-- Teguh Prasetyo
"PUISI merupakan tempat serta upaya membuat sesuatu yang tampak sia-sia menjadi berharga."
Kalimat yang dilontarkan Goenawan Mohamad mungkin bagi masyarakat awam hanyalah sebatas kalimat lalu saja. Namun, ternyata bagi mereka yang menjadi penyair, bisa jadi kalimat ini menjadi semacam motivator untuk terus berbuat dan berkarya dalam kerja-kerja kreatifnya guna melahirkan karya sebagai sebuah perwujudan eksistensi kepenyairannya.
Dan bisa jadi kalimat tersebut juga yang kemudian menjadi semacam satu ruh yang mengantarkan kegiatan bilik jumpa sastra yang bertajuk Trisula Muda Penyair Lampung yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila di Gedung PKM, Kamis (27-9). Adapun trisula penyair muda yang dihadirkan ialah Lupita Lukman, Anton Kurniawan, dan Hendri Rosevelt.
Menurut penyair Ari Pahala Hutabarat, ketiga penyair tersebut memang bisa dikatakan yang paling menonjol karyanya dibanding dengan para penyair muda Lampung lain yang kini mulai bermunculan. "Ketiganya merupakan penyair muda yang paling berbakat. Ini bisa dilihat dari kuantitas karyanya yang bisa dilihat di berbagai koran daerah dan nasional secara kontinu."
Selain dari segi kuantitas karya yang banyak tersebar, menurut Ari, karya ketiga penyair muda ini bisa dikatakan sangat berkualitas. "Sebab, memang dalam melakukan pemilihan penyair muda yang bisa dimasukkan trisula penyair muda ini, kami juga mempertimbangkan kualitas karya yang dihasilkan. Jadi tidak semata-mata kuantitasnya yang banyak menyebar di berbagai media," katanya.
Sebab itu, dalam acara yang merupakan kegiatan bulanan UKMBS bekerja sama dengan Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) ini, ketiga penyair dibedah. Terutama berkaitan dengan proses kreatif yang telah dilaluinya selama ini, sehingga bisa melahirkan karya-karya yang berkualitas.
Bahkan, tidak sampai di situ saja, tiga penyair muda ini pun harus memaparkan alasan yang digunakan ketika memilih satu kalimat yang digunakan dalam karyanya hingga makna yang terkandung dalam satu karya.
Namun, tentu saja tidak hanya sebatas itu karena selain dibedah karyanya, ketiga penyair ini juga membacakan karya-karyanya langsung di hadapan lebih dari 50 peserta.
"Paling tidak dengan menghadirkan ketiga penyair muda berbakat ini, coba diperkenalkan ke khazanah yang lebih formil kepada para peserta yang hadir. Sebab, selama ini mereka lebih banyak dikenal karyanya dibanding dengan orangnya," ujar Ari.
Sementara Anton Kurniawan, penyair yang kini juga berprofesi sebagai pengajar di Kabupaten Lampung Barat, mengatakan dia merasa tidak spesial dibanding dengan para penyair muda Lampung lain yang banyak bermunculan. "Nggak ada yang spesial dari karya saya. Apalagi saya sendiri hingga kini masih dalam proses dan pencarian yang sampai sekarang terus saya lakukan."
Terlebih lagi, menurut dia, proses kreatifnya dalam penulisan masih bisa dikatakan sangat baru, yakni pada tahun 2003. "Awalnya karena saya berdekatan dengan dunia teater, akhirnya membuat saya begitu dekat dengan puisi. Apalagi puisi ini bisa mewakili gundah gulana yang dialami setiap penulis," kata Anton.
Makanya, menurut Anton, karyanya juga banyak mendapatkan banyak kritikan peserta. "Karena ternyata karyanya dipandang melepas dari logika yang ada dan dikatakan masih sangat gelap. Terlebih lagi dengan maksud dan makna yang terkandung dalam karyanya masih sulit ditangkap arahnya mau menuju ke mana."
Meskipun demikian, karya Anton pernah menjadi juara pertama penulisan puisi tentang perempuan yang digelar Lembaga Advokasi Perempuan Damar beberapa tahun lalu. Bahkan pada tahun 2006, karyanya berhasil menjadi juara kedua dalam Lomba Cipta Puisi Festival Krakatau 2006 dan berhasil menyisihkan karya para penyair dari seluruh Indonesia.
Komentar yang sama juga dikemukakan Hendri Rosevelt yang juga mengawali kedekatan dengan dunia seni lewat teater dan baru beraktivitas dalam dunia sastra terutama puisi. Untuk itu, dia merasa belum layak disebut penyair.
"Karena saya tidak memiliki kewenangan memberikan satu argumen terhadap karya yang saya hasilkan. Akan tetapi, yang berhak memberikan argumen adalah orang lain yang membaca karya saya untuk dibedah dan diapresiasi," kata Hendri.
Sebab, ujar Hendri, puisi merupakan hal yang sangat personal untuk sekadar berbagi kisah saja. "Kemudian rasa tersebut ditambahkan dengan pengalaman ekstetis. Tidak lebih dan tidak kurang."
Oleh sebab itu, kata Hendri, puisi terus mengalami perubahan-perubahan dalam beberapa kurun waktu tertentu. "Makanya penulis sepertinya dituntut terus mengikuti realitas yang menjadi sumber inspirasinya baik berupa gagasan atau ide, pengalaman, dorongan atau hasrat terhadap sesuatu yang membuatnya terserap pada sebuah keadaan atau situasi yang menggetarkan dan berlangsung hanya beberapa saat."
Dan di sinilah penulis akan mengerahkan segenap kemampuannya serta perangkat dalam dirinya. "Bahasa kemudian menjadi satu-satunya sarana yang dinilai mampu mendekati kemisterian realitas tersebut sehingga terciptalah "jalan" yang mengantar si pembaca untuk menjenguknya," ujar peraih juara satu Peksiminas VIII tahun 2006 ini.
Sehingga, kemudian tidak salah apabila seorang pengamat sstra yang mengatakan puisi merupakan puncak bahasa, terutama dalam bentuk tulisan. "Artinya, betapa pun besar gagasan yang kita punyai atau hebatnya pengalaman yang didapat untuk dijadikan sebuah karya, pada akhirnya sangat membutuhkan logika dan rasa bahasa untuk menuliskannya. Dan bahasalah yang mampu mewakili realitas tersebut."
Meskipun demikian, menghadirkan karya puisi diumpamakan seperti lengan yang menunjuk ke sebuah wilayah atau peristiwa. "Sehingga bisa jadi kata yang berlangsung di benak kita saat itu tak ada makna, akan tetapi tiba-tiba saja begitu penting bagi saya untuk membiarkannya hadir dalam puisi. Ini seperti fosil purba yang dikemukan para arkeolog dalam penggaliannya."
Pun dengan Lupita Lukman, dia menceritakan bahwa awal karya puisinya lebih surealis. Namun, akhir-akhir ini malah cendrung naratif seperti menceritakan dengan menggunakan plot-plot dan deskriptif. Kalau bisa dikatakan dahulunya puisi saya itu pendek-pendek, tapi sekarang sangat panjang-panjang sekali.
Dia mengatakan eksplorasi karyanya kini lebih banyak berbicara waktu. "Ide itu datang begitu saja, apa yang terserak. Kalau ketemu momen dan suasana hati, saya bisa membuat puisi. Dan pastinya semuanya berdasar pada pengalaman langsung dari saya terhadap momen tersebut," ujarnya
Paling tidak, membedah ketiga penyair muda Lampung ini memberikan satu kegairahan tersendiri untuk terus berkarya dan mencipta. Gairah muda yang terlihat itu, terus menerus mencoba meretas setiap peristiwa lewat kata yang melewati pengalaman ekstetikanya. Sehingga setidaknya masih ada yang mencoba membuat sesuatu yang tampaknya sia-sia menjadi berharga lewat karya puisinya.
Dan penggalan puisi "Kepada Kawan" karya Anton Kurniawan bisa menjadi satu pelengkap di akhir tulisan ini. "... usai ini hari/ masihkah kita sempat menangkup kenangan/ membaca segala di bening mata/ mengenang harum mayang rambut/ atau sekadar bertukar kabar dan membuka catatan/ yang pernah tertulis dalam berlembar malam/...".
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 September 2007
September 30, 2007
Kronik: Apresiasi Sastra Daerah di Lampung Rendah
APRESIASI sastra daerah di kalangan pelajar di Lampung dinilai masih rendah, antara lain karena faktor penguasaan bahasa dan penekanan mata pelajaran muatan lokal (mulok) pada penguasaan tulisan (aksara) dibandingkan bahasa sebagai alat komunikasi.
Penilaian itu diungkapkan budayawan Lampung, Havizi Hasan di Bandarlampung, Selasa (25/9).
Salah satu pelaku sastra tradisional Lampung, H Ilyas, juga membenarkan penilaian Havizi tersebut.
Havizi menilai, pembelajaran bahasa Lampung lewat mulok itu harus direvisi.
Pembelajaran bahasa Lampung itu pada tingkat operasionalnya tak mencapai hasil maksimal terutama dalam praktik berkomunikasi.
"Yang terjadi siswa punya kemampuan menulis aksara Lampung tapi tidak mampu menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari," kata Havizi.
Menurut dia, persoalan sastra adalah persoalan bahasa, sehingga sangat tidak mungkin para pelajar di daerahnya dapat mengapresiasi karya sastra Lampung kalau tidak menguasai bahasanya.
"Pengembangan bahasa akan mendukung pengembangan sastra dan sebaliknya," katanya.
Dia berpendapat, Bahasa Lampung sulit berkembang tidak seperti bahasa daerah lainnya seperti bahasa Palembang, Minang, Sunda, dan Jawa.
Penyebab utamanya adalah orang Lampung sendiri yang kurang mengapresiasi bahasa daerahnya sendiri, sehingga hambatan utama dalam pemasyarakatan bahasa Lampung adalah karena tidak adanya rasa bangga menjadi orang Lampung.
"Orang Lampung sendiri tidak merasa bangga dengan bahasa ibunya sendiri, seperti dalam keluarga ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Lampung," ujarnya.
Dia menyarankan, semestinya Pemda menerapkan aturan minimal sehari dalam seminggu untuk penggunaan bahasa Lampung di sekolah atau kantor-kantor dan berbagai metode lain untuk lebih memasyarakatkan bahasa Lampung yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahasa lisan dan pergaulan. ANT/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 September 2007
Penilaian itu diungkapkan budayawan Lampung, Havizi Hasan di Bandarlampung, Selasa (25/9).
Salah satu pelaku sastra tradisional Lampung, H Ilyas, juga membenarkan penilaian Havizi tersebut.
Havizi menilai, pembelajaran bahasa Lampung lewat mulok itu harus direvisi.
Pembelajaran bahasa Lampung itu pada tingkat operasionalnya tak mencapai hasil maksimal terutama dalam praktik berkomunikasi.
"Yang terjadi siswa punya kemampuan menulis aksara Lampung tapi tidak mampu menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari," kata Havizi.
Menurut dia, persoalan sastra adalah persoalan bahasa, sehingga sangat tidak mungkin para pelajar di daerahnya dapat mengapresiasi karya sastra Lampung kalau tidak menguasai bahasanya.
"Pengembangan bahasa akan mendukung pengembangan sastra dan sebaliknya," katanya.
Dia berpendapat, Bahasa Lampung sulit berkembang tidak seperti bahasa daerah lainnya seperti bahasa Palembang, Minang, Sunda, dan Jawa.
Penyebab utamanya adalah orang Lampung sendiri yang kurang mengapresiasi bahasa daerahnya sendiri, sehingga hambatan utama dalam pemasyarakatan bahasa Lampung adalah karena tidak adanya rasa bangga menjadi orang Lampung.
"Orang Lampung sendiri tidak merasa bangga dengan bahasa ibunya sendiri, seperti dalam keluarga ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Lampung," ujarnya.
Dia menyarankan, semestinya Pemda menerapkan aturan minimal sehari dalam seminggu untuk penggunaan bahasa Lampung di sekolah atau kantor-kantor dan berbagai metode lain untuk lebih memasyarakatkan bahasa Lampung yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahasa lisan dan pergaulan. ANT/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 September 2007
Bingkai: Defamilierisasi Tari Bedana
-- Endri Y*
DALAM acara pesta muda mudi, ketika disuruh berdiri kemudian memilih musik untuk bergembira dan menari, apa yang akan Anda pilih? Pasti mengemuka pilihan; disko, remix, dangdut, poco-poco, cha-cha, ska, atau justru meneriakkan terserah DJ!
Mustahil rasanya memilih, "Tari bedana aja!" Bahkan ketika pertanyaannya dibuat pilihan ganda sekalipun, mungkin malah muncul pertanyaan, "Apa sih Tari Bedana itu?"
Padahal Tari Bedana adalah perwujudan luapan sukacita atas wiraga (gerak badan) untuk mencapai ekstase, dalam batas-batas tertentu ketika menari diiringi gamelan khasnya, jiwa kita seperti mengembarai lembah-lembah hijau di bawah kaki Gunung Rajabasa, semua berubah indah. Riang.
Estetika tari bedana membuat kedirian kita berasa selalu muda. Penuh antusiasme. Dan pada kesempatan lain, ketika menyaksikan langsung tari bedana dipentaskan dengan sunggingan senyum manis muli-mekhanai, kita serasa diguyur air pegunungan yang atis. Secara otomatis terpancing "begitu ingin" larut dalam tari.
Tari bedana yang diyakini bernapaskan agama Islam merupakan tari tradisional, mencerminkan tata kehidupan masyarakat Lampung yang ramah dan terbuka sebagai simbol persahabatan dan pergaulan. Pada tari ini tergambar nilai akulturasi antara tata cara dan pranata sosio- kultural adat gaul anak muda Lampung dengan komitmen beragama.
Budaya dengan unsur spiritualistik yang memiliki aspek lokalitas, mulai menjadi kebutuhan terpenting untuk membentengi--meminjam bahasa Edward W. Said dalam bukunya, Kebudayaan dan Kekuasaan--imperealisme kebudayaan. Sebelum sampai pada definisi tentang seni Islam, perlu kiranya kita merujuk pada khazanah lama yang positif agar tidak terjebak pada nativisme budaya.
Penulis berharap kekayaan budaya Lampung, selain tidak ambigu, antimodernitas, dan terpenting jangan sampai budaya itu terputus. Kekhawatiran pada keterputusan budaya (cultural discontinuity) ini, perlu dirumuskan sistematika pelestarian yang terukur dan efektif. Dari sinilah permulaan dibutuhkannya al-turats atau tradisi diteliti dan diinventarisasi.
Fundamen pemikiran untuk pelestarian tari bedana, termasuk semua khazanah budaya Lampung yang lain, secara kritis harus memperhitungkan pertama, oublie (yang dilupakan). Terkait pencermatan pada pertanyaan adakah yang dilupakan dalam ragam gerak yang terstruktur pada tari bedana yang familier dikonsumsi publik kini.
Ragam satu sampai sembilan dengan komposisi gerakan; khesek gantung, khesek injing, tahtim dan penghormatan, jimpang, ayun, humbak moloh, belitut, gelek, dan gantung adalah ragam struktur gerak elegan, tetapi masih perlu kajian empirik untuk benar-benar membuktikan tidak ada yang dilupakan.
Masuk pada pertanyaan kritis kedua, travesty atau adakah yang dipalsukan dalam gerakan tari bedana? Dari sini sebenarnya penulis berusaha mengkaji fungsinya secara ideologis-filosofis. Maka refleksi dari yang dilupakan dan yang dipalsukan itulah pisau analitik sebagai alat untuk sampai pada keindahan yang lain yang belum terpikirkan (impense).
Sangat terbuka ruang kontemplatif agar embrional keramahan budaya lokal dapat lebih mempertegas bangunan peradaban Lampung di masa depan. Sebab, maraknya seni budaya yang diarahkan atau mengekor pada westernisasi, bahkan diadopsi secara sporadis, meminjam ramalan John Neisbit tentang kemungkinan yang terjadi pada banyak orang akibat derasnya arus informasi dan komunikasi tentang berpikir secara lokal, bertindak secara global (think locally, act globally).
Karena pengaruh itulah tari bedana dipastikan tergeser oleh seni koreografi (seni kontemporer) lain yang lebih terkesan modern misalnya; ciliders, dance, aerobic, dan lain sebagainya. Berikut dentingan gamelan khas yang mengiringinya, mungkinkah agar eksis perlu aransemen dan atau ditambah alat musik modern jika dinilai bebunyiannya terlalu kolot, ndesit, dan ortodoks?
Bahkan, sebenarnya paradigma yang stigmatis, ketika tari bedana kurang bagus untuk acara pesta muda-mudi waktu pernikahan atau tari latar lagu pop alternatif. Tari Bedana dengan konsep keramahan budaya lokal seyogianya dapat membentengi atau minimal menjadi alternatif seni koreografi.
Persoalannya adalah sejauh mana tingkat sosialisasi dan berapa banyak anak muda yang menguasai wiraga itu? Seandainya seperti tari komando misalnya, yang semua anak pramuka dari penggalang, penegak, sampai pandega begitu fasih menguasai gerakan berikut improvisasi dengan iringan musik apa pun, mungkin kelestarian tari bedana bukan persoalan.
Tafsir dari 'Khesek' Gantung ke Gantung
Seni Islam, dari defenisinya terlalu membuat bias, cenderung dikotomis. Maka meminjam motodologi almarhum Prof. Dr. Kuntowijoyo terkait dengan budaya profetik, sebuah strategi sosial-budaya dengan meletakkan tradisi lokal dalam muatan nilai keislaman agar manunggal sebagai nafas estetika, yaitu sisi lain keindahan dan kebenaran yang mengajak ke jalan Tuhan.
Sekarang ini tari bedana boleh terkesan ndeso, kampungan atau ketinggalan zaman dibanding dengan seni tari modern semacam cha-cha, dansa, dll. (yang juga tari tradisi Brasil dan Inggris). Akan tetapi, menurut prediksi Kuntowijoyo, tahun 2020 adalah titik pangkal realisasi ide jika strategi profetik berhasil merealisasi program seni kemanusiaan sebagai kelanjutan dari berbagai aksi pembaharuan sosial-budaya berbasis kesadaran keagamaan. Jika stratak ini dilakukan, keniscayaan dan jangan heran jika nanti tari bedana sebagai ikon dan jenis tarian favorit pengiring gembira. Padahal orang yang menguasai dan paham tari bedana makin langka.
Tafsir konseptual gerak tari bedana dari ragam satu; kehesek gantung sampai pada ragam sembilan sebagai gerak penutup yang bernama gantung, memiliki makna keramahan dan kebahagiaan hidup. Sekaligus mengandung aspek moral tata laku antara bujang dan gadis, berinteraksi saling melempar senyum tetapi tidak bersentuhan, bahkan tidak saling menatap atau implisit sama-sama menundukkan pandangan (ghodob absor), anggun dan santun, barangkali inilah salah satu napas Islam dalam Tari Bedana.
