Data Buku
Agama Nelayan, Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal
Dr. Arifuddin Ismail
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
I, Juni 2012
xvi+242 halaman,
LAUT bagi nelayan tidak hanya menyimpan rezeki yang melimpah, tetapi juga bahaya yang bisa mengancam keselamatan. Bagi mereka, laut juga dipercaya memiliki kekuatan gaib yang memberikan efek ganda kepada seorang nelayan. Rezeki yang melimpah di satu sisi, dan bahaya di sisi yang lain.
Kepercayaan nelayan terhadap adanya kekuatan gaib di laut didasari oleh cara mereka merefleksikan pengalaman empiriknya. Ketika terjadi nahas atau musibah di laut, atau ketika sebaliknya mendapat ikan yang banyak, peristiwa itu tidak dilihat dan ditempatkan sebagai peristiwa alam semesta, tetapi dimaknai sebagai adanya campur tangan makhluk-makhluk gaib di laut. Keyakinan inilah yang menjadi titik tolak pelaksanaan ritual bagi nelayan.
Melalui buku Agama Nelayan: Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal ini, Dr. Arifuddin Ismail mencoba menjelaskan tentang sisi religius masyarakat nelayan di Pambusuang, Mandar, Sulawesi Barat. Buku yang awalnya disertasi beliau ini, menyuguhkan ritual sebagai sebuah hasil akulturasi budaya Islam dengan budaya lokal nelayan Pambusuang yang menghasilkan sebuah budaya Islam lokal yang khas.
Ritual nelayan Pambusuang adalah ekspresi dari sistem religi lokal yang telah mengalami percampuran dengan nalar Islam. Yang mana, kepercayaan nelayan terhadap adanya kekuatan gaib di laut menggambarkan sikap dualistik. Yaitu, melakukan relasi agar mendapatkan penghasilan (rezeki) yang banyak dan menghindari pelanggaran terhadap sebuah pamali (pantangan) yang dapat menyebabkan malapetaka.
Arifuddin membagi ritual menjadi dua masa, ritual masa produksi yang meliputi ritual proses pembuatan perahu hingga ritual perahu diturunkan ke laut untuk pertama kalinya, dan ritual masa distribusi, yaitu ritual wujud syukur atas hasil tangkapan ikan para nelayan Pambusuang. (hal. 122)
Proses akulturasi nilai Islam ke dalam tradisi nelayan Pambusuang tentu saja tidak terlepas dari peran para ulama yang datang menyebarkan Islam ratusan tahun silam. Seperti, ulama Walisongo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa melalui sebuah akulturasi nilai Islam ke dalam budaya lokal tanpa menghapus budaya tersebut. Begitu juga yang dilakukan oleh ulama-ulama Pambusuang pada zaman dulu saat datang untuk menyebarkan Islam di tanah Pambusuang, Mandar, Sulawesi Barat.
Dengan harapan, Islam lokal sebagai hasil dari akulturasi ini menghasilkan masyarakat yang lebih menekankan proses pembersihan diri atau pembersihan hati. Dasar filosofi dari corak pembersihan hati adalah barakkaq atau berkah. Masyarakat lebih memilih harta yang barakkaq daripada harta yang melimpah. Barakkaq yang dimaksud adalah
Manusia yang mendapat barakkaq dalam kehidupannya diyakini sebagai manusia yang masagena, yakni manusia yang memperoleh kebahagiaan, baik secara materiel maupun spiritual. Oleh karena itu, cita-cita hidup masyarakat Pambusuang pada umumnya jika dikaitkan dengan harta adalah masagena, bukan masugi. Masagena dan masugi secara materiel adalah orang yang memiliki harta yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan subsistemnya. Namun, masugi diyakini belum tentu barakkaq. Masugi memang memiliki harta yang banyak, tetapi harta yang dimiliki tidak membawa pengaruh positif pada pemiliknya, bahkan cenderung antihumanis dengan mengedepankan sikap angkuh dalam dirinya. (hal. 222)
Dengan adanya buku Arifuddin ini, kita bisa memahami Islam secara lebih luas. Islam tidak hanya bisa kita temui di masjid atau rumah. Bahkan, Islam bisa kita temui di semua tempat, tak juga di laut, di atas perahu, dan di hutan (proses pembuatan perahu). Manusia tidak hidup dengan sendirinya, selalu ada campur tangan Tuhan dalam setiap aktivitas manusia.
Ritual menjadi salah satu media komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta. Menjadi manusia yang barakkaq adalah cita-cita seluruh umat Islam di dunia. Begitu juga, umat Islam (nelayan) Pambusuang. Dengan menjadi umat yang selalu mengedepankan kebahagiaan materiel (duniawi) dan kebahagian spiritual (akhirat) secara seimbang.
M. Al Mustafad, Peneliti di el Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 November 2012
klebihan n kelemahannya blm ada
ReplyDelete