Oleh H. Bambang Eka Wijaya
"AMUK (belasan ribu orang) massa yang kalap hingga tak bisa diatasi ribuan polisi dan tentara menunjukkan orisinal dan murninya aksi kekerasan itu sebagai pelampiasan amarah warga sendiri, terlepas dari arahan maupun kepentingan elite!" ujar Umar. "Tudingan di balik kerusuhan itu ada elite bermain demi tujuan politik, bisa keliru! Karena, pengerah utama massa hari itu (29-10) adalah emosi mereka sendiri, yang tersulut oleh pemakaman rekan mereka yang menjadi korban bentrokan hari sebelumnya!"
"Terlepasnya amuk massa itu dari arahan dan kepentingan elite, bukan berarti adanya kesenjangan elite dan massa!" timpal Amir. "Dari peristiwa itu mungkin yang bisa dipastikan terkait relasi elite-massa adalah, tak hadirnya di lapangan hari itu elite berkarisma yang mampu menghentikan langkah maju massa!"
"Saat emosi membara itu, memang hanya karisma ulung pemimpin yang bisa memadamkan!" tegas Umar. "Tapi tak ada elite sekelas itu yang hadir di lapangan, hingga tak ada yang bisa menghentikan gerak massa hari itu!"
"Lantas ke mana elite berkarisma hari itu?" sela Amir.
"Mungkin justru di tempat yang semestinya!" tegas Umar. "Karena posisi elite berkarisma belakangan agak terganggu oleh elite pragmatis, di antaranya elite politik, yang sibuk mendekati rakyat saat butuh dukungan untuk meraih kursi eksekutif atau legislatif! Di belakang elite politik itu ada pula 'elite sembako', yang posisinya di antara elite politik dan massa! Buah tangan elite sembako dinanti oleh massa, paket sembako yang memang mereka butuhkan! Sebagai imbalannya, massa menaati arahan si elite untuk pilihan dalam setiap pemilu nasional/daerah!"
"Jadi konflik yang terjadi juga tak terlepas dari terganggunya peran elite karisma oleh elite pragmatis!" timpal Amir. "Dalam prakteknya, ketika ada gejolak massa, seolah-olah elite pragmatis mampu mengatasi, tapi saat konflik meledak ternyata malah tak kelihatan batang hidungnya! Padahal, elite karisma telanjur menjaga jarak agar tak terkesan 'ngerusuhi' hubungan elite pragmatis dengan massa!"
"Berarti salah satu hal penting untuk penyelesaian konflik, menempatkan kembali posisi elite karisma pada proporsinya?tak lagi dikesampingkan oleh hubungan elite pragmatis dan massa yang bersifat transaksional itu!" tegas Umar. "Masalahnya, massa sendiri menerima pengaruh elite pragmatis sebatas arahan pilihan saat pemilu, tidak untuk yang lain! Massa memberi sesuai transaksi, apa yang dibeli elite pragmatis! Sehingga, ketika elite pragmatis coba menghentikan langkahnya dalam konflik tertentu, massa tak peduli! Itu memang otoritas elite karisma!"
Sumber: Lampung Post, Kamis, 1 November 2012
"AMUK (belasan ribu orang) massa yang kalap hingga tak bisa diatasi ribuan polisi dan tentara menunjukkan orisinal dan murninya aksi kekerasan itu sebagai pelampiasan amarah warga sendiri, terlepas dari arahan maupun kepentingan elite!" ujar Umar. "Tudingan di balik kerusuhan itu ada elite bermain demi tujuan politik, bisa keliru! Karena, pengerah utama massa hari itu (29-10) adalah emosi mereka sendiri, yang tersulut oleh pemakaman rekan mereka yang menjadi korban bentrokan hari sebelumnya!"
"Terlepasnya amuk massa itu dari arahan dan kepentingan elite, bukan berarti adanya kesenjangan elite dan massa!" timpal Amir. "Dari peristiwa itu mungkin yang bisa dipastikan terkait relasi elite-massa adalah, tak hadirnya di lapangan hari itu elite berkarisma yang mampu menghentikan langkah maju massa!"
"Saat emosi membara itu, memang hanya karisma ulung pemimpin yang bisa memadamkan!" tegas Umar. "Tapi tak ada elite sekelas itu yang hadir di lapangan, hingga tak ada yang bisa menghentikan gerak massa hari itu!"
"Lantas ke mana elite berkarisma hari itu?" sela Amir.
"Mungkin justru di tempat yang semestinya!" tegas Umar. "Karena posisi elite berkarisma belakangan agak terganggu oleh elite pragmatis, di antaranya elite politik, yang sibuk mendekati rakyat saat butuh dukungan untuk meraih kursi eksekutif atau legislatif! Di belakang elite politik itu ada pula 'elite sembako', yang posisinya di antara elite politik dan massa! Buah tangan elite sembako dinanti oleh massa, paket sembako yang memang mereka butuhkan! Sebagai imbalannya, massa menaati arahan si elite untuk pilihan dalam setiap pemilu nasional/daerah!"
"Jadi konflik yang terjadi juga tak terlepas dari terganggunya peran elite karisma oleh elite pragmatis!" timpal Amir. "Dalam prakteknya, ketika ada gejolak massa, seolah-olah elite pragmatis mampu mengatasi, tapi saat konflik meledak ternyata malah tak kelihatan batang hidungnya! Padahal, elite karisma telanjur menjaga jarak agar tak terkesan 'ngerusuhi' hubungan elite pragmatis dengan massa!"
"Berarti salah satu hal penting untuk penyelesaian konflik, menempatkan kembali posisi elite karisma pada proporsinya?tak lagi dikesampingkan oleh hubungan elite pragmatis dan massa yang bersifat transaksional itu!" tegas Umar. "Masalahnya, massa sendiri menerima pengaruh elite pragmatis sebatas arahan pilihan saat pemilu, tidak untuk yang lain! Massa memberi sesuai transaksi, apa yang dibeli elite pragmatis! Sehingga, ketika elite pragmatis coba menghentikan langkahnya dalam konflik tertentu, massa tak peduli! Itu memang otoritas elite karisma!"
Sumber: Lampung Post, Kamis, 1 November 2012
No comments:
Post a Comment