Selain itu, prosesi tahtim dan penghormatan yang terletak pada posisi ragam ketiga, sebuah pembangkangan kultural atau defamilierisasi yang menarik. Akan tetapi, setelah mencermati lebih lanjut, sebelum ragam khesek injing pada posisi kedua, gerakan khesek gantung menggambarkan aturan wudu, arena bersuci untuk sampai pada ritual ibadah penyembahan pada Tuhan.
Lihatlah ketika memutar tangan (khesek gantung) yang kemudian mengayunkan tangan. Di sini tahtim dan penghormatan (seolah mengusap wajah) menjadi sinergi untuk gerakan (sistematika) wudu.
Dalam kerangka filosofis, tari ini mengandung keagungan profetik. Tari bedana memang tidak setenar poco-poco. Hal ini didasari, selain intensitas manggung, kecintaan pada khazanah budaya lokal kita sebagai masyarakat Lampung layak dikritisi.
Ini kemudian berimbas pada sosialisasi. Masuk juga produksi karya berkesenian para seniman kita yang tidak (baca; kurang berakar) pada keramahan lokal. Logikanya adalah kekuatan seni yang berbasiskan kearifan budaya lokal dengan sentuhan nilai islami ternyata sulit mendapat tempat karena bersentuhan dengan sensibilitas publik yang banyak dipecundangi nafsu.
Akan tetapi, metodologis profetik yang digunakan penafsiran budaya, sebenarnya juga sudah menjadi ilmu alat mengkaji apakah seni ini mengajak pada ketuhanan atau mengajak pada penjajaan syahwat.
Pertanyaan penting atas fenomena defemiliarisasi ini, utamanya lagu- lagu dangdut atau pop Lampung dalam video CD-nya, kenapa tak berlatar Tari Bedana? Lebih penting, pesta muda mudi ketika ada pernikahan, kenapa tidak menari Bedana saja ketimbang joget tak beraturan, lebih parah organ(an) dengan lagu goyang dombret, di mana sang biduanita bergoyang binal ke arah mikrofon dan disaksikan anak- anak usia sekolah.
Ironisnya lagi, hajatan itu di rumah tokoh adat Lampung!
* Endri Y., Ketua Seni Budaya PW Pemuda Muhammadiyah Provinsi Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 September 2007
DALAM acara pesta muda mudi, ketika disuruh berdiri kemudian memilih musik untuk bergembira dan menari, apa yang akan Anda pilih? Pasti mengemuka pilihan; disko, remix, dangdut, poco-poco, cha-cha, ska, atau justru meneriakkan terserah DJ!
Mustahil rasanya memilih, "Tari bedana aja!" Bahkan ketika pertanyaannya dibuat pilihan ganda sekalipun, mungkin malah muncul pertanyaan, "Apa sih Tari Bedana itu?"
***
Padahal Tari Bedana adalah perwujudan luapan sukacita atas wiraga (gerak badan) untuk mencapai ekstase, dalam batas-batas tertentu ketika menari diiringi gamelan khasnya, jiwa kita seperti mengembarai lembah-lembah hijau di bawah kaki Gunung Rajabasa, semua berubah indah. Riang.
Estetika tari bedana membuat kedirian kita berasa selalu muda. Penuh antusiasme. Dan pada kesempatan lain, ketika menyaksikan langsung tari bedana dipentaskan dengan sunggingan senyum manis muli-mekhanai, kita serasa diguyur air pegunungan yang atis. Secara otomatis terpancing "begitu ingin" larut dalam tari.
Tari bedana yang diyakini bernapaskan agama Islam merupakan tari tradisional, mencerminkan tata kehidupan masyarakat Lampung yang ramah dan terbuka sebagai simbol persahabatan dan pergaulan. Pada tari ini tergambar nilai akulturasi antara tata cara dan pranata sosio- kultural adat gaul anak muda Lampung dengan komitmen beragama.
Budaya dengan unsur spiritualistik yang memiliki aspek lokalitas, mulai menjadi kebutuhan terpenting untuk membentengi--meminjam bahasa Edward W. Said dalam bukunya, Kebudayaan dan Kekuasaan--imperealisme kebudayaan. Sebelum sampai pada definisi tentang seni Islam, perlu kiranya kita merujuk pada khazanah lama yang positif agar tidak terjebak pada nativisme budaya.
Penulis berharap kekayaan budaya Lampung, selain tidak ambigu, antimodernitas, dan terpenting jangan sampai budaya itu terputus. Kekhawatiran pada keterputusan budaya (cultural discontinuity) ini, perlu dirumuskan sistematika pelestarian yang terukur dan efektif. Dari sinilah permulaan dibutuhkannya al-turats atau tradisi diteliti dan diinventarisasi.
Fundamen pemikiran untuk pelestarian tari bedana, termasuk semua khazanah budaya Lampung yang lain, secara kritis harus memperhitungkan pertama, oublie (yang dilupakan). Terkait pencermatan pada pertanyaan adakah yang dilupakan dalam ragam gerak yang terstruktur pada tari bedana yang familier dikonsumsi publik kini.
Ragam satu sampai sembilan dengan komposisi gerakan; khesek gantung, khesek injing, tahtim dan penghormatan, jimpang, ayun, humbak moloh, belitut, gelek, dan gantung adalah ragam struktur gerak elegan, tetapi masih perlu kajian empirik untuk benar-benar membuktikan tidak ada yang dilupakan.
Masuk pada pertanyaan kritis kedua, travesty atau adakah yang dipalsukan dalam gerakan tari bedana? Dari sini sebenarnya penulis berusaha mengkaji fungsinya secara ideologis-filosofis. Maka refleksi dari yang dilupakan dan yang dipalsukan itulah pisau analitik sebagai alat untuk sampai pada keindahan yang lain yang belum terpikirkan (impense).
Sangat terbuka ruang kontemplatif agar embrional keramahan budaya lokal dapat lebih mempertegas bangunan peradaban Lampung di masa depan. Sebab, maraknya seni budaya yang diarahkan atau mengekor pada westernisasi, bahkan diadopsi secara sporadis, meminjam ramalan John Neisbit tentang kemungkinan yang terjadi pada banyak orang akibat derasnya arus informasi dan komunikasi tentang berpikir secara lokal, bertindak secara global (think locally, act globally).
Karena pengaruh itulah tari bedana dipastikan tergeser oleh seni koreografi (seni kontemporer) lain yang lebih terkesan modern misalnya; ciliders, dance, aerobic, dan lain sebagainya. Berikut dentingan gamelan khas yang mengiringinya, mungkinkah agar eksis perlu aransemen dan atau ditambah alat musik modern jika dinilai bebunyiannya terlalu kolot, ndesit, dan ortodoks?
Bahkan, sebenarnya paradigma yang stigmatis, ketika tari bedana kurang bagus untuk acara pesta muda-mudi waktu pernikahan atau tari latar lagu pop alternatif. Tari Bedana dengan konsep keramahan budaya lokal seyogianya dapat membentengi atau minimal menjadi alternatif seni koreografi.
Persoalannya adalah sejauh mana tingkat sosialisasi dan berapa banyak anak muda yang menguasai wiraga itu? Seandainya seperti tari komando misalnya, yang semua anak pramuka dari penggalang, penegak, sampai pandega begitu fasih menguasai gerakan berikut improvisasi dengan iringan musik apa pun, mungkin kelestarian tari bedana bukan persoalan.
Tafsir dari 'Khesek' Gantung ke Gantung
Seni Islam, dari defenisinya terlalu membuat bias, cenderung dikotomis. Maka meminjam motodologi almarhum Prof. Dr. Kuntowijoyo terkait dengan budaya profetik, sebuah strategi sosial-budaya dengan meletakkan tradisi lokal dalam muatan nilai keislaman agar manunggal sebagai nafas estetika, yaitu sisi lain keindahan dan kebenaran yang mengajak ke jalan Tuhan.
Sekarang ini tari bedana boleh terkesan ndeso, kampungan atau ketinggalan zaman dibanding dengan seni tari modern semacam cha-cha, dansa, dll. (yang juga tari tradisi Brasil dan Inggris). Akan tetapi, menurut prediksi Kuntowijoyo, tahun 2020 adalah titik pangkal realisasi ide jika strategi profetik berhasil merealisasi program seni kemanusiaan sebagai kelanjutan dari berbagai aksi pembaharuan sosial-budaya berbasis kesadaran keagamaan. Jika stratak ini dilakukan, keniscayaan dan jangan heran jika nanti tari bedana sebagai ikon dan jenis tarian favorit pengiring gembira. Padahal orang yang menguasai dan paham tari bedana makin langka.
Tafsir konseptual gerak tari bedana dari ragam satu; kehesek gantung sampai pada ragam sembilan sebagai gerak penutup yang bernama gantung, memiliki makna keramahan dan kebahagiaan hidup. Sekaligus mengandung aspek moral tata laku antara bujang dan gadis, berinteraksi saling melempar senyum tetapi tidak bersentuhan, bahkan tidak saling menatap atau implisit sama-sama menundukkan pandangan (ghodob absor), anggun dan santun, barangkali inilah salah satu napas Islam dalam Tari Bedana.
Selain itu, prosesi tahtim dan penghormatan yang terletak pada posisi ragam ketiga, sebuah pembangkangan kultural atau defamilierisasi yang menarik. Akan tetapi, setelah mencermati lebih lanjut, sebelum ragam khesek injing pada posisi kedua, gerakan khesek gantung menggambarkan aturan wudu, arena bersuci untuk sampai pada ritual ibadah penyembahan pada Tuhan.
Lihatlah ketika memutar tangan (khesek gantung) yang kemudian mengayunkan tangan. Di sini tahtim dan penghormatan (seolah mengusap wajah) menjadi sinergi untuk gerakan (sistematika) wudu.
Dalam kerangka filosofis, tari ini mengandung keagungan profetik. Tari bedana memang tidak setenar poco-poco. Hal ini didasari, selain intensitas manggung, kecintaan pada khazanah budaya lokal kita sebagai masyarakat Lampung layak dikritisi.
Ini kemudian berimbas pada sosialisasi. Masuk juga produksi karya berkesenian para seniman kita yang tidak (baca; kurang berakar) pada keramahan lokal. Logikanya adalah kekuatan seni yang berbasiskan kearifan budaya lokal dengan sentuhan nilai islami ternyata sulit mendapat tempat karena bersentuhan dengan sensibilitas publik yang banyak dipecundangi nafsu.
Akan tetapi, metodologis profetik yang digunakan penafsiran budaya, sebenarnya juga sudah menjadi ilmu alat mengkaji apakah seni ini mengajak pada ketuhanan atau mengajak pada penjajaan syahwat.
Pertanyaan penting atas fenomena defemiliarisasi ini, utamanya lagu- lagu dangdut atau pop Lampung dalam video CD-nya, kenapa tak berlatar Tari Bedana? Lebih penting, pesta muda mudi ketika ada pernikahan, kenapa tidak menari Bedana saja ketimbang joget tak beraturan, lebih parah organ(an) dengan lagu goyang dombret, di mana sang biduanita bergoyang binal ke arah mikrofon dan disaksikan anak- anak usia sekolah.
Ironisnya lagi, hajatan itu di rumah tokoh adat Lampung!
* Endri Y., Ketua Seni Budaya PW Pemuda Muhammadiyah Provinsi Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 September 2007
Esai: Kesadaran Magis dalam Tubuh Teater
-- Iskandar GB*
TEATER modern selalu berurusan dengan relasi yang bersifat teknis antara bentuk (form) dan isi (matter). Brecht menggambarkan relasi teknis ini sebagai kondisi niscaya dalam abad ilmu pengetahuan. Brecht mempersoalkan bagaimana teater mampu mengonstruksi realitas menjadi sebuah tontonan yang kritis bagi penonton.
Sementara itu, Roland Barthes berpendapat bahwa dalam teater sewajarnya terjadi sebuah relasi keberartian antara tontonan dan penonton. Penonton merupakan bagian teater itu sendiri.
Pada hakikatnya penonton membutuhkan sebuah suguhan saat bentuk kreasi-performanya senantiasa segar dan baru, mengharapkan isi cerita yang disampaikan mengandung bobot filosofis yang bisa menambah bagasi pengetahuan.
Teater Indonesia, sebagaimana yang diungkapkan Tommy F. Awuy, hidup dalam ambiguitas. Dari sisi internal yang menyangkut urusan kreativitas-estetik yang telah bergerak cukup dinamis. Namun pada sisi eksternal teater Indonesia belum sanggup keluar dari problem klasik yang menyangkut "kemiskinan", terutama miskin secara ekonomi, miskin kritikus dan kurator teater, miskin komunikasi, miskin penonton, miskin manajemen, dan lain-lain.
Sementara itu, pada sisi pemanggungan, bagaimanapun teater sekarang dihadapkan pada sebuah tantangan bahwa setiap tindak peran sebagai tindak komunikatif yang mesti tersampaikan dengan semenarik mungkin. Victor Turner, antropolog kontemporer yang meneliti perkembangan teater dunia, menandaskan kini kita sedang memasuki "budaya performa" ketika yang menjadi dasar logis proses kreatif teater adalah interkasi antarunsur kehidupan dengan muatan-muatan keterampilan-keterampilan individu dalam berekspresi.
Eksistensi dan sensibilitas teater kemudian menghadapi ujian dengan perubahan zaman yang demikian cepat. Sebuah tantangan ketika teater mesti membangun image yang berkisar pada pengetahuan, emosi, dan tingkat apresiasi audiensinya. Sembari menimbang kondisi kontemporer yang menghendaki pelakunya agar selalu berbenah dan lebih taktis dalam proses kreatifnya.
Berangkat dari pemikiran di atas saya mencoba menendah beberapa persoalan yang mengiringi perkembangan teater di Lampung. Dilihat dari berbagai hal nasib teater Lampung masih memperihatinkan, apakah dari kegiatan-kegiatan pertunjukan yang terkait langsung dengan faktor pendanaan, kehadiran penonton, kemasan pementasan, atau event-event lain sebentuk workshop maupun diskusi yang kerap berlangsung apa adanya.
Dari aspek pementasan, terhitung sejak bulan Januari hingga September 2007 ini, ada beberapa peristiwa penting yang menandai aktivitas pelaku teater di Lampung, di antaranya pementasan "Nyai Ontosoroh" produksi Teater Satu, "Parade Story Telling" produksi Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung.
Kemudian ada beberapa persembahan Forum Teater Pelajar dan Mahasiswa se-Lampung yang seluruh kegiatannya dipusatkan di gedung PKM Unila, pementasan "Pinangan" dan "Wu Wei", dan "Siapa Nama Aslimu" yang diproduksi Komunitas Berkat Yakin. Terakhir pada bulan Agustus yang lalu ada Liga Teater Pelajar yang diselenggarakan Taman Budaya Lampung dengan diikuti sekitar 20-an kelompok teater tingkat SMA.
Jika kita berpegang pada kuantitas, hampir setiap bulan kita bisa menikmati pementasan teater di Lampung. Selain Taman Budaya, gedung PKM Unila juga telah menjadi ruang alternatif bagi berlangsungnya peristiwa teater di Lampung.
Namun, geliat teater ini belum dibarengi kesadaran bahwa teater adalah pula sebuah disiplin pengetahuan. Sikap ilmiah terhadap teater belum menjadi landasan kreatif pelakunya. Kondisi ini memengaruhi daya eksplorasi yang dilakukan suatu kelompok, termasuk memengaruhi kualitas dan obsesi artistik yang hendak ditawarkan.
Banyak orang masih menganggap teater itu melulu ekspresi dan aktor menjadi menanggung beban berat dalam mengusung pertunjukan meski itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Namun, cukup disayangkan unsur-unsur teater yang lain menjadi kurang dimaksimalkan, seakan hanya memosisikan diri sebagai pengiring pertunjukan.
Belum lagi minat yang tidak merata dalam menjalani proses latihan, sehingga proses penjadian teater menjadi tersendat-sendat karena ketidaksiapan aktor dalam mengusung konsep yang ada dalam benak sutradara. Selain itu masih banyak kegagapan dalam tubuh teater berkenaan dengan sistematisasi latihan.
Tersendatnya proses berteater di Lampung, disinyalir karena terbatasnya referensi dan kurangnya pembinaan. Misalnya saja kelompok teater yang basisnya pelajar, mereka mengalami problem yang lumayan kompleks, di antaranya dukungan sekolah yang minim, pembina juga tidak ada sehingga evolusi individu maupun kelompok berjalan lambat. Semetara itu, kelompok lain di luar SMA terkendala minimnya sumber pendanaan dan terbatasnya penonton.
Secara umum pelaku teater terlalu bergantung pada bakat yang dimiliki, padahal dalam perjalanan proses berteater sebagaimana yang saya jalani bersama dengan teman-teman di Komunitas Berkat Yakin maupun ketika saya magang keaktoran di Teater Garasi Yogyakarta, kami sampai pada kesimpulan bahwa dalam kinerja teater bakat itu hanya mengambil peran 1%. Sedangkan 99% lain ialah hasil kerja keras dan disiplin yang ketat.
Permasalahan teater di Lampung itu mulanya karena mayoritas orang yang hidup di dalamnya terlalu mengandalkan intuisi, proses belajar secara autodidak, kemudian tidak mencoba menambah wawasannya melalui buku, pementasan kelompok lain, internet dan lain-lain. Masih banyak media pengembangan dirri pelaku teater yang tidak diperhatikan karena terlalu berkonsentrasi pada latihan. Teater belum dipamahami dan disadari sebagi disiplin pengetahuan yang jelas.
Seni pemeranan seakan bergantung betul dengan bakat yang dibawa orang-orang teaternya, bakat kemudian dianggap sebagai modal awal yang mesti dimiliki, dan bahkan menjadi prasarat utama sebelum ia terjun ke teater, padahal sebagai sebuah disiplin pengetahuan mestinya semua orang bisa mempelajari teater, terlepas dari dia berbakat atau tidak.
Pencatatan adalah salah satu model pendekatan teater ilmiah. Disiplin mencatat dalam teater masih kurang dianggap penting, padahal banyak manfaat yang bisa ditarik dari kebiasaan ini, baik bagi aktor secara pribadi maupun secara kelompok.
Sikap ilmiah seperti ini rupanya masih sering luput diterapkan banyak kelompok teater di Lampung. Sebenarnya tidak terlalu sulit menanamkan kebiasaan ini, banyak orang telah melakukan dengan cara sendiri. Bentuk pencatatan bisa dengan cara dan gaya apa saja yang penting bisa dipahami dan benar-benar merefleksikan kondisi objektif pencatatnya ketika menjalani proses.
Yang belum terbiasa memang kesulitan mencatat secara sistematis, tetapi ini tidak terlalu penting. Yang terpenting membuat kebiasaan mencatat dengan konsisten.
