November 19, 2012

Semua Etnis Harus Pahami Budaya Lampung

Oleh Andi Ahmad Sampurna Jaya


MENELISIK pecahnya konflik horizontal di Lampung akhir-akhir ini, sangat memprihatinkan kita semua. Apalagi konflik etnis hanya disebabkan kesalahpahaman belaka, bukan karena persoalan yang prinsip. Kondisi ini sangat mengganggu hubungan antarkekerabatan dan persaudaraan beda suku dan agama dalam koridor NKRI.

Kita semua sepakat apa pun suku dan agama, baik asli maupun pendatang, mengaku sebagai warga Lampung. Apalagi kita hidup dan berkeluarga, serta membangun ?Bumi Lada? dengan segala pengorbanan kita untuk meraih kesejahteraan dan kemakmuran bersama.


Namun, jerih payah kita sebagai masyarakat Lampung bersatu, janganlah ternodai oleh perbedaan antara masyarakat dan suku yang menjadi pemicu dan pemantik dendam kesumat di antara anak bangsa sesama orang Indonesia. Sebagai masyarakat Lampung, baik asli, pendatang, maupun dari mana asalnya, harus memahami budaya Lampung yang terdiri dua jurai. Jurai pertama Pepadun dan jurai kedua Saibatin/Pesisir.

Lampung mempunyai keunikan meskipun memiliki bahasa daerah sendiri, bahasa yang digunakan, terutama di kota-kota tidak lagi menggunakan bahasa Lampung, melainkan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan, di kampung-kampung tertentu, masyarakat asli suku Lampung sangat fasih dengan bahasa suku pendatang, khususnya bahasa Jawa. Ini membuktikan bahwa suku Lampung dapat menerima saudara-saudaranya dari suku lain dari luar Propinsi Lampung (akulturasi) dan dapat hidup bersama berdampingan secara damai dalam bermasyarakat. Hal ini sesuai dengan salah satu falsafah Lampung nemui nyimah (menghormati dan ramah kepada tamu).

Dalam kehidupan bermasyarakat mereka dapat bekerja sama dalam semua hal walaupun ada perbedaan etnis, budaya, dan kepercayaan. Hal ini dapat dilihat Lampung merupakan tempat perpindahan penduduk pendatang, khususnya suku Jawa, dari sejak era kolonisasi pertama zaman Belanda, antara lain di Gedongtataan dan Lampung Tengah (Metro), demikian pula disusul oleh suku-suku lain, seperti suku Bali, Palembang, Batak, Minang, dan lain-lain.

Penduduk Lampung sangat heterogen dan karena itu Lampung disebut-sebut sebagai miniatur Indonesia. Hal ini tentunya bukanlah sesuatu yang mudah dalam menyikapi dan menjaga keutuhan bersama dalam bentuk kesatuan dan persatuan.

Sebagaimana kita ketahui, akhir-akhir ini telah terjadi insiden berdarah antara masyarakat di Lampung Selatan, Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, dan Desa Agom, Kecamatan Kalianda, serta di Lampung Tengah antara warga Desa Kesumadadi, Kecamatan Bekri dan Desa Buyut, Kecamatan Gunungsugih, karena dipicu masalah kriminal.

Antisipasi Kerusuhan

Masalah ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak dapat mengantisipasi keadaan masyarakat yang mempunyai potensi kerusuhan. Pertama, pemda setempat bersama muspida dan tokoh-tokoh masyarakat/tokoh-tokoh adat, dan tokoh agama melakukan pendekatan dengan masyarakat lintas suku, terutama kepada individu yang bersangkutan, agar perdamaian ini tidak bersifat seremonial. Kedua, aparat keamanan dapat bertindak secara tegas kepada mereka yang melanggar hukum.

Ketiga, seyogianya pemerintah daerah dapat memberikan tali asih kepada pihak-pihak masyarakat atau individu yang dirugikan. Keempat, apabila sedini mungkin pembinaan kepada masyarakat secara rutin dan terpadu maka kejadian seperti ini dapat diantisipasi dengan baik. Kelima, contoh di bidang keagamaan, secara rutin dapat dilakukan pertemuan antarumat beragama dengan cara doa bersama dan kegiatan-kegiatan kepemudaan melalui kesenian dan olahraga dengan melibatkan organisasi kepemudaan.

Hargai Nilai Lokal

Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari paparan tersebut. Pertama, dari makna budaya suku, etnis, dan kepercayaan yang berbeda, masyarakat Lampung dapat menerima saudara-saudaranya dari suku lain sesuai dengan falsafah, antara lain nemui nyimah dan sakai sambayan yang terdapat dalam budaya Lampung. Namun, bisa terjadi hal-hal yang sangat frontal apabila harga diri penduduk asli merasa terhina sesuai dengan falsafah Lampung piil pesenggiri (harga diri). Masyarakat pendatang tidak lagi menghargai nilai-nilai kultural dan adat istiadat warga setempat.

Kedua, harapan kita semua agar masyarakat Lampung yang heterogen ini dapat saling menghargai perbedaan yang ada dalam masyarakat, baik etnis, budaya, dan kepercayaan masing-masing. Akhirnya, rasa nasionalisme, rasa kebersamaan, serta kehidupan berbangsa dan bernegara yang terukir dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai pengikat persatuan dan kesatuan yang merupakan bagian dari dasar negara kita Pancasila dapat diwujudkan dan dirasakan dalam kehidupan masyarakat kita.

Ketiga, perdamaian yang dilakukan semua pihak harus menyertakan seluruh masyarakat hingga grass root (akar rumput), bukan pada tataran elite dan tokoh-tokohnya saja, serta bukan hanya formalitas belaka. Semua elemen masyarakat harus mematuhi perdamaian yang difasilitasi pemda dan aparat keamanan. Keempat, perdamaian yang dilakukan bisa dalam bentuk saling angkat saudara (seangkoan) dan tidak ada dendam kesumat di antara pihak?pihak yang berkonflik.

Andi Ahmad Sampurna Jaya, Seniman, Mantan Bupati Lampung Tengah

Sumber: Lampung Post, Senin, 19 November 2012

No comments:

Post a Comment