November 11, 2012

[Refleksi] Lampung (2)

Oleh Djadjat Sudradjat


ORANG-ORANG kuat selalu percaya pada potensi diri sendiri. Orang lemah bahkan tak percaya pada diri sendiri dan tak berani berharap. Orang optimistis percaya pada diri sendiri dan harapan. Karena itu terus menggali potensi diri, mempraktekkannya dalam laku hidup, dan tak jemu terus melafalkan doa. Sebab, harapan bisa jadi sugesti.

Hari depan Lampung seperti juga Indonesia, adalah bergantung pada mereka yang percaya pada harapan itu. Sebab, ia niscaya. Ia akan hadir. Kecuali kiamat benar-benar terjadi seperti ramalan suku Maya, kiamat bakal hadir di pengujung tahun ini, bolehlah kita mengubur harapan akan masa depan itu.


Lampung yang dipuji banyak sejarawan (seperti M.C. Ricklefs dan Bernardh H.M. Vlekke) sebagai Tano Lado dan emas, secara historis adalah harapan itu sendiri. Ia adalah solusi dalam arti yang sesungguhnya. Memang pernah di suatu masa potensi hasil bumi dan tambangnya jadi biang ketegangan (diperebutkan oleh Banten, Bugis, Minangkabau), tapi Lampung tak memulainya. Ia pada posisi diperebutkan. Ia tak hanya berarti memakmurkan bagi Banten ketika di bawah kerajaan itu, tapi juga saudagar dari daerah lain.

Lampung adalah pilihan solusi bagi Hindia Belanda, bagi Indonesia, khususnya bagi Pulau Jawa. Pulau kecil itu, kata Vlekke dalam buku Nusantara, berpenduduk amat padat. Pada 1815, Jawa dan Madura berpenduduk 5 juta, melonjak menjadi 11 juta pada 1860, 28 juta pada 1900. Penduduk Jawa-Bali 70% penduduk Indonesia, di tanah yang hanya 7% wilayah negeri kita.

Penduduk sebanyak itu, yang hampir sepenuhnya bergantung pada sektor pertanian, tak saja menimbulkan problem penghidupan, tapi juga menjadi sumber ketegangan. Umumnya para petani menjadi mangsa para perente uang dan tengkulak loba. Betapa pun bank-bank desa begitu banyak didirikan, ia tak mampu menghalau para perente uang dan tengkulak.

Untunglah ada Lampung! Pilihan Lampung sebagai tempat pemindahan penduduk tak hanya dekat dengan Jawa, tapi karakter bumi Lampung, kata Vlekke, cocok untuk permukiman dan pertanian. Cocok bagi para petani Jawa yang biasa hidup komunal dalam sebuah desa. "Pada tahun 1905 koloni-koloni orang Jawa yang pertama ditempatkan di Lampung: sesudah itu daerah-daerah lainnya dibuka bagi transmigran," tulis Ricklefs dalam buku A History of Indonesia Since 1200.

Lampung kini menjadi tanjung harapan yang tak pernah terbayangkan. Provinsi ini kini berpenduduk 7,8 juta jiwa, mayoritas suku Jawa. Ia disebut juga "Jawa Utara". Seluruh suku di sini telah membangun karakter Lampung, yang terbuka. Ia saling menguatkan.

LAMPUNG, jelas, bukanlah sejarah yang saling menegasi antara yang "lama" dan yang "baru". Ia tak serupa "Tanjung Harapan" Amerika (Serikat). Negeri ini dibangun dari banyak bangsa, yang saling menguasai antara yang kuat dan merasa terhormat versus yang lemah dan dianggap rendah.

Amerika yang bertumbuh sebagai bangsa multikultur, toh tetap punya sejarah kekerasan yang berganti-ganti. Cerita seorang Malcolm X yang memilukan tapi juga menginspirasi kesederajatan, bukan cerita seorang diri (Negro dan kemudian Islam). Tetapi cerita masa silam Amerika yang intoleran dan saling menghabisi.

Kita tahu seperti penuturan Malcolm, Harlem yang kini "melegenda" sebagai permukiman kaum Negro, mula-mula berdiam orang Belanda di situ. Secara bergelombang bangsa Jerman kemudian masuk dan Belanda pun tersisih. Ketika orang Irlandia yang merasa lebih jagoan masuk, orang Jerman pun terusir. Lalu imigran Irlandia pun hengkang ketika orang-orang Italia menguasainya. Orang Italia pun kemudian tak berdaya ketika kaum Yahudi yang merasa menjadi bangsa "pilihan" Tuhan menguasai daerah itu.

Memang seperti keyakinan Ali Syariati "manusia adalah masalah terpenting dari semua masalah". Ia penuh nafsu persaingan. Tetapi, sekali lagi, di Lampung, tak ada cerita seperti dituturkan Malcolm X, meski kita sependapat juga dengan Syariati. Ketegangan pastilah tak mungkin dihindari dari sebuah interaksi banyak pihak. Lampung bahkan bisa disebut "Siti Tenterem" (Tanah Damai) dari perspektif menerima para pendatang.

Sejarah itulah salah satu yang menguatkan kita untuk terus merawat Lampung, selain "kewajiban" sebagai warga negara. Karena itu, ajakan berbagai kalangan (aktivis kemanusiaan, seniman, budayawan, pers, aktivis antikorupsi, tokoh lintas agama), yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Lampung Damai adalah upaya yang substantif. Ia merupakan gerakan moral yang berupaya melihat persoalan dari akar masalah yang paling dasar. Sebab, kebudayaan melihat seluruh etnis punya kesederajatan dalam membangun keindonesiaan. Juga Lampung.

Tekad "Damai Lampungku, Damai Indonesiaku" bukanlah tanpa sebab. Kekerasan sosial tidak saja membuang banyak ruang kebajikan, tapi juga akan terus memupuk prasangka dan menciptakan stereotip pada setiap "yang bukan kita". Hidup damai adalah hak setiap warga, karena itu setiap kita mestinya ikut mengupayakannya.

Perdamaian mungkin tak sempurna, tapi ia bisa menyelamatkan kebenaran. Berdamai juga bukan jaminan tanpa ketegangan sedikit pun, tapi semua pihak merasa mendapat keadilan. Adil bukan saja bagi para pihak yang berkonflik, tapi juga seluruh warga Lampung. Ini jelas butuh birokrasi yang paham bagaimana mengelola keragaman ini. Birokrasi yang oligarkis, yang memaksakan "satu kebenaran", yang mengingkari keberagaman, yang tercium bau primordial dan transaksi jual-beli, jelas akan jadi musuh perdamaian.

Lampung yang ditakdirkan menjadi "Indonesia Mini" harus dijauhkan dari praktek birokrasi serupa itu. Terlalu mahal harga yang harus dibayar untuk setiap upaya pengingkaran terhadap takdir hidup dalam masyarakat multikultur.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 November 2012

No comments:

Post a Comment