Kurangnya sikap ilmiah ini menyebabkan kualitas dan metode pendekatan teater kurang variatif dan kerap tidak memiliki dasar yang kuat pemikiran yang jelas. Karena terbatas referensi dan kurang pengamatan atas proses yang dijalani, ditambah dengan tingkat disiplin serta totalitas yang masih perlu dipertanyakan sehingga teater pun seperti tidak membawa manfaat apa pun.
Tentu saja kondisi ini yang menyebabkan banyak pelaku teater ramai-ramai meninggalkan teater. Sesungguhnya kesalahan bukan pada teater tetapi bagaimana seseorang menjalani proses berteaternya.
Hambatan kinerja teater selain masalah internal sebagaimana yang telah saya ungkapkan di atas disebabkan minimnya dukungan pihak luar. Sementara itu, sisi manajerial masih berantakan.
Misalnya saja Liga Teater Pelajar itu tetap bertahan hingga sekarang karena didukung lembaga pemerintah yang pendanaannya sudah pasti ada, sehingga orang-orang yang mengelola kegiatan ini tidak kesulitan menyelenggarakannya. Dukungan sekolah untuk mendorong siswanya mengasah kemampuan kreatifnya masih minim sekali dan memang sekolah-sekolah kekurangan orang yang benar-benar berkompeten mengajarkan teater. Padahal teater sudah masuk kurikulum pembelajaran kini.
Kelompok-kelomok teater yang ada di perguruan tinggi, nasibnya lebih kacau lagi. Sudah pelakunya tidak memilki kesadaran ilmiah, secara mental juga tidak mendukung menjalani proses berteater yang ketat, sehingga proses belajar tidak berlangsung dengan baik.
Dari sisi eksternal, dukungan akademik yang minim menyebabkan teater di beberapa perguruan tinggi di Lampung hilang begitu saja. Tentu saja kenyataan ini sangat disayangkan mengingat mahasiswa yang sudah memiliki basis intelektual atau wawasan yang makin luas nyatanya lebih melempem semangatnya dibanding dengan anak-anak SMA.
Beberapa waktu lalu pernah terdengar nama Teater Biru (STMIK Darmaja), Green Teater (AMIK Mitra Lampung), Teater UKMSBI IAIN Raden Intan Bandar Lampung, Teater Mentari UM Metro, IMPAS STAIN Metro yang sekarang sepertinya sudah tak berkarya lagi. Mungkin karena jadwal kualiah yang padat, dan lemahnya kemauan (niat) pelakunya yang menyebabkan kondisi seperti ini.
Kenyataan-kenyataan di atas makin menegaskan tradisi intelektual (ilmiah) dalam tubuh teater tidak berjalan dengan semestinya. Tingkat mahasiswa saja sulit diajak berpikir "serius". Mentalitasnya sebagai mahasiswa memang perlu dipertanyakan. Di beberapa kampus, ruang teater atau seni hanya jadi tempat kumpul-kumpul tanpas sebuah bahasan pun mengenai teater. Sungguh menggelikan memang melihat realitas perteateran di tingkat perguruan tinggi.
Teater independen di Lampung diwakili Teater Satu dan Komunitas Berkat Yakin, beberapa waktu lalu ada Kyoto Teater yang markasnya di Kotabumi, Lampung Utara, tetapi tidak terpantau bagaimana perkembangannya sejauh ini. Ini yang masih eksis sekarang, sedangkan kelompok teater lain sudah berangkat entah ke mana.
Salah satu tahap berteater yang kurang mendapat perhatian adalah bahwa dalam teater itu ada tahap preekspresivitas (training-pengolahan) atau lebih mudahnya adalah latihan persiapan sebelum masuk naskah atau teks atau garapan. Dan ada rehearsal sebagai kelanjutan dari training.
Kalau training adalah latihan untuk latihan, rehearsal adalah latihan untuk pementasan atau tujuan tertentu. Tahap training menghendaki aktor untuk mengenali dan mengolah sumber daya yang ada dalam dirinya, baik tubuh, emosi, maupun kognitif.
Sedangkan rehearsal menghendaki aktor untuk memainkan peran tertentu atau kebutuhan artistik tertentu, dengan tingkat akurasi tertentu pula, porsi-takaran-ketepatan menjadi penting pada tahap ini.
Pertanyaannya sebesar apa pelaku teater memahami tahap-tahap yang mesti dilaluinya. Mayoritas pelaku teater kita langsung masuk tahap rehearsal. Tahap training tidak dilakukan, sehingga tidak perlu heran ada sutradara sulit menemukan aktor yang benar-benar siap dalam garapan. Ketidaksiapan aktor ini berimplikasi menumpuknya tugas sutradara, yang pertama memikirkan konsep dan model pertunjukannya kemudian memikirkan kelemahan-kelemahan aktornya.
Minoritas bukan lagi hal yang pantas dibahas untuk masa sekarang. Sebab, zaman yang makin canggih dengan meningkatnya teknologi informasi dan majunya ilmu pengetahuan, harus pula dapa dimbangi pelaku teater baik bentuk, gaya, maupun teknologi pemanggungannya. Segala informasi dan peristiwa teater di berbagai belahan dunia bisa diakses sekarang, para pelaku teater sendiri tinggal terus menambah modal kulturalnya sehingga mampu bersaing dengan bidang lain. Mampu tetap hidup secara normal (dalam kerangka sosial) dan sekaligus terus meningkatkan standar kualitas penciptaan (obsesi artistik).
Meskipun sulit, teater itu akan tetap hidup di masa-masa mendatang. Meski bergantung betul dengan kualitas individu yang di dalamnya. Totalitas dan konsistensi menjadi harga mati yang mesti dilakoni orang-orang yang berniat menerjunkan diri untuk menggauli teater. Teater saya rasa masih relevan untuk dijadikan media pembelajaran alternatif diluar lembag-lembaga pendidikan formal dan sekaligus mengambil fungsi sebagai filter masuknya kebudayaan luar. Fleksibilitas teater yang bisa dimasuki segala aspek kehidupan dan segala bentuk disiplin ilmu (pengetahuan) ini memungkinkan teater terus bertahan hidup dan melakukan evolusi terus-menerus.
Tentu saja teater masih dipandang sebelah mata oleh banyak pihak karena secara pengetahuan teater seperti sulit membitikan diri, ditambah dengan kebutuhan masyarajat sekarang yang makin pragmatis dan konsumtif seperti sekarang. Genarasi instan (instan culture). Tidak adah hal yang tiba-tiba atau bisa ditempuh dengan relitif singkat dalam proses pendewasaan budaya dan spesifik teater.
Akhirnya, saya tetap percaya bahwa teater akan terus bertahan meski dalam tahap minimalnya. Akan ada saja "orang gila" yang berminat mengembangkan teater di Lamupung. Betapa tidak disebut orang gila karena orang kebanyakan tidak ada yang menaruh perhatian, jadi yang mayoritas tentunya akan mengganggap pelaku teater itu sebagai orang gila.
* Iskandar GB, aktor dan peneliti teater pada Komunitas Berkat Yakin, Bandar Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 September 2007
TEATER modern selalu berurusan dengan relasi yang bersifat teknis antara bentuk (form) dan isi (matter). Brecht menggambarkan relasi teknis ini sebagai kondisi niscaya dalam abad ilmu pengetahuan. Brecht mempersoalkan bagaimana teater mampu mengonstruksi realitas menjadi sebuah tontonan yang kritis bagi penonton.
Sementara itu, Roland Barthes berpendapat bahwa dalam teater sewajarnya terjadi sebuah relasi keberartian antara tontonan dan penonton. Penonton merupakan bagian teater itu sendiri.
Pada hakikatnya penonton membutuhkan sebuah suguhan saat bentuk kreasi-performanya senantiasa segar dan baru, mengharapkan isi cerita yang disampaikan mengandung bobot filosofis yang bisa menambah bagasi pengetahuan.
Teater Indonesia, sebagaimana yang diungkapkan Tommy F. Awuy, hidup dalam ambiguitas. Dari sisi internal yang menyangkut urusan kreativitas-estetik yang telah bergerak cukup dinamis. Namun pada sisi eksternal teater Indonesia belum sanggup keluar dari problem klasik yang menyangkut "kemiskinan", terutama miskin secara ekonomi, miskin kritikus dan kurator teater, miskin komunikasi, miskin penonton, miskin manajemen, dan lain-lain.
Sementara itu, pada sisi pemanggungan, bagaimanapun teater sekarang dihadapkan pada sebuah tantangan bahwa setiap tindak peran sebagai tindak komunikatif yang mesti tersampaikan dengan semenarik mungkin. Victor Turner, antropolog kontemporer yang meneliti perkembangan teater dunia, menandaskan kini kita sedang memasuki "budaya performa" ketika yang menjadi dasar logis proses kreatif teater adalah interkasi antarunsur kehidupan dengan muatan-muatan keterampilan-keterampilan individu dalam berekspresi.
Eksistensi dan sensibilitas teater kemudian menghadapi ujian dengan perubahan zaman yang demikian cepat. Sebuah tantangan ketika teater mesti membangun image yang berkisar pada pengetahuan, emosi, dan tingkat apresiasi audiensinya. Sembari menimbang kondisi kontemporer yang menghendaki pelakunya agar selalu berbenah dan lebih taktis dalam proses kreatifnya.
Berangkat dari pemikiran di atas saya mencoba menendah beberapa persoalan yang mengiringi perkembangan teater di Lampung. Dilihat dari berbagai hal nasib teater Lampung masih memperihatinkan, apakah dari kegiatan-kegiatan pertunjukan yang terkait langsung dengan faktor pendanaan, kehadiran penonton, kemasan pementasan, atau event-event lain sebentuk workshop maupun diskusi yang kerap berlangsung apa adanya.
Dari aspek pementasan, terhitung sejak bulan Januari hingga September 2007 ini, ada beberapa peristiwa penting yang menandai aktivitas pelaku teater di Lampung, di antaranya pementasan "Nyai Ontosoroh" produksi Teater Satu, "Parade Story Telling" produksi Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung.
Kemudian ada beberapa persembahan Forum Teater Pelajar dan Mahasiswa se-Lampung yang seluruh kegiatannya dipusatkan di gedung PKM Unila, pementasan "Pinangan" dan "Wu Wei", dan "Siapa Nama Aslimu" yang diproduksi Komunitas Berkat Yakin. Terakhir pada bulan Agustus yang lalu ada Liga Teater Pelajar yang diselenggarakan Taman Budaya Lampung dengan diikuti sekitar 20-an kelompok teater tingkat SMA.
Jika kita berpegang pada kuantitas, hampir setiap bulan kita bisa menikmati pementasan teater di Lampung. Selain Taman Budaya, gedung PKM Unila juga telah menjadi ruang alternatif bagi berlangsungnya peristiwa teater di Lampung.
Namun, geliat teater ini belum dibarengi kesadaran bahwa teater adalah pula sebuah disiplin pengetahuan. Sikap ilmiah terhadap teater belum menjadi landasan kreatif pelakunya. Kondisi ini memengaruhi daya eksplorasi yang dilakukan suatu kelompok, termasuk memengaruhi kualitas dan obsesi artistik yang hendak ditawarkan.
Banyak orang masih menganggap teater itu melulu ekspresi dan aktor menjadi menanggung beban berat dalam mengusung pertunjukan meski itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Namun, cukup disayangkan unsur-unsur teater yang lain menjadi kurang dimaksimalkan, seakan hanya memosisikan diri sebagai pengiring pertunjukan.
Belum lagi minat yang tidak merata dalam menjalani proses latihan, sehingga proses penjadian teater menjadi tersendat-sendat karena ketidaksiapan aktor dalam mengusung konsep yang ada dalam benak sutradara. Selain itu masih banyak kegagapan dalam tubuh teater berkenaan dengan sistematisasi latihan.
Tersendatnya proses berteater di Lampung, disinyalir karena terbatasnya referensi dan kurangnya pembinaan. Misalnya saja kelompok teater yang basisnya pelajar, mereka mengalami problem yang lumayan kompleks, di antaranya dukungan sekolah yang minim, pembina juga tidak ada sehingga evolusi individu maupun kelompok berjalan lambat. Semetara itu, kelompok lain di luar SMA terkendala minimnya sumber pendanaan dan terbatasnya penonton.
Secara umum pelaku teater terlalu bergantung pada bakat yang dimiliki, padahal dalam perjalanan proses berteater sebagaimana yang saya jalani bersama dengan teman-teman di Komunitas Berkat Yakin maupun ketika saya magang keaktoran di Teater Garasi Yogyakarta, kami sampai pada kesimpulan bahwa dalam kinerja teater bakat itu hanya mengambil peran 1%. Sedangkan 99% lain ialah hasil kerja keras dan disiplin yang ketat.
Permasalahan teater di Lampung itu mulanya karena mayoritas orang yang hidup di dalamnya terlalu mengandalkan intuisi, proses belajar secara autodidak, kemudian tidak mencoba menambah wawasannya melalui buku, pementasan kelompok lain, internet dan lain-lain. Masih banyak media pengembangan dirri pelaku teater yang tidak diperhatikan karena terlalu berkonsentrasi pada latihan. Teater belum dipamahami dan disadari sebagi disiplin pengetahuan yang jelas.
Seni pemeranan seakan bergantung betul dengan bakat yang dibawa orang-orang teaternya, bakat kemudian dianggap sebagai modal awal yang mesti dimiliki, dan bahkan menjadi prasarat utama sebelum ia terjun ke teater, padahal sebagai sebuah disiplin pengetahuan mestinya semua orang bisa mempelajari teater, terlepas dari dia berbakat atau tidak.
Pencatatan adalah salah satu model pendekatan teater ilmiah. Disiplin mencatat dalam teater masih kurang dianggap penting, padahal banyak manfaat yang bisa ditarik dari kebiasaan ini, baik bagi aktor secara pribadi maupun secara kelompok.
Sikap ilmiah seperti ini rupanya masih sering luput diterapkan banyak kelompok teater di Lampung. Sebenarnya tidak terlalu sulit menanamkan kebiasaan ini, banyak orang telah melakukan dengan cara sendiri. Bentuk pencatatan bisa dengan cara dan gaya apa saja yang penting bisa dipahami dan benar-benar merefleksikan kondisi objektif pencatatnya ketika menjalani proses.
Yang belum terbiasa memang kesulitan mencatat secara sistematis, tetapi ini tidak terlalu penting. Yang terpenting membuat kebiasaan mencatat dengan konsisten.
Kurangnya sikap ilmiah ini menyebabkan kualitas dan metode pendekatan teater kurang variatif dan kerap tidak memiliki dasar yang kuat pemikiran yang jelas. Karena terbatas referensi dan kurang pengamatan atas proses yang dijalani, ditambah dengan tingkat disiplin serta totalitas yang masih perlu dipertanyakan sehingga teater pun seperti tidak membawa manfaat apa pun.
Tentu saja kondisi ini yang menyebabkan banyak pelaku teater ramai-ramai meninggalkan teater. Sesungguhnya kesalahan bukan pada teater tetapi bagaimana seseorang menjalani proses berteaternya.
Hambatan kinerja teater selain masalah internal sebagaimana yang telah saya ungkapkan di atas disebabkan minimnya dukungan pihak luar. Sementara itu, sisi manajerial masih berantakan.
Misalnya saja Liga Teater Pelajar itu tetap bertahan hingga sekarang karena didukung lembaga pemerintah yang pendanaannya sudah pasti ada, sehingga orang-orang yang mengelola kegiatan ini tidak kesulitan menyelenggarakannya. Dukungan sekolah untuk mendorong siswanya mengasah kemampuan kreatifnya masih minim sekali dan memang sekolah-sekolah kekurangan orang yang benar-benar berkompeten mengajarkan teater. Padahal teater sudah masuk kurikulum pembelajaran kini.
Kelompok-kelomok teater yang ada di perguruan tinggi, nasibnya lebih kacau lagi. Sudah pelakunya tidak memilki kesadaran ilmiah, secara mental juga tidak mendukung menjalani proses berteater yang ketat, sehingga proses belajar tidak berlangsung dengan baik.
Dari sisi eksternal, dukungan akademik yang minim menyebabkan teater di beberapa perguruan tinggi di Lampung hilang begitu saja. Tentu saja kenyataan ini sangat disayangkan mengingat mahasiswa yang sudah memiliki basis intelektual atau wawasan yang makin luas nyatanya lebih melempem semangatnya dibanding dengan anak-anak SMA.
Beberapa waktu lalu pernah terdengar nama Teater Biru (STMIK Darmaja), Green Teater (AMIK Mitra Lampung), Teater UKMSBI IAIN Raden Intan Bandar Lampung, Teater Mentari UM Metro, IMPAS STAIN Metro yang sekarang sepertinya sudah tak berkarya lagi. Mungkin karena jadwal kualiah yang padat, dan lemahnya kemauan (niat) pelakunya yang menyebabkan kondisi seperti ini.
Kenyataan-kenyataan di atas makin menegaskan tradisi intelektual (ilmiah) dalam tubuh teater tidak berjalan dengan semestinya. Tingkat mahasiswa saja sulit diajak berpikir "serius". Mentalitasnya sebagai mahasiswa memang perlu dipertanyakan. Di beberapa kampus, ruang teater atau seni hanya jadi tempat kumpul-kumpul tanpas sebuah bahasan pun mengenai teater. Sungguh menggelikan memang melihat realitas perteateran di tingkat perguruan tinggi.
Teater independen di Lampung diwakili Teater Satu dan Komunitas Berkat Yakin, beberapa waktu lalu ada Kyoto Teater yang markasnya di Kotabumi, Lampung Utara, tetapi tidak terpantau bagaimana perkembangannya sejauh ini. Ini yang masih eksis sekarang, sedangkan kelompok teater lain sudah berangkat entah ke mana.
Salah satu tahap berteater yang kurang mendapat perhatian adalah bahwa dalam teater itu ada tahap preekspresivitas (training-pengolahan) atau lebih mudahnya adalah latihan persiapan sebelum masuk naskah atau teks atau garapan. Dan ada rehearsal sebagai kelanjutan dari training.
Kalau training adalah latihan untuk latihan, rehearsal adalah latihan untuk pementasan atau tujuan tertentu. Tahap training menghendaki aktor untuk mengenali dan mengolah sumber daya yang ada dalam dirinya, baik tubuh, emosi, maupun kognitif.
Sedangkan rehearsal menghendaki aktor untuk memainkan peran tertentu atau kebutuhan artistik tertentu, dengan tingkat akurasi tertentu pula, porsi-takaran-ketepatan menjadi penting pada tahap ini.
Pertanyaannya sebesar apa pelaku teater memahami tahap-tahap yang mesti dilaluinya. Mayoritas pelaku teater kita langsung masuk tahap rehearsal. Tahap training tidak dilakukan, sehingga tidak perlu heran ada sutradara sulit menemukan aktor yang benar-benar siap dalam garapan. Ketidaksiapan aktor ini berimplikasi menumpuknya tugas sutradara, yang pertama memikirkan konsep dan model pertunjukannya kemudian memikirkan kelemahan-kelemahan aktornya.
