kudus, Jawa Tengah
- MA Kudus, Jawa Tengah
- S-1 Sosiologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
- S-2 Sosiologi Universitas Indonesia
- S-3 Institut Pertanian Bogor

Istri : Eti Susilowati

Anak:
1. M. Hasan Imaduddin
2. Baharuddin Lutfi Syuhada
3. Humaira Nisaul Jannah

Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 November 2012

No comments:

Post a Comment