Minoritas bukan lagi hal yang pantas dibahas untuk masa sekarang. Sebab, zaman yang makin canggih dengan meningkatnya teknologi informasi dan majunya ilmu pengetahuan, harus pula dapa dimbangi pelaku teater baik bentuk, gaya, maupun teknologi pemanggungannya. Segala informasi dan peristiwa teater di berbagai belahan dunia bisa diakses sekarang, para pelaku teater sendiri tinggal terus menambah modal kulturalnya sehingga mampu bersaing dengan bidang lain. Mampu tetap hidup secara normal (dalam kerangka sosial) dan sekaligus terus meningkatkan standar kualitas penciptaan (obsesi artistik).
Meskipun sulit, teater itu akan tetap hidup di masa-masa mendatang. Meski bergantung betul dengan kualitas individu yang di dalamnya. Totalitas dan konsistensi menjadi harga mati yang mesti dilakoni orang-orang yang berniat menerjunkan diri untuk menggauli teater. Teater saya rasa masih relevan untuk dijadikan media pembelajaran alternatif diluar lembag-lembaga pendidikan formal dan sekaligus mengambil fungsi sebagai filter masuknya kebudayaan luar. Fleksibilitas teater yang bisa dimasuki segala aspek kehidupan dan segala bentuk disiplin ilmu (pengetahuan) ini memungkinkan teater terus bertahan hidup dan melakukan evolusi terus-menerus.
Tentu saja teater masih dipandang sebelah mata oleh banyak pihak karena secara pengetahuan teater seperti sulit membitikan diri, ditambah dengan kebutuhan masyarajat sekarang yang makin pragmatis dan konsumtif seperti sekarang. Genarasi instan (instan culture). Tidak adah hal yang tiba-tiba atau bisa ditempuh dengan relitif singkat dalam proses pendewasaan budaya dan spesifik teater.
Akhirnya, saya tetap percaya bahwa teater akan terus bertahan meski dalam tahap minimalnya. Akan ada saja "orang gila" yang berminat mengembangkan teater di Lamupung. Betapa tidak disebut orang gila karena orang kebanyakan tidak ada yang menaruh perhatian, jadi yang mayoritas tentunya akan mengganggap pelaku teater itu sebagai orang gila.
* Iskandar GB, aktor dan peneliti teater pada Komunitas Berkat Yakin, Bandar Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 September 2007
September 27, 2007
Seni: Dinas Pendidikan Gelar SMS
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Short Message Service (SMS) atau layanan pesan singkat ternyata bukan hanya bahasa teknologi digital melainkan SMS yang digelar Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung berarti Seniman Masuk Sekolah.
Wakil Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Adeham mengemukakan hal tersebut saat membuka acara Seniman Masuk Sekolah (SMS) di SMAN 1 Gadingrejo, Tanggamus, Senin (24-9). Dia menjelaskan masuknya SMS diharapkan bisa mendukung pengajaran kesenian di sekolah yang selama ini terpinggirkan. "Siswa nantinya bisa mengenal secara langsung sosok seniman serta karya-karyanya, sekaligus untuk bisa menimba pengalaman langsung dari senimannya," kata Adeham.
SMS penting dan sangat strategis, mengingat selama ini kurangnya jam dan materi pelajaran kesenian dari berbagai tangkai seni, berupa sastra, film, teater, tari, musik, dan seni rupa.
Untuk itulah, kegiatan SMS ini, kata Adeham, sebagai sebuah proses penyadaran pada siswa mengenai ihwal kesenian. "Sebab, kesenian merupakan bagian dari pengejawantahan nilai-nilai estetika."
Sekaligus membangkitkan minat siswa terhadap kesenian sebagai perwujudan dari daya cipta dan karsa yang sangat berguna dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk individu maupun sosial. "Sehingga nantinya akan terbentuklah sikap yang apresiatif terhadap karya-karya seni, seniman dan kesenian pada umumnya."
Kasubdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Khaidarmansyah mengatakan kegiatan SMS yang dipusatkan di SMAN 1 Gadingrejo ini diikuti 100 pelajar SMA/SMK se-Tanggamus. Adapun materinya tentang dunia perfilman dan seni rupa. Tampil sebagai narasumber, Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Lampung Hermansyah G.A. serta perupa Lampung Djoko Irianta. Lalu bedah buku kumpulan puisi Karena Bola Matamu karya Syaiful Irba Tanpaka dengan menghadirkan pembicara Isbedy Stiawan Z.S. dan Ari Pahala Hutabarat. n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 September 2007
Wakil Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Adeham mengemukakan hal tersebut saat membuka acara Seniman Masuk Sekolah (SMS) di SMAN 1 Gadingrejo, Tanggamus, Senin (24-9). Dia menjelaskan masuknya SMS diharapkan bisa mendukung pengajaran kesenian di sekolah yang selama ini terpinggirkan. "Siswa nantinya bisa mengenal secara langsung sosok seniman serta karya-karyanya, sekaligus untuk bisa menimba pengalaman langsung dari senimannya," kata Adeham.
SMS penting dan sangat strategis, mengingat selama ini kurangnya jam dan materi pelajaran kesenian dari berbagai tangkai seni, berupa sastra, film, teater, tari, musik, dan seni rupa.
Untuk itulah, kegiatan SMS ini, kata Adeham, sebagai sebuah proses penyadaran pada siswa mengenai ihwal kesenian. "Sebab, kesenian merupakan bagian dari pengejawantahan nilai-nilai estetika."
Sekaligus membangkitkan minat siswa terhadap kesenian sebagai perwujudan dari daya cipta dan karsa yang sangat berguna dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk individu maupun sosial. "Sehingga nantinya akan terbentuklah sikap yang apresiatif terhadap karya-karya seni, seniman dan kesenian pada umumnya."
Kasubdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Khaidarmansyah mengatakan kegiatan SMS yang dipusatkan di SMAN 1 Gadingrejo ini diikuti 100 pelajar SMA/SMK se-Tanggamus. Adapun materinya tentang dunia perfilman dan seni rupa. Tampil sebagai narasumber, Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Lampung Hermansyah G.A. serta perupa Lampung Djoko Irianta. Lalu bedah buku kumpulan puisi Karena Bola Matamu karya Syaiful Irba Tanpaka dengan menghadirkan pembicara Isbedy Stiawan Z.S. dan Ari Pahala Hutabarat. n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 September 2007
September 24, 2007
Seni: Dyah akan Luncurkan Dua Novel
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Akhir bulan September ini sastrawan perempuan Lampung yang kini menetap di Yogyakarta, Dyah Indra Mertawirana akan meluncurkan dua novel terbarunya, Peri Kecil di Sungai Nipah dan Kitab Monster, yang diterbitkan penerbit Koekoesan, Jakarta, di Kota Bandar Lampung.
Dyah mengatakan kini kedua buku tersebut bisa diperoleh di Pulau Jawa. "Sedang di Lampung akan di-launching akhir bulan September karena kebetulan aku juga akan pulang ke Lampung. Namun untuk tanggal pastinya, jadwalnya akan diatur lagi," kata Dyah, Senin (24-9).
Sebab, selain beraktivitas sebagai penulis lepas, dia kini juga mengelola penerbitan di Yogyakarta. "Nama penerbitan yang aku kelola adalah Penerbit Liliput. Jadinya konsentrasinya agak terbagi untuk launching dan aktivitas di penerbitan buku."
Meskipun sibuk, dia tetap mengusahakan kerja kreatifnya tetap berjalan. "Pandai-pandai membagi waktulah. Akhirnya dua buku tersebut bisa diterbitkan dalam waktu yang hampir bersamaan. Mudah-mudahan buku ini bisa memberikan apresiasi bagi pembaca saja," ujarnya.
Novelis yang pernah menjadi peserta Writing Program Majelis Sastra Asia Tenggara di Bogor pada bulan Agustus 2003 ini juga sebelumnya telah meluncurkan buku novel petualangan bagi anak-anak. Hal ini karena Dyah sangat tertarik dengan dunia anak-anak yang sangat polos.
Selain persoalan anak-anak, persoalan gender juga sangat menonjol di beberapa karyanya. Hal ini bisa dilihat dari karyanya yang terakhir; Perempuan dan Sebatang Pohon, karena Kelaminku Perempuan, semuanya menceritakan tentang perempuan.
Namun, Dyah mengaku tidak pernah berpikir menjadi seorang penulis. "Cita-citaku ketika kecil jadi dokter," ujar dia.
Bahkan hingga gadis kelahiran tanggal 21 Juli 1978 itu meraih juara I lomba cipta cerpen tingkat SMA se-Jawa Timur tahun 1994, ia tidak merasa itu keahliannya. "Aku baru sadar ketika kuliah di Unila dan bergiat di UKMBS (Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni, red) bahwa Tuhan memberikan aku talenta dalam menulis," ujar dia.
Putri kedua pasangan A. Moelyono dan Suyati Kosanpuro ini juga penah meraih juara II lomba cipta cerpen Festival Kreativitas Pemuda Depdiknas tahun 2003 berjudul "Perempuan dan Sebatang Pohon". "Mudah-mudahan aku bisa kembali secepatnya ke Lampung karena sudah terlalu rindu," ujarnya. N TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 25 September 2007
Dyah mengatakan kini kedua buku tersebut bisa diperoleh di Pulau Jawa. "Sedang di Lampung akan di-launching akhir bulan September karena kebetulan aku juga akan pulang ke Lampung. Namun untuk tanggal pastinya, jadwalnya akan diatur lagi," kata Dyah, Senin (24-9).
Sebab, selain beraktivitas sebagai penulis lepas, dia kini juga mengelola penerbitan di Yogyakarta. "Nama penerbitan yang aku kelola adalah Penerbit Liliput. Jadinya konsentrasinya agak terbagi untuk launching dan aktivitas di penerbitan buku."
Meskipun sibuk, dia tetap mengusahakan kerja kreatifnya tetap berjalan. "Pandai-pandai membagi waktulah. Akhirnya dua buku tersebut bisa diterbitkan dalam waktu yang hampir bersamaan. Mudah-mudahan buku ini bisa memberikan apresiasi bagi pembaca saja," ujarnya.
Novelis yang pernah menjadi peserta Writing Program Majelis Sastra Asia Tenggara di Bogor pada bulan Agustus 2003 ini juga sebelumnya telah meluncurkan buku novel petualangan bagi anak-anak. Hal ini karena Dyah sangat tertarik dengan dunia anak-anak yang sangat polos.
Selain persoalan anak-anak, persoalan gender juga sangat menonjol di beberapa karyanya. Hal ini bisa dilihat dari karyanya yang terakhir; Perempuan dan Sebatang Pohon, karena Kelaminku Perempuan, semuanya menceritakan tentang perempuan.
Namun, Dyah mengaku tidak pernah berpikir menjadi seorang penulis. "Cita-citaku ketika kecil jadi dokter," ujar dia.
Bahkan hingga gadis kelahiran tanggal 21 Juli 1978 itu meraih juara I lomba cipta cerpen tingkat SMA se-Jawa Timur tahun 1994, ia tidak merasa itu keahliannya. "Aku baru sadar ketika kuliah di Unila dan bergiat di UKMBS (Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni, red) bahwa Tuhan memberikan aku talenta dalam menulis," ujar dia.
Putri kedua pasangan A. Moelyono dan Suyati Kosanpuro ini juga penah meraih juara II lomba cipta cerpen Festival Kreativitas Pemuda Depdiknas tahun 2003 berjudul "Perempuan dan Sebatang Pohon". "Mudah-mudahan aku bisa kembali secepatnya ke Lampung karena sudah terlalu rindu," ujarnya. N TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 25 September 2007
Pendidikan: Unila Masih sebagai Menara Gading? (Dies Natalis ke-42 Unila)
-- Sunardi*
PADA 23 September 1965, menjelang meletusnya G-30-S/PKI, Universitas Lampung lahir di Lampung. Di usianya yang ke-42, berbagai prestasi dan "prestasi" dicatat dalam sejarah yang menandai timbul tenggelamnya prestise Unila.
A.H. Halsey (Michio Nagai, 1993), sosiolog Inggris, berpendapat pada abad pertengahan, lahirnya universitas-universitas tradisional Eropa, Bologna di Italia, Oxford dan Cambridge di Inggris, Heidelberg di Jerman, Universitas Paris di Prancis, Harvad, Yale, dan Colombia di Amerika Utara dinilai sebagai menara gading. Yakni, tempat berkumpulnya sejumlah kaum elite untuk mencari kebenaran demi kebenaran itu sendiri.
Namun, fungsi itu terus terkikis sejalan revolusi industri. Fungsi itu kemudian menjadi pusat-pusat latihan tenaga profesional.
Pada perkembangannya, universitas mengalami perubahan mencolok. Akibat revolusi teknologi, gelombang perluasan universitas melanda negara-negara industri di seluruh dunia.
Rekayasa (engineering) yang sama sekali tidak dimasukkan ke dalam kurikulum universitas pada masa sebelum revolusi industri, mulai menduduki tempat utama, dan bersama jurusan sains menarik hampir setengah dari seluruh jumlah mahasiawa-mahasiswa dalam bidang humaniora yang selama ini merupakan elite dalam jumlah terbatas, semenjak itu berubah menjadi cadangan calon pegawai kantor.
Gapura universitas kemudian dibuka seluas-luasnya bagi kaum perempuan, dan universitas di samping memberikan latihan-latihan profesional mulai berperan sebagai suatu lembaga pendidikan nasional yang memberikan pengajaran umum bagi warga negara biasa.
Indonesia mengenal tradisi universias pada paro abad ke-20 dengan berdirinya Universitas Gadjah Mada, tak lepas dari dinamika atau pergulatan internal tersebut untuk mendapatkan peran yang pas di masyarakat. Pergulatan itu sampai sekarang belum usai dan masih terus berlangsung (Darmaningtyas, 2005).
Pada tahap awal pertumbuhan, universitas-universitas di Indonesia dapat dikatakan mengikuti pola pertama, yaitu ingin mencari kebenaran demi kebenaran itu sendiri. Tetapi sejak akhir 1970-an hingga sekarang, perkembangan universitas-universitas di Indonesia cenderung mengikuti pola yang menempatkan bidang-bidang teknik atau ilmu-ilmu terapan lainnya menjadi bidang utama.
Universitas selalu dituntut mereposisi diri setiap kali terjadi perkembagan inovasi teknologi, atau terjadi perubahan di masyarakat. Hal itu akan melahirkan dua kemungkinan: kalau universitas mampu mengadaptasi perkembagan secara cepat, dia akan unggul, tetapi bila tidak, maka dia akan hilang dari peredaran.
Bagaimana dengan Unila?
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, Unila bukanlah unsur yang berdiri sendiri dan terpisah dengan lingkungan (menara gading). Untuk itu, keterlibatan Unila terhadap masyarakat adalah suatu keharusan.
Unila merupakan katalisator antara dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kebutuhan nyata masyarakat. Dengan posisinya itu pula Unila diharapkan menjadi salah satu agen pembaruan (agen of modernization), pusat keunggulan (center of exellence), yaitu ikut serta berperan dalam mengembangkan mutu kehidupan masyarakat.
Pandangan ini memberikan kejelasan bahwa Unila mempunyai fungsi yang berdimesi tiga. Yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat atau yang lazim disebut dengan Tridharma Perguruan Tinggi.
Sebagai suatu institusi, Unila diharapkan melakukan fungsi mendidik mahasiswa agar mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap masa depan bangsa khususnya di daerah Lampung. Tujuannya bukan saja menghasilkan tenaga ahli untuk mengisi jaringan teknostruktural melalui pendidikan dan penelitian, melainkan juga bertujuan mengembangkan kemampuan pribadi mahasiswa yang menyangkut pengetahuan, sikap, keterampilan bertindak sebagai manusia yang berbudaya dan memiliki rasa tanggung jawab serta pengabdian pada masyarakat.
Dalam kaitan ini, adanya kebijakan tentang mahasiswa manuggal dengan masyarakat merupakan manivestasi dari Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu darma pengabdian dan dilaksanakan dalam bentuk kuliah kerja nyata (KKN), meskipun akhir-akhir ini eksistensi KKN dipertanyakan oleh banyak kalangan. Terlepas dari pro dan kotra penyelenggaraan KKN, hal ini merupakan pengakuan secara formal terhadap fungsi kemasyarakatan mahasiswa.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, Unila merupakan aras tertinggi dalam keseluruhan usaha pendidikan. Pada aras ini seharusnya Unila menghasilkan lulusan sarjana yang menjadi kelompok profesional baru atau the new breed of professionals. Suatu generasi profesional mandiri yang merupakan calon-calon pemimpin dan pengabdi masyarakat bangsa dan negara.
Inilah idealnya, inlah harapan dan cita-cita kita semua sebagai anggota masyarakat terhadap Unila. Masalahnya adalah bagaimana mempersiapkan calon-calon profesional mandiri itu? Apakah sistem pendidikan dan kurikulum yang sekarang ada dapat diharapkan untuk menghasilkan apa yang kita cita-citakan itu. Apakah program-program pendidikan yang selama ini berlaku dapat menghasilkan apa yang menjadi harapan kita bersama.
Kebebasan untuk berpikir, berpendapat dan mengeluarkan pendapat merupakan suatu syarat mutlak bagi pendidikan yang ingin menghasilkan generasi profesional baru. Kreativitas harus selalu dihargai dan inovasi selalu diberi peluang untuk tumbuh dan berkembang.
Sikap keterbukaan dan selalu ingin tahu (belajar) harus merupakan sikap setiap pendidik (dosen). Dosen merupakan nara sumber ilmu pengetahuan bagi mahasiswa. Perpustakaan yang lengkap adalah pusat sumber pengetahuan yang harus sealu siap untuk digali dan dimanfaatkan oleh seluruh civitas academica. Sarana-sarana lain merupakan penunjang bagi kegiatan pendidikan, masyarakat luas adalah tempat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh para mahasiswa ketika belajar dibangku kuliah.
Kini, kecenderungan perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia yang latah dalam pengembangan program studi, selain disebabkan oleh dorongan bisnis yang sangat kuat, juga akibat dari krisis identitas. Sedikit perguruan tinggi, utamanya universitas di Indonesia, PTN maupun PTS, yang memiliki identitas diri cukup kuat, misalnya sebagai universitas riset atau universitas kota atau universitas ndeso dan sebagainya, (Darmaningtyas, 2005).
Di usianya yang ke-42 tahun, Unila berkewajiban mengembangkan dan memelihara fungsi-fungsi krusialnya melalui penegakan etik dan keteguhan ilmiah dan intelektual melalui berbagai aktivitasnya. Kedua, mampu berbicara lantang dan tegas tentang masalah-masalah etik, kebudayaan, dan sosial secara independen. Dan, dengan kesadaran penuh tentang tanggung jawabnya, menegakkan otoritas intelektual yang diperlukan masyarakat dalam berefleksi, memahami, dan bertindak.
Ketiga, memperkuat fungsi-fungsi kritis dan berorientasi ke masa depan (future oriented) melalui analisis yang berkelanjutan tentang kecenderungan-kecenderungan perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang sedang tumbuh dan sekaligus memberikan fokus bagi prediksi peringatan dan pencegahan.
Keempat, menegakkan kapasitas intelektual dan prestise moralnya untuk membela dan secara aktif menyebarkan nilai-nilai yang telah diterima secara universal, termasuk perdamaian, keadilan, kebebasan, kesetaraan dan solidaritas seperti disinggung dalam Konstitusi UNESCO.
Kelima, menikmati kebebasan dan ototnomi akademis, seperti terlihat dalam hak-hak dan kewajiban, sementara tetap bertanggung jawab sepenuhnya (fully responsible) dan (accountable) kepada masyarakat. Keenam, memainkan peran dalam membantu mengidentifikasi dan menjawab masalah-masalah yang memengaruhi kesejahteraan berbagai komunitas, bangsa dan masyarakat global.
Selamat pagi Unila-ku, di usia yang ke-42 tahun, tempat di mana aku tumbuh dan dibesarkan.
* Sunardi, Guru SMA Negeri 9 Bandar Lampung, Alumnus FKIP Unila
Sumber: Lampung Post, Senin, 24 September 2007
PADA 23 September 1965, menjelang meletusnya G-30-S/PKI, Universitas Lampung lahir di Lampung. Di usianya yang ke-42, berbagai prestasi dan "prestasi" dicatat dalam sejarah yang menandai timbul tenggelamnya prestise Unila.
A.H. Halsey (Michio Nagai, 1993), sosiolog Inggris, berpendapat pada abad pertengahan, lahirnya universitas-universitas tradisional Eropa, Bologna di Italia, Oxford dan Cambridge di Inggris, Heidelberg di Jerman, Universitas Paris di Prancis, Harvad, Yale, dan Colombia di Amerika Utara dinilai sebagai menara gading. Yakni, tempat berkumpulnya sejumlah kaum elite untuk mencari kebenaran demi kebenaran itu sendiri.
Namun, fungsi itu terus terkikis sejalan revolusi industri. Fungsi itu kemudian menjadi pusat-pusat latihan tenaga profesional.
Pada perkembangannya, universitas mengalami perubahan mencolok. Akibat revolusi teknologi, gelombang perluasan universitas melanda negara-negara industri di seluruh dunia.
Rekayasa (engineering) yang sama sekali tidak dimasukkan ke dalam kurikulum universitas pada masa sebelum revolusi industri, mulai menduduki tempat utama, dan bersama jurusan sains menarik hampir setengah dari seluruh jumlah mahasiawa-mahasiswa dalam bidang humaniora yang selama ini merupakan elite dalam jumlah terbatas, semenjak itu berubah menjadi cadangan calon pegawai kantor.
Gapura universitas kemudian dibuka seluas-luasnya bagi kaum perempuan, dan universitas di samping memberikan latihan-latihan profesional mulai berperan sebagai suatu lembaga pendidikan nasional yang memberikan pengajaran umum bagi warga negara biasa.
Indonesia mengenal tradisi universias pada paro abad ke-20 dengan berdirinya Universitas Gadjah Mada, tak lepas dari dinamika atau pergulatan internal tersebut untuk mendapatkan peran yang pas di masyarakat. Pergulatan itu sampai sekarang belum usai dan masih terus berlangsung (Darmaningtyas, 2005).
Pada tahap awal pertumbuhan, universitas-universitas di Indonesia dapat dikatakan mengikuti pola pertama, yaitu ingin mencari kebenaran demi kebenaran itu sendiri. Tetapi sejak akhir 1970-an hingga sekarang, perkembangan universitas-universitas di Indonesia cenderung mengikuti pola yang menempatkan bidang-bidang teknik atau ilmu-ilmu terapan lainnya menjadi bidang utama.
Universitas selalu dituntut mereposisi diri setiap kali terjadi perkembagan inovasi teknologi, atau terjadi perubahan di masyarakat. Hal itu akan melahirkan dua kemungkinan: kalau universitas mampu mengadaptasi perkembagan secara cepat, dia akan unggul, tetapi bila tidak, maka dia akan hilang dari peredaran.
Bagaimana dengan Unila?
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, Unila bukanlah unsur yang berdiri sendiri dan terpisah dengan lingkungan (menara gading). Untuk itu, keterlibatan Unila terhadap masyarakat adalah suatu keharusan.
Unila merupakan katalisator antara dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kebutuhan nyata masyarakat. Dengan posisinya itu pula Unila diharapkan menjadi salah satu agen pembaruan (agen of modernization), pusat keunggulan (center of exellence), yaitu ikut serta berperan dalam mengembangkan mutu kehidupan masyarakat.
Pandangan ini memberikan kejelasan bahwa Unila mempunyai fungsi yang berdimesi tiga. Yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat atau yang lazim disebut dengan Tridharma Perguruan Tinggi.
Sebagai suatu institusi, Unila diharapkan melakukan fungsi mendidik mahasiswa agar mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap masa depan bangsa khususnya di daerah Lampung. Tujuannya bukan saja menghasilkan tenaga ahli untuk mengisi jaringan teknostruktural melalui pendidikan dan penelitian, melainkan juga bertujuan mengembangkan kemampuan pribadi mahasiswa yang menyangkut pengetahuan, sikap, keterampilan bertindak sebagai manusia yang berbudaya dan memiliki rasa tanggung jawab serta pengabdian pada masyarakat.
Dalam kaitan ini, adanya kebijakan tentang mahasiswa manuggal dengan masyarakat merupakan manivestasi dari Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu darma pengabdian dan dilaksanakan dalam bentuk kuliah kerja nyata (KKN), meskipun akhir-akhir ini eksistensi KKN dipertanyakan oleh banyak kalangan. Terlepas dari pro dan kotra penyelenggaraan KKN, hal ini merupakan pengakuan secara formal terhadap fungsi kemasyarakatan mahasiswa.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, Unila merupakan aras tertinggi dalam keseluruhan usaha pendidikan. Pada aras ini seharusnya Unila menghasilkan lulusan sarjana yang menjadi kelompok profesional baru atau the new breed of professionals. Suatu generasi profesional mandiri yang merupakan calon-calon pemimpin dan pengabdi masyarakat bangsa dan negara.
Inilah idealnya, inlah harapan dan cita-cita kita semua sebagai anggota masyarakat terhadap Unila. Masalahnya adalah bagaimana mempersiapkan calon-calon profesional mandiri itu? Apakah sistem pendidikan dan kurikulum yang sekarang ada dapat diharapkan untuk menghasilkan apa yang kita cita-citakan itu. Apakah program-program pendidikan yang selama ini berlaku dapat menghasilkan apa yang menjadi harapan kita bersama.
Kebebasan untuk berpikir, berpendapat dan mengeluarkan pendapat merupakan suatu syarat mutlak bagi pendidikan yang ingin menghasilkan generasi profesional baru. Kreativitas harus selalu dihargai dan inovasi selalu diberi peluang untuk tumbuh dan berkembang.
Sikap keterbukaan dan selalu ingin tahu (belajar) harus merupakan sikap setiap pendidik (dosen). Dosen merupakan nara sumber ilmu pengetahuan bagi mahasiswa. Perpustakaan yang lengkap adalah pusat sumber pengetahuan yang harus sealu siap untuk digali dan dimanfaatkan oleh seluruh civitas academica. Sarana-sarana lain merupakan penunjang bagi kegiatan pendidikan, masyarakat luas adalah tempat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh para mahasiswa ketika belajar dibangku kuliah.
Kini, kecenderungan perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia yang latah dalam pengembangan program studi, selain disebabkan oleh dorongan bisnis yang sangat kuat, juga akibat dari krisis identitas. Sedikit perguruan tinggi, utamanya universitas di Indonesia, PTN maupun PTS, yang memiliki identitas diri cukup kuat, misalnya sebagai universitas riset atau universitas kota atau universitas ndeso dan sebagainya, (Darmaningtyas, 2005).
Di usianya yang ke-42 tahun, Unila berkewajiban mengembangkan dan memelihara fungsi-fungsi krusialnya melalui penegakan etik dan keteguhan ilmiah dan intelektual melalui berbagai aktivitasnya. Kedua, mampu berbicara lantang dan tegas tentang masalah-masalah etik, kebudayaan, dan sosial secara independen. Dan, dengan kesadaran penuh tentang tanggung jawabnya, menegakkan otoritas intelektual yang diperlukan masyarakat dalam berefleksi, memahami, dan bertindak.
Ketiga, memperkuat fungsi-fungsi kritis dan berorientasi ke masa depan (future oriented) melalui analisis yang berkelanjutan tentang kecenderungan-kecenderungan perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang sedang tumbuh dan sekaligus memberikan fokus bagi prediksi peringatan dan pencegahan.
Keempat, menegakkan kapasitas intelektual dan prestise moralnya untuk membela dan secara aktif menyebarkan nilai-nilai yang telah diterima secara universal, termasuk perdamaian, keadilan, kebebasan, kesetaraan dan solidaritas seperti disinggung dalam Konstitusi UNESCO.
Kelima, menikmati kebebasan dan ototnomi akademis, seperti terlihat dalam hak-hak dan kewajiban, sementara tetap bertanggung jawab sepenuhnya (fully responsible) dan (accountable) kepada masyarakat. Keenam, memainkan peran dalam membantu mengidentifikasi dan menjawab masalah-masalah yang memengaruhi kesejahteraan berbagai komunitas, bangsa dan masyarakat global.
Selamat pagi Unila-ku, di usia yang ke-42 tahun, tempat di mana aku tumbuh dan dibesarkan.
* Sunardi, Guru SMA Negeri 9 Bandar Lampung, Alumnus FKIP Unila
Sumber: Lampung Post, Senin, 24 September 2007
September 23, 2007
Apresiasi: Cerita Cinta 'Karena Bola Matamu'
-- Teguh Prasetyo
RUANG kelas itu tiba-tiba berubah menjadi satu forum sastra. Sekitar lima sampai enam anak yang bergantian membacakan satu puisi berbeda. Bahkan kemudian mereka berkolaborasi membacakan satu puisi dengan lafal dan gerakan yang kompak. Sementara itu, penonton yang semuanya pelajar khusyuk mendengarkan bait demi bait syair yang dibacakan.
Itu merupakan sekelumit dari kegiatan road show bedah buku terbaru dari penyair Lampung Syaiful Irba Tanpaka, Karena Bola Matamu (Bukupop, Jakarta, 2007) yang dilakukan di 15 sekolah serta lima kampus perguruan tinggi yang tersebar di 5--6 kabupaten dan kota se-Provinsi Lampung dari bulan September hingga bulan November 2007.
Jadwal road show diawali dari SMA di Bandar Lampung, antara lain SMA Taman Siswa, SMAN 11, SMAN 3, SMAN 10, dan SMA Perintis. Kemudian SMAN 1 Gadingrejo, Tanggamus, SMAN 1 Gunungsugih (Lampung Tengah), SMAN 1 Menggala (Tulangbawang), SMAN 2 Kalianda (Lampung Selatan), dan SMAN 3 Kotabumi, Lampung Utara. Lalu STKIP Muhammadiyah Kotabumi, Universitas Muhammadiyah Metro, Perguruan Tinggi Teknokrat, STMIK Darmajaya, dan IAIN Raden Intan, Bandar Lampung.
Kegiatannya diawali di SMA Taman Siswa Teluk Betung, Sabtu (8-9), dengan menghadirkan dua penyair sebagai pembedahnya, yakni penyair Isbedy Stiawan Z.S. dan Y. Wibowo. Selain tentunya juga menghadirkan sang penulisnya yang juga Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) ini.
Dan, penyelenggaraan kegiatan ini memang bisa dikatakan sangat bagus sekali. Karena memberikan satu ruang apresiasi terhadap para pelajar dan mahasiswa terhadap karya sastra terutama puisi. Sebab, pada umumnya di usianya yang masih belia, para pelajar bisa dikatakan sangat sedikit yang bersentuhan dengan dunia sastra "serius".
Karena pada umumnya, para pelajar dan mahasiswa awal ini masih gandrung akan bacaan-bacaan populer yang banyak beredar di dunia mereka. Seperti cerpen remaja, chicklit, teenlit, serta bacaan lainnya. Bahkan kalaupun mereka sudah mengapresiasi karya penyair, penyair yang dikenalnya adalah mereka yang sangat dekat dengan mereka atau paling tidak mereka yang memang sudah dikenal di dunia selebriti.
Sedangkan bagi penyair-penyair sastra yang karyanya banyak menyebar di media massa, bahkan sudah melahirkan banyak buku sastra, mereka banyak yang tidak begitu dekat dengan dunia remaja. Kalaupun ada hanyalah sebatas pada kelompok pelajar penggiat seni yang biasanya sudah berinteraksi dengan komunitas seni yang ada di luar sekolah misalnya sanggar kesenian ataupun grup teater.
Sehingga langkah Syaiful melakukan road show ke sekolah dan kampus menjadi salah satu langkah strategis untuk mengenalkan karya sastra terutama puisi kepada lebih banyak siswa. Sebab, bisa jadi banyak di antara mereka belum mengenal siapa Syaiful Irba Tanpaka yang sudah malang melintang di dunia berkesenian di Lampung cukup lama.
Harapannya kegiatan ini bisa berefek pada makin dikenalnya dunia kepenyairan dan karya sastra asal Lampung khususnya dan seluruh Indonesia umumnya.
Seperti yang dikemukakan Ketua Komunitas Sastra Kha-Gha-Nga, Yunanda Saputra selaku pelaksana kegiataan road show. Tujuan awal kegiatan ini adalah bisa memberikan ruang apresiasi yang lebih terhadap dunia sastra terutama puisi bagi para pelajar.
Bahkan, Yunanda juga mengatakan kegiatan ini untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang terkandung dalam karya puisi karya Syaiful. "Sebab sebagai salah satu penyair terkemuka di Lampung, Syaiful merupakan aset bagi Lampung. Sebab itu, untuk lebih mengenalkannya kearifan pesan-pesan moral yang terkandung dalam karya-karya puisinya, dilakukan road show ini," ujarnya.
Dia juga menambahkan dengan adanya road show ini diharapkan bisa meningkatkan wawasan bagi pelajar dan mahasiswa terhadap khazanah kesusasteraan untuk perkembangan dunia sastra di Lampung. "Apalagi puisinya selain nilai moral juga sarat pesan fenomena sosial, sehingga tidak sebatas cinta kepada kekasih, tetapi juga cinta universal antara makhluk dan Sang Pencipta, sehingga pembaca akan menemukan hakikat cinta kepada kekasih, cinta kepada ibu bapak, cinta kepada sang anak."
Bahkan, penyair Y. Wibowo pun mengakui arti penting penyelenggaraan kegiatan ini. Dia mengatakan kegiatan ini mencerdaskan karena bisa memberikan ruang yang lebih kepada pelajar untuk mengenal dunia kesusastraan terutama puisi.
Namun ternyata di balik hal tersebut, ada satu yang memang terlihat dari penyelenggaraan kegiatan ini, yakni kecerdasan panitia dalam membidik pasar. Terlebih lagi ini berkaitan dengan content dari buku yang dipasarkan.
Mengapa bisa dikatakan demikian? Sebut saja Y. Wibowo mengatakan ketika membaca buku Karena Bola Matamu, dia mengibaratkan sedang membaca puisi nakal seorang remaja yang berpetualang fantasinya. Meskipun kata-katanya tetap terjalin indah dan teratur, sehingga emosinya tetap terjaga, tidak meletup.
Bahkan, dia mengatakan bahwa kelebihan dalam buku ini ialah sebagian besarnya berisikan keselarasan antara gejolak jiwa dan keliaran kata-kata. "Meski dibuat begitu liar, kata-kata yang ditampilkan tetap tertata. Contohnya dalam karya berjudul 'Mengagumi Dirimu', semuanya terjalin dengan indah dan tertata meski berisikan gejolak," katanya.
Bahkan, dia mengatakan menelaah buku ini seakan-akan mengibaratkannya seperti sebuah layang-layang. "Kadang-kadang demikian dekat, tapi ternyata bisa sangat jauhnya jelajah yang dilakukannya. Makanya saya melihat ranah jelajah puisi yang ada dalam buku ini begitu jauhnya."
Wibowo juga menilai bahwa buku kumpulan puisi ini sebagai sebatas catatan perjalanan seorang lelaki yang meletakkan letihnya dalam sepi. "Ini bisa terlihat dari sajaknya yang merupakan permentasi dari luka dan ratap. Maka saya hanya berpesan kepada Syaiful Irba bahwa reguklah kebeningan embun pagi dan untuk terus bertualang," ujarnya.
Sehingga jika ditilik dari apa yang dikemukakan Y. Wibowo, karya Saiful yang terangkum dalam buku ini meski termasuk karya sastra yang berat, yakni puisi, isinya menceritakan tentang cinta. Bahkan gejolaknya seperti seorang remaja yang sedang kepayang akan cinta.
Dan itu pun disetujui Isbedy Stiawan Z.S. yang mengatakan karya Syaiful umumnya tidak pernah jauh dari persoalan di sekitarnya. "Tapi di buku ini sepertinya ingin menggarap tema tunggal yakni cinta. Akan tetapi soal cinta memang menjadi jamak pemaknaannya. Sebab, bisa berisikan antarsesama terutama lawan jenis sampai kepada Tanah Air dan Tuhan."
Akan tetapi, kata dia, di buku ini cinta yang dihadirkan dalam puisi Syaiful justru didominasi cinta lain yakni jenis cinta remaja. "Sedikit untuk istrinya dan untuk anak-anaknya baik ditujukan bagi putra kembarnya ataupun putrinya," kata Isbedy.
Malahan dia juga mengatakan bahwa membaca puisi-puisi dalam Karena Bola Matamu seperti membaca halaman-halaman diari. "Saya membayangkan sedang diajak penyair ini bertur-ria bersama 'sang kekasih'. Saya melihat penyair sedang tur ke Anak Krakatau, lalu melintasi malam di Jalan Radin Intan, dan juga limaran Yogyakarta."
Sehingga sangat jelas apabila buku ini dipasarkan di kalangan remaja yang memang notebene begitu dekat dengan kisah ataupun jalinan serta pesan yang terdapat pada puisi karya Syaiful ini. Makanya road show ini selain mencerdaskan pelajar dengan disuguhkan karya sastra ciptaan penyair sekaliber Syaiful Irba Tanpaka, juga mencerdaskan dalam hal pemasaran. Dan tentu saja konsep ini bisa ditiru para penyair lain yang kerap menelurkan karyanya untuk langsung mendekatkan pada pangsa pasarnya.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 September 2007
RUANG kelas itu tiba-tiba berubah menjadi satu forum sastra. Sekitar lima sampai enam anak yang bergantian membacakan satu puisi berbeda. Bahkan kemudian mereka berkolaborasi membacakan satu puisi dengan lafal dan gerakan yang kompak. Sementara itu, penonton yang semuanya pelajar khusyuk mendengarkan bait demi bait syair yang dibacakan.
Itu merupakan sekelumit dari kegiatan road show bedah buku terbaru dari penyair Lampung Syaiful Irba Tanpaka, Karena Bola Matamu (Bukupop, Jakarta, 2007) yang dilakukan di 15 sekolah serta lima kampus perguruan tinggi yang tersebar di 5--6 kabupaten dan kota se-Provinsi Lampung dari bulan September hingga bulan November 2007.
Jadwal road show diawali dari SMA di Bandar Lampung, antara lain SMA Taman Siswa, SMAN 11, SMAN 3, SMAN 10, dan SMA Perintis. Kemudian SMAN 1 Gadingrejo, Tanggamus, SMAN 1 Gunungsugih (Lampung Tengah), SMAN 1 Menggala (Tulangbawang), SMAN 2 Kalianda (Lampung Selatan), dan SMAN 3 Kotabumi, Lampung Utara. Lalu STKIP Muhammadiyah Kotabumi, Universitas Muhammadiyah Metro, Perguruan Tinggi Teknokrat, STMIK Darmajaya, dan IAIN Raden Intan, Bandar Lampung.
Kegiatannya diawali di SMA Taman Siswa Teluk Betung, Sabtu (8-9), dengan menghadirkan dua penyair sebagai pembedahnya, yakni penyair Isbedy Stiawan Z.S. dan Y. Wibowo. Selain tentunya juga menghadirkan sang penulisnya yang juga Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) ini.
Dan, penyelenggaraan kegiatan ini memang bisa dikatakan sangat bagus sekali. Karena memberikan satu ruang apresiasi terhadap para pelajar dan mahasiswa terhadap karya sastra terutama puisi. Sebab, pada umumnya di usianya yang masih belia, para pelajar bisa dikatakan sangat sedikit yang bersentuhan dengan dunia sastra "serius".
Karena pada umumnya, para pelajar dan mahasiswa awal ini masih gandrung akan bacaan-bacaan populer yang banyak beredar di dunia mereka. Seperti cerpen remaja, chicklit, teenlit, serta bacaan lainnya. Bahkan kalaupun mereka sudah mengapresiasi karya penyair, penyair yang dikenalnya adalah mereka yang sangat dekat dengan mereka atau paling tidak mereka yang memang sudah dikenal di dunia selebriti.
Sedangkan bagi penyair-penyair sastra yang karyanya banyak menyebar di media massa, bahkan sudah melahirkan banyak buku sastra, mereka banyak yang tidak begitu dekat dengan dunia remaja. Kalaupun ada hanyalah sebatas pada kelompok pelajar penggiat seni yang biasanya sudah berinteraksi dengan komunitas seni yang ada di luar sekolah misalnya sanggar kesenian ataupun grup teater.
Sehingga langkah Syaiful melakukan road show ke sekolah dan kampus menjadi salah satu langkah strategis untuk mengenalkan karya sastra terutama puisi kepada lebih banyak siswa. Sebab, bisa jadi banyak di antara mereka belum mengenal siapa Syaiful Irba Tanpaka yang sudah malang melintang di dunia berkesenian di Lampung cukup lama.
Harapannya kegiatan ini bisa berefek pada makin dikenalnya dunia kepenyairan dan karya sastra asal Lampung khususnya dan seluruh Indonesia umumnya.
Seperti yang dikemukakan Ketua Komunitas Sastra Kha-Gha-Nga, Yunanda Saputra selaku pelaksana kegiataan road show. Tujuan awal kegiatan ini adalah bisa memberikan ruang apresiasi yang lebih terhadap dunia sastra terutama puisi bagi para pelajar.
Bahkan, Yunanda juga mengatakan kegiatan ini untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang terkandung dalam karya puisi karya Syaiful. "Sebab sebagai salah satu penyair terkemuka di Lampung, Syaiful merupakan aset bagi Lampung. Sebab itu, untuk lebih mengenalkannya kearifan pesan-pesan moral yang terkandung dalam karya-karya puisinya, dilakukan road show ini," ujarnya.
Dia juga menambahkan dengan adanya road show ini diharapkan bisa meningkatkan wawasan bagi pelajar dan mahasiswa terhadap khazanah kesusasteraan untuk perkembangan dunia sastra di Lampung. "Apalagi puisinya selain nilai moral juga sarat pesan fenomena sosial, sehingga tidak sebatas cinta kepada kekasih, tetapi juga cinta universal antara makhluk dan Sang Pencipta, sehingga pembaca akan menemukan hakikat cinta kepada kekasih, cinta kepada ibu bapak, cinta kepada sang anak."
Bahkan, penyair Y. Wibowo pun mengakui arti penting penyelenggaraan kegiatan ini. Dia mengatakan kegiatan ini mencerdaskan karena bisa memberikan ruang yang lebih kepada pelajar untuk mengenal dunia kesusastraan terutama puisi.
Namun ternyata di balik hal tersebut, ada satu yang memang terlihat dari penyelenggaraan kegiatan ini, yakni kecerdasan panitia dalam membidik pasar. Terlebih lagi ini berkaitan dengan content dari buku yang dipasarkan.
Mengapa bisa dikatakan demikian? Sebut saja Y. Wibowo mengatakan ketika membaca buku Karena Bola Matamu, dia mengibaratkan sedang membaca puisi nakal seorang remaja yang berpetualang fantasinya. Meskipun kata-katanya tetap terjalin indah dan teratur, sehingga emosinya tetap terjaga, tidak meletup.
Bahkan, dia mengatakan bahwa kelebihan dalam buku ini ialah sebagian besarnya berisikan keselarasan antara gejolak jiwa dan keliaran kata-kata. "Meski dibuat begitu liar, kata-kata yang ditampilkan tetap tertata. Contohnya dalam karya berjudul 'Mengagumi Dirimu', semuanya terjalin dengan indah dan tertata meski berisikan gejolak," katanya.
Bahkan, dia mengatakan menelaah buku ini seakan-akan mengibaratkannya seperti sebuah layang-layang. "Kadang-kadang demikian dekat, tapi ternyata bisa sangat jauhnya jelajah yang dilakukannya. Makanya saya melihat ranah jelajah puisi yang ada dalam buku ini begitu jauhnya."
Wibowo juga menilai bahwa buku kumpulan puisi ini sebagai sebatas catatan perjalanan seorang lelaki yang meletakkan letihnya dalam sepi. "Ini bisa terlihat dari sajaknya yang merupakan permentasi dari luka dan ratap. Maka saya hanya berpesan kepada Syaiful Irba bahwa reguklah kebeningan embun pagi dan untuk terus bertualang," ujarnya.
Sehingga jika ditilik dari apa yang dikemukakan Y. Wibowo, karya Saiful yang terangkum dalam buku ini meski termasuk karya sastra yang berat, yakni puisi, isinya menceritakan tentang cinta. Bahkan gejolaknya seperti seorang remaja yang sedang kepayang akan cinta.
Dan itu pun disetujui Isbedy Stiawan Z.S. yang mengatakan karya Syaiful umumnya tidak pernah jauh dari persoalan di sekitarnya. "Tapi di buku ini sepertinya ingin menggarap tema tunggal yakni cinta. Akan tetapi soal cinta memang menjadi jamak pemaknaannya. Sebab, bisa berisikan antarsesama terutama lawan jenis sampai kepada Tanah Air dan Tuhan."
Akan tetapi, kata dia, di buku ini cinta yang dihadirkan dalam puisi Syaiful justru didominasi cinta lain yakni jenis cinta remaja. "Sedikit untuk istrinya dan untuk anak-anaknya baik ditujukan bagi putra kembarnya ataupun putrinya," kata Isbedy.
Malahan dia juga mengatakan bahwa membaca puisi-puisi dalam Karena Bola Matamu seperti membaca halaman-halaman diari. "Saya membayangkan sedang diajak penyair ini bertur-ria bersama 'sang kekasih'. Saya melihat penyair sedang tur ke Anak Krakatau, lalu melintasi malam di Jalan Radin Intan, dan juga limaran Yogyakarta."
Sehingga sangat jelas apabila buku ini dipasarkan di kalangan remaja yang memang notebene begitu dekat dengan kisah ataupun jalinan serta pesan yang terdapat pada puisi karya Syaiful ini. Makanya road show ini selain mencerdaskan pelajar dengan disuguhkan karya sastra ciptaan penyair sekaliber Syaiful Irba Tanpaka, juga mencerdaskan dalam hal pemasaran. Dan tentu saja konsep ini bisa ditiru para penyair lain yang kerap menelurkan karyanya untuk langsung mendekatkan pada pangsa pasarnya.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 September 2007
September 22, 2007
Seni: Lampung Minim Pemusik Tradisional
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lampung memiliki kekayaan dan potensi musik tradisional yang beragam. Namun, perkembangannya terseok-seok lantaran minim sumber daya manusia (SDM).
Seniman tradisional, Edi Pulampas, mengemukakan hal tersebut dalam diskusi yang digelar Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung dengan LTV, Jumat (21-9).
Dia menjelaskan kondisi musik tradisional Lampung ibarat penaka kerakap tumbuh di atas batu, sehingga hidup segan mati pun tidak mau.
"Faktor SDM sebagai creator dan inovator menjadi salah satu kendala yang cukup berarti. Sebab, memang sedikit seniman Lampung yang punya komitmen dan serius menggeluti musik tradisional," kata Edi.
Untuk itu seniman yang mumpuni memainkan alat musik tradisional masih bisa dihitung dengan jari. "Parahnya lagi seniman yang ada sudah cukup puas dengan hasil capaiannya selama ini, sehingga akhirnya mereka enggan melakukan penjelajahan kreatif untuk menghasilkan karya yang bernas dan bagus," ujar dia.
Edi mengaku belajar memainkan alat musik tradisional secara autodidak. "Sebenarnya saya ingin teman-teman belajar dalam workshop, sehingga bisa menampilkan hal baru dalam khazanah musik tradisional Lampung," ujarnya.
Sebab itu, perkembangan musik klasik Lampung belum menggembirakan. "Bahkan kalau mau jujur, kondisinya lebih parah lagi, yakni masih sangat terpinggirkan."
Meskipun demikian, Edi mengaku salut atas komitmen Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan yang berusaha berperan menyosialisasikan musik tradisional Lampung. "Buktinya setiap tahun digelar pembinaan dan orientasi musik tradisional Lampung baik untuk guru maupun pelajar. Meskipun baru mengarah ke musik sebagai pengiring tari," ujar dia lagi.
Untuk itulah dia berharap ke depan musik tradisional Lampung lebih diperhatikan, sehingga tidak terpuruk. Dengan menggelar kegiatan seperti workshop. TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 22 September 2007
Seniman tradisional, Edi Pulampas, mengemukakan hal tersebut dalam diskusi yang digelar Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung dengan LTV, Jumat (21-9).
Dia menjelaskan kondisi musik tradisional Lampung ibarat penaka kerakap tumbuh di atas batu, sehingga hidup segan mati pun tidak mau.
"Faktor SDM sebagai creator dan inovator menjadi salah satu kendala yang cukup berarti. Sebab, memang sedikit seniman Lampung yang punya komitmen dan serius menggeluti musik tradisional," kata Edi.
Untuk itu seniman yang mumpuni memainkan alat musik tradisional masih bisa dihitung dengan jari. "Parahnya lagi seniman yang ada sudah cukup puas dengan hasil capaiannya selama ini, sehingga akhirnya mereka enggan melakukan penjelajahan kreatif untuk menghasilkan karya yang bernas dan bagus," ujar dia.
Edi mengaku belajar memainkan alat musik tradisional secara autodidak. "Sebenarnya saya ingin teman-teman belajar dalam workshop, sehingga bisa menampilkan hal baru dalam khazanah musik tradisional Lampung," ujarnya.
Sebab itu, perkembangan musik klasik Lampung belum menggembirakan. "Bahkan kalau mau jujur, kondisinya lebih parah lagi, yakni masih sangat terpinggirkan."
Meskipun demikian, Edi mengaku salut atas komitmen Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan yang berusaha berperan menyosialisasikan musik tradisional Lampung. "Buktinya setiap tahun digelar pembinaan dan orientasi musik tradisional Lampung baik untuk guru maupun pelajar. Meskipun baru mengarah ke musik sebagai pengiring tari," ujar dia lagi.
Untuk itulah dia berharap ke depan musik tradisional Lampung lebih diperhatikan, sehingga tidak terpuruk. Dengan menggelar kegiatan seperti workshop. TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 22 September 2007
September 21, 2007
Kesenian: Musik Klasik Lampung Masih Terpinggirkan
BANDAR LAMPUNG (Lampost/Ant): Perkembangan musik klasik tradisional di Provinsi Lampung dinilai masih terpinggirkan dan berjalan tertatih-tatih, padahal potensi yang dimiliki relatif kaya dan beragam.
Salah satu pemusik tradisi Lampung, Edi Pulampas, di Bandar Lampung, Kamis (20-9), mengharapkan perkembangan musik klasik Lampung harus lebih diperhatikan kalau tidak ingin nasibnya menjadi terpuruk bahkan bisa saja menjadi punah.
Edi berpendapat potensi musik klasik Lampung sangat beragam dan kaya, tetapi terkendala sumber daya manusia (SDM) yang menggeluti dan berminat meneruskan tradisi musik klasik itu yang sangat minim.
"Keberadaan SDM musik klasik Lampung sebagai kreator dan inovatornya menjadi salah satu kendala yang cukup berarti," kata Edi pula.
Menurut dia lagi, hanya sedikit seniman Lampung yang memiliki komitmen dan serius menggeluti musik tradisional itu.
Berkaitan dengan kondisi musik klasik Lampung yang masih memprihatinkan seperti itu, beberapa hari lalu Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Lampung bekerja sama dengan Lampung Mega Televisi (LTV) menggelar diskusi budaya.
Dalam diskusi itu, terungkap minimnya pemusik tradisi Lampung yang mumpuni untuk memainkan alat musik klasik daerahnya. Jumlahnya gampang dihitung dengan jari.
Terungkap pula, umumnya seniman Lampung cukup puas dengan hasil pencapaian selama ini, sehingga cenderung enggan melakukan penjelajahan kreatif untuk dapat menghasilkan karya yang bernas dan menarik.
Edi Pulampas, salah satu pemusik tradisi Lampung yang sedikit itu, mengaku selama ini lebih banyak belajar sendiri (otodidak) secara alami.
Padahal, dia menginginkan dapat pula belajar bersama para seniman tradisi Lampung lainnya, sehingga akan terdorong menampilkan sesuatu yang baru dalam khazanah musik tradisi Lampung itu.
Oleh karena itu, dia mengharapkan pemerintah melalui Dinas Pendidikan Lampung dapat semakin gencar menyosialisasikan musik tradisional Lampung.
Kegiatan pembinaan dan orientasi musik tradisi Lampung untuk para guru dan pelajar yang telah diprogramkan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Lampung, diharapkan dapat dikembangkan dan diperluas tidak hanya sebatas mengenalkan musik pengiring tari saja.
Edi mengharapkan pula kerja sama dengan para musikus mancanegara juga perlu terus dikembangkan, seperti telah dijalankan Dewan Kesenian Lampung (DKL) dalam event Long Road to Middle East beberapa waktu lalu. n K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 21 September 2007
Salah satu pemusik tradisi Lampung, Edi Pulampas, di Bandar Lampung, Kamis (20-9), mengharapkan perkembangan musik klasik Lampung harus lebih diperhatikan kalau tidak ingin nasibnya menjadi terpuruk bahkan bisa saja menjadi punah.
Edi berpendapat potensi musik klasik Lampung sangat beragam dan kaya, tetapi terkendala sumber daya manusia (SDM) yang menggeluti dan berminat meneruskan tradisi musik klasik itu yang sangat minim.
"Keberadaan SDM musik klasik Lampung sebagai kreator dan inovatornya menjadi salah satu kendala yang cukup berarti," kata Edi pula.
Menurut dia lagi, hanya sedikit seniman Lampung yang memiliki komitmen dan serius menggeluti musik tradisional itu.
Berkaitan dengan kondisi musik klasik Lampung yang masih memprihatinkan seperti itu, beberapa hari lalu Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Lampung bekerja sama dengan Lampung Mega Televisi (LTV) menggelar diskusi budaya.
Dalam diskusi itu, terungkap minimnya pemusik tradisi Lampung yang mumpuni untuk memainkan alat musik klasik daerahnya. Jumlahnya gampang dihitung dengan jari.
Terungkap pula, umumnya seniman Lampung cukup puas dengan hasil pencapaian selama ini, sehingga cenderung enggan melakukan penjelajahan kreatif untuk dapat menghasilkan karya yang bernas dan menarik.
Edi Pulampas, salah satu pemusik tradisi Lampung yang sedikit itu, mengaku selama ini lebih banyak belajar sendiri (otodidak) secara alami.
Padahal, dia menginginkan dapat pula belajar bersama para seniman tradisi Lampung lainnya, sehingga akan terdorong menampilkan sesuatu yang baru dalam khazanah musik tradisi Lampung itu.
Oleh karena itu, dia mengharapkan pemerintah melalui Dinas Pendidikan Lampung dapat semakin gencar menyosialisasikan musik tradisional Lampung.
Kegiatan pembinaan dan orientasi musik tradisi Lampung untuk para guru dan pelajar yang telah diprogramkan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Lampung, diharapkan dapat dikembangkan dan diperluas tidak hanya sebatas mengenalkan musik pengiring tari saja.
Edi mengharapkan pula kerja sama dengan para musikus mancanegara juga perlu terus dikembangkan, seperti telah dijalankan Dewan Kesenian Lampung (DKL) dalam event Long Road to Middle East beberapa waktu lalu. n K-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 21 September 2007
September 20, 2007
Sejarah: Dinas Pendidikan Bikin Film Dokumenter
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dinas Pendidikan Provinsi Lampung melalui Subdin Kebudayaan Seksi Sejarah dan Permuseuman membuat film dokumenter situs purbakala Batu Bedil di Desa Batu Bedil, Kecamatan Pulau Panggung, Tanggamus. Film tersebut di disutradarai Ibrahim Wardin, skenario digarap Syaiful Irba Tanpaka, dan kamerawan Setyo Mardiono.
Kepala Dinas Pendidikan Hermansyah MURP mengemukakan kompleks situs purbakala Batu Bedil di Tanggamus merupakan peninggalan budaya yang berasal dari tradisi megalit dan klasik yang memang patut didokumentasikan. "Sehingga jejak sejarah ini bisa tetap dikenal generasi mendatang. Tujuan pembuatan film dokumeneter ini sebagai salah satu upaya inventarisasi dan dokumentasi serta sebagai bahan kajian dan referensi sejarah di Lampung," kata Hermansyah, Rabu (19-9).
Nantinya, menurut dia, film ini akan dijadikan salah satu media untuk memasyarakatkan nilai-nilai sejarah dan tradisi luhur bangsa. "Selain itu film ini juga dapat dijadikan salah satu promosi wisata sejarah dan budaya di Provinsi Lampung."
Sebab, kata Hermansyah, situs purbakala Batu Bedil itu merupakan representasi budaya yang harus tetap dijaga kelestariannya. "Diharapkan nilai-nilai dan keindahan yang terdapat di dalamnya tetap bisa dinikmati generasi mendatang," ujarnya.
Sementara itu, Kasubdin Kebudayaan, Khaedarmansyah, menjelaskan film ini sedang dalam tahapan editing. "Shooting-nya sudah dilakukan awal bulan September lalu. Skenarionya digarap Syaiful Irba Tanpaka serta disutradarai Ibrahim Wardin dengan kamerawan Setyo Mardiono."
Film ini menceritakan situs purbakala Batu Bedil yang berada di Desa Batu Bedil, Kecamatan Pulau Panggung, Tanggamus. "Batu Bedil ini kali pertama ditinjau Soekmono dan kawan-kawannya dan ini merupakan suatu potensi sejarah yang dimiliki Lampung," ujar dia.
Tim ini datang tahun 1954 dan mengambil cetak negatif dari prasasti Batu Bedil dan sebuah menhir besar yang dinamakan Batu Bedil dan sebuah lumping batu.
Di kawasan kompleks ini juga ditemukan pula peninggalan sejarah berupa arca Nandhi dari abad IX yang merupakan kendaraan Dewa Siwa serta arca Ganesha yang berfungsi sebagai dewa ilmu pengetahuan. n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 20 September 2007
Kepala Dinas Pendidikan Hermansyah MURP mengemukakan kompleks situs purbakala Batu Bedil di Tanggamus merupakan peninggalan budaya yang berasal dari tradisi megalit dan klasik yang memang patut didokumentasikan. "Sehingga jejak sejarah ini bisa tetap dikenal generasi mendatang. Tujuan pembuatan film dokumeneter ini sebagai salah satu upaya inventarisasi dan dokumentasi serta sebagai bahan kajian dan referensi sejarah di Lampung," kata Hermansyah, Rabu (19-9).
Nantinya, menurut dia, film ini akan dijadikan salah satu media untuk memasyarakatkan nilai-nilai sejarah dan tradisi luhur bangsa. "Selain itu film ini juga dapat dijadikan salah satu promosi wisata sejarah dan budaya di Provinsi Lampung."
Sebab, kata Hermansyah, situs purbakala Batu Bedil itu merupakan representasi budaya yang harus tetap dijaga kelestariannya. "Diharapkan nilai-nilai dan keindahan yang terdapat di dalamnya tetap bisa dinikmati generasi mendatang," ujarnya.
Sementara itu, Kasubdin Kebudayaan, Khaedarmansyah, menjelaskan film ini sedang dalam tahapan editing. "Shooting-nya sudah dilakukan awal bulan September lalu. Skenarionya digarap Syaiful Irba Tanpaka serta disutradarai Ibrahim Wardin dengan kamerawan Setyo Mardiono."
Film ini menceritakan situs purbakala Batu Bedil yang berada di Desa Batu Bedil, Kecamatan Pulau Panggung, Tanggamus. "Batu Bedil ini kali pertama ditinjau Soekmono dan kawan-kawannya dan ini merupakan suatu potensi sejarah yang dimiliki Lampung," ujar dia.
Tim ini datang tahun 1954 dan mengambil cetak negatif dari prasasti Batu Bedil dan sebuah menhir besar yang dinamakan Batu Bedil dan sebuah lumping batu.
Di kawasan kompleks ini juga ditemukan pula peninggalan sejarah berupa arca Nandhi dari abad IX yang merupakan kendaraan Dewa Siwa serta arca Ganesha yang berfungsi sebagai dewa ilmu pengetahuan. n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 20 September 2007
September 19, 2007
Laras Bahasa: 'Roaming' versi Kita
-- Agus Utomo*
"Api kabagh, Ton?" tanya Hendra kepada Anton.
"Wawai gawoh," jawab Anton.
"Wah roaming nih he...he...," Ardi dan Dika spontan berujar.
Peristiwa di atas sering terjadi dalam keseharian, tak terkecuali penulis juga pernah merasakannya. Terkadang, meski dengan nada bercanda, kita bisa dikatakan masih belum mampu bersikap dewasa dalam menerima perbedaan bahasa.
Kata roaming sering kita dengar terkait makin majunya teknologi komunikasi telepon seluler. Berbagai kartu pra dan pascabayar dari operator-operator telepon seluler yang ada berlomba-lomba menawarkan layanan bebas roaming nasional.
Jika awalnya kata roaming mempunyai maksud sebagai beban biaya percakapan telepon seluler antardaerah, kini kata roaming lebih populer juga dengan arti yang dipakai untuk sindiran atau protes dengan proses yang sederhana dalam pergaulan sehari-hari.
Ketika ada dua orang atau lebih berbincang menggunakan bahasa daerah di depan teman yang berbeda suku, lalu muncul kata roaming sebagai sebuah protes, sindiran agar tidak menggunakan bahasa daerah pada saat itu karena si teman tidak tahu arti dari percakapan tersebut. Kata ini sering diungkapkan dengan gaya bercanda agar tidak menyinggung perasaan dan untuk menjaga suasana agar tetap nyaman.
Misalnya, suku Lampung bercakap-cakap dengan sesama suku Lampung sedang saat itu ada suku lain yang tidak mengerti arti atau maksud dari pembicaraan yang mereka bicarakan. Begitupun dengan suku lain, apalagi hampir semua suku bangsa ada di Lampung. Sebab itu, wajar jika dalam interaksi masyarakatnya beragam bahasa daerah digunakan.
Mungkin sindiran menggunakan kata roaming ini menjadi salah satu penyebab orang sungkan atau tidak mau berbahasa daerah jika berbincang dengan teman satu suku di depan teman yang berlainan suku. Malu.
Padahal, bahasa daerah merupakan aset budaya nasional dan merupakan akar kebudayaan nasional. Ketika kita sebagai pemiliki tidak lagi mau menggunakan, melestarikan bahasa daerah/budaya daerah tentu lama-kelamaan bisa pudar, punah, dan hilang dari kehidupan yang serbamaju dan berkembang ke arah yang lebih modern, global.
Kita sama-sama memahami bahwa kita memiliki bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia yang menjadi bahasa pengantar pergaulan antarsuku di Indonesia. Kita harus pandai memosisikan, menempatkan kapan kita berbahasa Indonesia dan kapan waktunya kita berbahasa daerah.
Toleransi terhadap penggunaan bahasa daerah yang berbeda tentu harus menjadi sikap yang melekat pada setiap diri manusia Indonesia karena kita ada karena perbedaan dan keberagaman.
* Agus Utomo, Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung
Sumber: Lampung Post, Rabu, 19 September 2007
"Api kabagh, Ton?" tanya Hendra kepada Anton.
"Wawai gawoh," jawab Anton.
"Wah roaming nih he...he...," Ardi dan Dika spontan berujar.
Peristiwa di atas sering terjadi dalam keseharian, tak terkecuali penulis juga pernah merasakannya. Terkadang, meski dengan nada bercanda, kita bisa dikatakan masih belum mampu bersikap dewasa dalam menerima perbedaan bahasa.
Kata roaming sering kita dengar terkait makin majunya teknologi komunikasi telepon seluler. Berbagai kartu pra dan pascabayar dari operator-operator telepon seluler yang ada berlomba-lomba menawarkan layanan bebas roaming nasional.
Jika awalnya kata roaming mempunyai maksud sebagai beban biaya percakapan telepon seluler antardaerah, kini kata roaming lebih populer juga dengan arti yang dipakai untuk sindiran atau protes dengan proses yang sederhana dalam pergaulan sehari-hari.
Ketika ada dua orang atau lebih berbincang menggunakan bahasa daerah di depan teman yang berbeda suku, lalu muncul kata roaming sebagai sebuah protes, sindiran agar tidak menggunakan bahasa daerah pada saat itu karena si teman tidak tahu arti dari percakapan tersebut. Kata ini sering diungkapkan dengan gaya bercanda agar tidak menyinggung perasaan dan untuk menjaga suasana agar tetap nyaman.
Misalnya, suku Lampung bercakap-cakap dengan sesama suku Lampung sedang saat itu ada suku lain yang tidak mengerti arti atau maksud dari pembicaraan yang mereka bicarakan. Begitupun dengan suku lain, apalagi hampir semua suku bangsa ada di Lampung. Sebab itu, wajar jika dalam interaksi masyarakatnya beragam bahasa daerah digunakan.
Mungkin sindiran menggunakan kata roaming ini menjadi salah satu penyebab orang sungkan atau tidak mau berbahasa daerah jika berbincang dengan teman satu suku di depan teman yang berlainan suku. Malu.
Padahal, bahasa daerah merupakan aset budaya nasional dan merupakan akar kebudayaan nasional. Ketika kita sebagai pemiliki tidak lagi mau menggunakan, melestarikan bahasa daerah/budaya daerah tentu lama-kelamaan bisa pudar, punah, dan hilang dari kehidupan yang serbamaju dan berkembang ke arah yang lebih modern, global.
Kita sama-sama memahami bahwa kita memiliki bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia yang menjadi bahasa pengantar pergaulan antarsuku di Indonesia. Kita harus pandai memosisikan, menempatkan kapan kita berbahasa Indonesia dan kapan waktunya kita berbahasa daerah.
Toleransi terhadap penggunaan bahasa daerah yang berbeda tentu harus menjadi sikap yang melekat pada setiap diri manusia Indonesia karena kita ada karena perbedaan dan keberagaman.
* Agus Utomo, Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung
Sumber: Lampung Post, Rabu, 19 September 2007
Kasus Hujatan Kangen Band: Cermin Kecemburuan dan Persaingan Tidak Sehat
SEBAGAI sebuah band, nama Kangen Band cukup membuat fenomena tersendiri di blantika musik Indonesia. Mengapa tidak? Band asal Lampung ini sukses mencapai angka penjualan tinggi, lebih dari 150 ribu kopi, hanya dalam tempo 1,5 bulan setelah merilis album perdana, Tentang Aku, Kau dan Dia. Kini, album tersebut telah terjual lebih dari 400 ribu kopi, mendekati angka 500 ribu. Fantastis! Tetapi cercaan dan hujatan menyertai mereka.
Kangen Band (Istimewa)
Padahal, dari sisi musikalitas dan talenta, Dodhy (gitar dan vokal), Andika (vokal), Tama (gitar), Iim (dram), Novry (bas) dan Barry (kibor) berada di bawah rata-rata. Hal itu selalu jelas terlihat kala Kangen Band tampil secara live di berbagai acara.
Kualitas aksi panggung Kangen Band memicu kontroversi di tengah masyarakat, termasuk di kalangan para musisi. Banyak musisi yang secara tak langsung menunjuk Kangen Band sebagai produk musik kacangan atau sampah. Ironisnya, mereka justru disukai masyarakat.
Tak terkecuali, vokalis Naif, David. Dia mencaci Kangen Band di depan umum, dalam acara ulang tahun majalah Rolling Stones Indonesia dan juga program siaran live I-Radio dari Plaza Semanggi beberapa waktu lalu.
Toh, ucapan David belum seberapa jika dibandingkan dengan lirik lagu makian yang belakangan mulai beredar di masyarakat. Sebut saja judulnya, "Lagu Hujatan untuk Kangen Band". Dibalut musik hip-hop, lirik yang dinyanyikan dengan gaya rap itu memuat hujatan dan kecaman yang amat sangat kepada Kangen Band. Selain memuat kata-kata kotor, kelompok rap yang belum diketahui identitasnya itu juga melontarkan ancaman. Simak saja sepenggal liriknya di bawah ini:
Yo amit-amit/ Baru sekali ini kejadian seumur hidup/ Ada sampah jadi perhatian/You know Kangen Band yang personelnya udik... You check this, I will kill Kangen Band. T** A**** yang lebih pantes jadi pengamen/ Mereka adalah contoh kebodohan/ Yang dipuja sama seperti saat pertama kali tenarnya Band Radja/Orang memang benar kalau kalian t***l kayak gerombolan waria... Seperti mereka harus dibasmi/Kangen Band harus dibunuh/Lagunya nular orang bisa terpengaruh....
Tak heran jika lagu makian tersebut seolah kian mencuatkan kontroversi akan Kangen Band yang selama ini sudah kerap hadir di berbagai milis musik, obrolan warung kopi antar sesama musisi dan pelaku industri musik, juga di berbagai medium lainnya. Menurut pengamat musik, Bens Leo, kontroversi di tengah masyarakat akan larisnya Kangen Band sebenarnya masih dalam taraf yang wajar. Namun, kehadiran lagu makian itulah yang dinilainya tidak wajar.
"Di Indonesia, persaingan para musisi terjadi sangat ketat. Karena itu, kadang menimbulkan friksi dan kecemburuan kepada kesuksesan org lain, terutama jika sukses terjadi di bidang sosial ekonomi. Jadi wajar-wajar saja jika banyak musisi yang cemburu atas kesuksesan Kangen Band," kata Bens kepada SP, Selasa (18/9).
Mungkin fenomena band yang mencetak hit Penantian yang Tertunda dan Tentang Aku, Kau dan Dia (Usai Sudah) ini bisa dikomparasikan dengan kasus yang dialami Inul Daratista dulu. Si goyang ngebor ini datang dari kampung, tiba-tiba langsung sukses hingga ke mancanegara dan membuat iri penyanyi dangdut lainnya. Bukan kejutan jika di kemudian hari, akibat cemoohan rekan-rekan seprofesinya, nama Inul pun jadi besar.
Kangen Band, menurut Bens, juga datang dari daerah yang tidak ada di peta musik Indonesia. Mereka memulai karier dengan bermusik di komunitas indie setempat. Album kompilasi indie mereka laku keras, hingga dibajak dan membawa mereka ke Jakarta serta dikontrak oleh Warner Music Indonesia.
"Jangan lupa, di belakang Kangen Band ada Harry Tasman yang diminta untuk memperhalus musik mereka. Seolah-olah para personel Kangen Band bisa main musik. Padahal live-nya berantakan, tapi musiknya laku karena mereka berusaha mengisi segmen pasar yang kosong, yakni segmen yang dulu diisi oleh lagu-lagu cinta sederhana dengan kord simpel karya musisi Rinto Harahap atau Pance Pondaag," jelas Bens.
Tak heran jika banyak musisi yang sudah berjuang keras untuk bisa eksis di dunia musik, kemudian mencibir dan sarkatis terhadap kesuksesan instan ala Kangen Band. Apalagi kala melihat performa live mereka yang jauh dari sempurna.
"Kangen Band mendadak populer, tapi tidak bisa tampil live. Ini celaka sekali. Kesannya, dunia musik kita seperti kembali lagi ke masa-masa kala orang tengah belajar main musik. Ini kian memalukan kala mereka tampil di Malaysia. Saya kebetulan melihat performa mereka di sana yang memang jelek sekali. Pers Malaysia pun menjadikan ini celah untuk menghantam balik musik Indonesia. Selama ini, Malaysia memang cemburu pada kesuksesan industri musik kita yang seakan-akan menjajah industri musik mereka," papar Bens.
Di luar kualitas musikalitas dan talenta mereka, Bens tetap menilai, tidak sepantasnya sebuah lagu makian dirilis untuk menjelek-jelekkan Kangen Band. Pasalnya, lagu itu masuk ke industri nasional. Buruknya publisitas terhadap Kangen Band justru akan menjadi daya promosi tersendiri bagi pamor mereka. Seperti yang juga terjadi pada Inul dahulu.
"Kangen Band itu kalau boleh saya bilang adalah band setengah matang yang dibesarkan oleh publisitas. Seharusnya mereka menyadari, konsekuensi dari popularitas adalah, mereka harus bisa main bagus. Saya berharap sekali album kedua mereka akan ada progress perbaikan agar bisa bertahan seperti Inul. Karena kalau tidak, mereka akan habis," tegas Bens.
Yang Penting Laku
Bagi Kangen Band sendiri, munculnya kontroversi seputar kualitas musik mereka bukanlah masalah besar.
"Kami sih tetap berjalan saja. Mau orang benci atau apapun, yang penting kami laku. Sekarang saja, album Kangen Band sudah terjual lebih dari 400 ribu kopi. Itu kan berarti telah meraih double platinum," kata manajer Kangen Band, Sujana, kepada SP.
Lebih jauh lagi Jana, begitu ia akrab disapa, menyebutkan, para personel band asuhannya akan terus melaju bak pepatah "Anjing menggonggong kafilah berlalu." Mau musik mereka dibilang tidak bagus, tak mengapa. Disebut band bermusik sampah pun, Dodhy dkk tidak merasa keberatan.
"Ibaratnya, kalau di industri mobil, jika semua perusahaan membuat mobil BMW, Kijang tidak akan laku. Kami juga begitu. Kami membuat musik yang sesuai pasar. Kangen Band bisa kok bikin musik yang bagus karena anaknya juga pintar-pintar. Namun kami memutuskan untuk tidak usah idealis. Kami kan perlu makan, dan di sini kami jualan," jelas Jana.
Sikap cuek dan pasrah itu mulai menguap kala lagu rap yang menghujat Kangen Band diperdengarkan dimana-mana. Jana mengakui, emosi para personel Kangen Band, akhirnya sedikit terusik. Apalagi liriknya dinilai tidak etis karena bermuatan kata-kata kotor yang menghina.
"Sebenarnya sih anak-anak sempat kesal, tapi kami berusaha santai. Namun di dalam lagu itu, terdapat ancaman pembunuhan yang harus diwaspadai. Inilah yang sempat membuat mereka was-was kala manggung," ungkapnya.
Untuk sementara, Jana dan para personel Kangen Band berupaya untuk bersikap bijak. Mereka akan terus cari siapa yang membuat lagu itu dan menyelidikinya.
Maklum, informasi seputar sang pencipta dan penyanyi lagu hujatan tadi masih simpang-siur. Sebuah sumber SP mengatakan, si pencipta lagu dan penyanyi adalah mahasiswa sebuah sekolah seni di Jakarta. Namun Jana sendiri masih belum pasti karena ia pun mendapat info bahwa lagu tersebut juga berasal dari komunitas indie di Bandung atau Yogyakarta.
"Jika sudah ketemu, kami akan mengambil tindakan secara hukum karena ini sudah mengganggu. Mereka harus bertanggungjawab karena saat ini, anak kecil pun sudah tahu tentang lagu berkata-kata porno itu," tambahnya.
Untuk ke depan, seperti yang disebutkan tadi, Kangen Band akan terus berjalan di jalurnya. Dihina seperti apapun, mereka akan tetap jalan.
"Habis gimana dong. Dihina jelek, memang (kami) jelek. Dibilang udik, memang (kami) asalnya dari kampung. Itu semua fakta. Bagi kami, yang penting kan bermusik," kata personel Kangen Band. [D-10]
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, Rabu, 19 September 2007
Kangen Band (Istimewa)
Padahal, dari sisi musikalitas dan talenta, Dodhy (gitar dan vokal), Andika (vokal), Tama (gitar), Iim (dram), Novry (bas) dan Barry (kibor) berada di bawah rata-rata. Hal itu selalu jelas terlihat kala Kangen Band tampil secara live di berbagai acara.
Kualitas aksi panggung Kangen Band memicu kontroversi di tengah masyarakat, termasuk di kalangan para musisi. Banyak musisi yang secara tak langsung menunjuk Kangen Band sebagai produk musik kacangan atau sampah. Ironisnya, mereka justru disukai masyarakat.
Tak terkecuali, vokalis Naif, David. Dia mencaci Kangen Band di depan umum, dalam acara ulang tahun majalah Rolling Stones Indonesia dan juga program siaran live I-Radio dari Plaza Semanggi beberapa waktu lalu.
Toh, ucapan David belum seberapa jika dibandingkan dengan lirik lagu makian yang belakangan mulai beredar di masyarakat. Sebut saja judulnya, "Lagu Hujatan untuk Kangen Band". Dibalut musik hip-hop, lirik yang dinyanyikan dengan gaya rap itu memuat hujatan dan kecaman yang amat sangat kepada Kangen Band. Selain memuat kata-kata kotor, kelompok rap yang belum diketahui identitasnya itu juga melontarkan ancaman. Simak saja sepenggal liriknya di bawah ini:
Yo amit-amit/ Baru sekali ini kejadian seumur hidup/ Ada sampah jadi perhatian/You know Kangen Band yang personelnya udik... You check this, I will kill Kangen Band. T** A**** yang lebih pantes jadi pengamen/ Mereka adalah contoh kebodohan/ Yang dipuja sama seperti saat pertama kali tenarnya Band Radja/Orang memang benar kalau kalian t***l kayak gerombolan waria... Seperti mereka harus dibasmi/Kangen Band harus dibunuh/Lagunya nular orang bisa terpengaruh....
Tak heran jika lagu makian tersebut seolah kian mencuatkan kontroversi akan Kangen Band yang selama ini sudah kerap hadir di berbagai milis musik, obrolan warung kopi antar sesama musisi dan pelaku industri musik, juga di berbagai medium lainnya. Menurut pengamat musik, Bens Leo, kontroversi di tengah masyarakat akan larisnya Kangen Band sebenarnya masih dalam taraf yang wajar. Namun, kehadiran lagu makian itulah yang dinilainya tidak wajar.
"Di Indonesia, persaingan para musisi terjadi sangat ketat. Karena itu, kadang menimbulkan friksi dan kecemburuan kepada kesuksesan org lain, terutama jika sukses terjadi di bidang sosial ekonomi. Jadi wajar-wajar saja jika banyak musisi yang cemburu atas kesuksesan Kangen Band," kata Bens kepada SP, Selasa (18/9).
Mungkin fenomena band yang mencetak hit Penantian yang Tertunda dan Tentang Aku, Kau dan Dia (Usai Sudah) ini bisa dikomparasikan dengan kasus yang dialami Inul Daratista dulu. Si goyang ngebor ini datang dari kampung, tiba-tiba langsung sukses hingga ke mancanegara dan membuat iri penyanyi dangdut lainnya. Bukan kejutan jika di kemudian hari, akibat cemoohan rekan-rekan seprofesinya, nama Inul pun jadi besar.
Kangen Band, menurut Bens, juga datang dari daerah yang tidak ada di peta musik Indonesia. Mereka memulai karier dengan bermusik di komunitas indie setempat. Album kompilasi indie mereka laku keras, hingga dibajak dan membawa mereka ke Jakarta serta dikontrak oleh Warner Music Indonesia.
"Jangan lupa, di belakang Kangen Band ada Harry Tasman yang diminta untuk memperhalus musik mereka. Seolah-olah para personel Kangen Band bisa main musik. Padahal live-nya berantakan, tapi musiknya laku karena mereka berusaha mengisi segmen pasar yang kosong, yakni segmen yang dulu diisi oleh lagu-lagu cinta sederhana dengan kord simpel karya musisi Rinto Harahap atau Pance Pondaag," jelas Bens.
Tak heran jika banyak musisi yang sudah berjuang keras untuk bisa eksis di dunia musik, kemudian mencibir dan sarkatis terhadap kesuksesan instan ala Kangen Band. Apalagi kala melihat performa live mereka yang jauh dari sempurna.
"Kangen Band mendadak populer, tapi tidak bisa tampil live. Ini celaka sekali. Kesannya, dunia musik kita seperti kembali lagi ke masa-masa kala orang tengah belajar main musik. Ini kian memalukan kala mereka tampil di Malaysia. Saya kebetulan melihat performa mereka di sana yang memang jelek sekali. Pers Malaysia pun menjadikan ini celah untuk menghantam balik musik Indonesia. Selama ini, Malaysia memang cemburu pada kesuksesan industri musik kita yang seakan-akan menjajah industri musik mereka," papar Bens.
Di luar kualitas musikalitas dan talenta mereka, Bens tetap menilai, tidak sepantasnya sebuah lagu makian dirilis untuk menjelek-jelekkan Kangen Band. Pasalnya, lagu itu masuk ke industri nasional. Buruknya publisitas terhadap Kangen Band justru akan menjadi daya promosi tersendiri bagi pamor mereka. Seperti yang juga terjadi pada Inul dahulu.
"Kangen Band itu kalau boleh saya bilang adalah band setengah matang yang dibesarkan oleh publisitas. Seharusnya mereka menyadari, konsekuensi dari popularitas adalah, mereka harus bisa main bagus. Saya berharap sekali album kedua mereka akan ada progress perbaikan agar bisa bertahan seperti Inul. Karena kalau tidak, mereka akan habis," tegas Bens.
Yang Penting Laku
Bagi Kangen Band sendiri, munculnya kontroversi seputar kualitas musik mereka bukanlah masalah besar.
"Kami sih tetap berjalan saja. Mau orang benci atau apapun, yang penting kami laku. Sekarang saja, album Kangen Band sudah terjual lebih dari 400 ribu kopi. Itu kan berarti telah meraih double platinum," kata manajer Kangen Band, Sujana, kepada SP.
Lebih jauh lagi Jana, begitu ia akrab disapa, menyebutkan, para personel band asuhannya akan terus melaju bak pepatah "Anjing menggonggong kafilah berlalu." Mau musik mereka dibilang tidak bagus, tak mengapa. Disebut band bermusik sampah pun, Dodhy dkk tidak merasa keberatan.
"Ibaratnya, kalau di industri mobil, jika semua perusahaan membuat mobil BMW, Kijang tidak akan laku. Kami juga begitu. Kami membuat musik yang sesuai pasar. Kangen Band bisa kok bikin musik yang bagus karena anaknya juga pintar-pintar. Namun kami memutuskan untuk tidak usah idealis. Kami kan perlu makan, dan di sini kami jualan," jelas Jana.
Sikap cuek dan pasrah itu mulai menguap kala lagu rap yang menghujat Kangen Band diperdengarkan dimana-mana. Jana mengakui, emosi para personel Kangen Band, akhirnya sedikit terusik. Apalagi liriknya dinilai tidak etis karena bermuatan kata-kata kotor yang menghina.
"Sebenarnya sih anak-anak sempat kesal, tapi kami berusaha santai. Namun di dalam lagu itu, terdapat ancaman pembunuhan yang harus diwaspadai. Inilah yang sempat membuat mereka was-was kala manggung," ungkapnya.
Untuk sementara, Jana dan para personel Kangen Band berupaya untuk bersikap bijak. Mereka akan terus cari siapa yang membuat lagu itu dan menyelidikinya.
Maklum, informasi seputar sang pencipta dan penyanyi lagu hujatan tadi masih simpang-siur. Sebuah sumber SP mengatakan, si pencipta lagu dan penyanyi adalah mahasiswa sebuah sekolah seni di Jakarta. Namun Jana sendiri masih belum pasti karena ia pun mendapat info bahwa lagu tersebut juga berasal dari komunitas indie di Bandung atau Yogyakarta.
"Jika sudah ketemu, kami akan mengambil tindakan secara hukum karena ini sudah mengganggu. Mereka harus bertanggungjawab karena saat ini, anak kecil pun sudah tahu tentang lagu berkata-kata porno itu," tambahnya.
Untuk ke depan, seperti yang disebutkan tadi, Kangen Band akan terus berjalan di jalurnya. Dihina seperti apapun, mereka akan tetap jalan.
"Habis gimana dong. Dihina jelek, memang (kami) jelek. Dibilang udik, memang (kami) asalnya dari kampung. Itu semua fakta. Bagi kami, yang penting kan bermusik," kata personel Kangen Band. [D-10]
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, Rabu, 19 September 2007
September 16, 2007
Esai: Bahasa Lampung takkan Mungkin Punah
-- Asaroeddin Malik Zulqornain*
KETIKA Tanoh Lappung, "Sai Bumi Ruwa Jurai" (tulisan yang terdapat pada lambang daerah Lampung) yang artinya Satu bumi dua keturunan: Pepadun dan Saibatin dipelintir maknanya menjadi "pendatang dan asli", dapat dipatahkan dengan argumen jangankan di Lampung bahkan di Kutub Utara sekalipun pasti ada penduduk asli dan pendatang.
Muncul kemudian slogan bahwa Lampung ialah "Indonesia mini". Dan Gubernur Lampung, Sjachroedin Z.P. dengan lantang mematahkan isu murahan ini dalam pidato pembukaan Pergelaran Kesenian Lampung di Saburai, tanggal 23 Juli, karena "Indonesia mini" jika diartikan sebagai tempat berkumpulnya beragam suku/etnik pasti bisa didapatkan di mana saja di wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke.
Jika di daerah lain di luar daerah Lampung filosofi "di mana bumi di pijak--di situ langit dijunjung" dapat terlaksana dengan mulus dalam arti seseorang harus segera "mem-Palembang-kan" dirinya dengan dialek: "Berapo ongkos ke Plaju, Mangcek?" (Palembang) atau mem-Betawi-kan dirinya dengan dialog "lu-gue" ketika di Jakarta dan seterusnya sampai harus memelayukan bahasanya ketika kembali ke kampung halaman setelah menjadi TKW/TKI di negeri jiran.
Di Lampung justru sebaliknya. Bahkan, muncul joke: Ada dua orang sedang terlibat pembicaraan berbahasa Lampung, lalu datang orang ketiga yang tidak bisa berbahasa Lampung. Dan agar yang bersangkutan bisa langsung terlibat pada pembicaraan, maka kedua orang itu serta-merta mengganti bahasanya bukan dengan bahasa Indonesia justru bahasa ibu si orang ketiga!
Ketiga fakta yang penulis sebutkan di atas merupakan hambatan utama dalam pemasyarakatan bahasa Lampung, kesemuanya bersumber dari tidak adanya rasa bangga menjadi orang Lampung bahkan merasa liom (malu) dan merasa diri kampungan jika berkomunikasi dalam bahasa ibunya.
Lampung sebagai kesatuan budaya rasanya tidak mungkin mengundang kontroversi; lain halnya jika menjadikan Lampung sebagai kesatuan politik dan pilihan menjadikan bahasa Lampung sebagai alat berkomunikasi antarsesama warga--sebagaimana halnya yang terjadi di seluruh wilayah NKRI--dapat dijadikan sebagai benang merah yang mengikat warga untuk membangun lampung dengan kebersamaan dalam persepsi, misi, dan visi sehingga kebangkitannya sebagai provinsi yang unggul dan memiliki daya saing dapat segera terwujud. Dan Semboyan "Demimu Lampungku-padamu baktiku" seyogianya membara di setiap jiwa warga Lampung.
Di Masyarakat Adat
Bahasa daerah Lampung merupakan salah satu dari 700 bahasa ibu yang ada di Indonesia, sampai hari ini tetap tumbuh dan berkembang, terutama di masyarakat adat di seluruh wilayah Lampung sungguhpun dalam upaya pemasyarakatannya masih dilakukan dengan setengah hati dan kurang mendapat dukungan maksimal dari pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Namun, masyarakat adat Lampung di perdesaan tetap setia memakai dan membesarkannya seperti halnya bisa kita dengar pada setiap Sabtu malam, di RRI Tanjungkarang dalam acara Ragom Budaya Lampung. Kumandang kesenian sastra lisan Lampung yang disuarakan berbagai kelompok masyarakat adat dari seluruh pelosok Lampung yang datang berbondong-bondong dengan tanpa dibayar sesen pun merupakan bukti nyata eksistensi dan revitalisasi bahasa Lampung di tengah upaya pemarginalan yang maksimal dari para elite dan tidak tersedianya pejuang budaya yang peduli dengan perkembangan bahasa lampung di level provinsi.
Elite Cuma Sibuk Seremoni
Minimnya dukungan budaya dari para elite di level provinsi tidak membuat perkembangan bahasa Lampung terpuruk, tetapi akan jauh lebih baik jika sikap moral para tokoh masyarakat adat Lampung lebih mengedepankan upaya dan strategi bersama memasyarakatkan bahasa Lampung ketimbang sibuk dalam kegiatan yang bersifat seremoni dan politik praktis thok!
Akan jauh lebih mulia jika para elite Lampung bersikap bijak untuk menyosialisasikan pembuatan Perda Penggunaan Bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari atau memperjuangkan terbitnya Peraturan Gubernur tentang Kewajiban Berbahasa Lampung bagi setiap pejabat dalam acara nonresmi, misalnya, ketimbang meneriakkan kegalauan bahwa 75 tahun lagi bahasa lampung akan punah.
Terlebih lagi penilaian seperti yang disuarakan Rektor Unila Muhajir Utomo; "Bahasa Jawa atau Minang tidak usah dimotivasi pemerintah sudah bisa berkembang dengan sendirinya, tetapi kalau bahasa Lampung, kan tidak? Bahasa Lampung membutuhkan komitmen dan kesungguhan pemerintah daerah untuk membangkitkan kembali bahasa daerahnya," (Lampung Post, 22-2-2007). Tentu akan jauh lebih mulia jika beliau berketetapan hati untuk membuka kembali program studi D-2 & D-3 Bahasa Lampung yang sejak tahun 2003 ditutup.
Revisi Program Mulok
Memang pemerintah daerah khususnya bidang pendidikan telah melaksanakan program dalam upaya pelestarian bahasa Lampung, yakni memasukkannnya dalam kurikulum muatan lokal sejak SD sampai SMA.
Dalam pelaksanaannya memang mengalami hambatan ketika harus diimplementasikan mengingat ukuran keberhasilan dari pembelajaran bahasa Lampung tersebut tidak muncul di tingkat operasional ketika siswa berkomunikasi. Hal ini terjadi mungkin akibat ditetapkannya skala prioritas dalam kurikulum tersebut pada kemampuan siswa menulis aksara Lampung (Kaganga) ketimbang dapat bicara bahasa Lampung.
Untuk ke depan, akan jauh lebih baik jika kurikulum tersebut direvisi, dalam arti untuk tingkat SD sampai SMP lebih fokus pada kurikulum pembelajaran bahasa Lampung secara aktif, sehingga hasilnya dapat dinikmati langsung anak didik baik dalam berkomunikasi verbal dengan lingkungan dan orang tuanya maupun untuk korespondensi. Untuk belajar aksara Lampung dapat dimunculkan di tingkat SMA.
Hal ini perlu segera dibenahi karena output muatan lokal bahasa daerah Lampung kini hanya sekadar mengantarkan anak didik untuk dapat menulis aksara Lampung dengan benar, sehingga terkadang muncul kebingungan dari para orang tua yang notabene biasa berbahasa Lampung ketika putranya memintanya untuk menyelesaikan pe-er yang ditulis dalam aksara Lampung!
Jika hal ini bisa dilaksanakan, penulis yakin bahwa generasi muda Lampung terutama di daerah perkotaan dapat berkomunikasi dalam bahasa Lampung dan tujuan pendidikan bahasa Lampung di sekolah akan menuai hasil yang maksimal. Sebaliknya jika kurikulum tidak di revisi, proses pemasyarakatan bahasa daerah Lampung akan terkendala dan hanya sekadar berfungsi sebagai penambah nilai untuk bisa lulus sekolah tepat waktu.
Tidak Cukup Sekadar Merek
Melampungkan kelampungan orang Lampung dengan menjadikan bahasa Lampung sebagai bahasa pergaulan antarsesama warga di seluruh wilayah Lampung pada akhirnya akan dapat membangun jati diri orang Lampung yang ber-piil pesenggiri bukan sekadar klise dalam sebutan kopi lampung, Plaza Lampung, dan sebagainya.
Penyadaran untuk bersama berbahasa Lampung paling tidak dalam pergaulan sehari-hari, entah di pasar, kantor, rumah atau di mana saja dan kapan saja diharapkan akan dapat menumbuhkembangkan kesadaran menjadi orang Lampung sejati. Bagi penduduk asli memulainya dengan meminggirkan budaya liom ketika harus berkomunikasi dalam bahasa ibunya dengan siapa pun, dan pendatang mesti memiliki rasa bangga untuk menjadi orang Lampung.
Jangan Saling Menyalahkan
Siapa pun dia, dari mana pun asalnya, ketika merasa sudah pandai berbahasa Lampung mesti siap dan berani menyebarluaskannya kepada orang-orang terdekat di sekitarnya, begitu pula halnya kepada yang ingin belajar, maka dia harus berguru karena bagaimanapun juga takkan ada guru yang mencari muridnya!
Pemerintah daerah memang berkepentingan dan bertanggung jawab dalam pelestarian bahasa Lampung, tapi dalam prosesnya harus melibatkan seluruh warga tanpa terkecuali dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sebagai proyek moral pertanda rakyat Lampung sejati.
'Dialek' Lampung-Indonesia
Pada saatnya nanti Indonesia akan mengenal "dialek" Lampung--Indonesia yang khas dan unik di media TV Nusantara, sehingga peranannya dalam perkembangan bahasa Indonesia dapat diperhitungkan dan disejajarkan dengan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu dikenal.
Kondisi ini segera kami nikmati jika budaya liom ulun lappung dan budaya bangga pendatang yang tidak bisa bicara lampung binasa bersama berkat tuah piil pesenggiri yang menjadi kekuatan sejati rakyat Lampung. Jika prosesi sebambangan (bergabungnya dua kekuatan yang saling mencintai) ini terjadi, insya Allah bahasa Bumi Ruwa Jurai akan berkumandang di jagat Nusantara. Kimak ganta, kapan lagi, kimak kham, sapa lagi, puakhii. (Sukamaju, 29-8-07)
n Asaroeddin Malik Zulqornain, sastrawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 September 2007
KETIKA Tanoh Lappung, "Sai Bumi Ruwa Jurai" (tulisan yang terdapat pada lambang daerah Lampung) yang artinya Satu bumi dua keturunan: Pepadun dan Saibatin dipelintir maknanya menjadi "pendatang dan asli", dapat dipatahkan dengan argumen jangankan di Lampung bahkan di Kutub Utara sekalipun pasti ada penduduk asli dan pendatang.
Muncul kemudian slogan bahwa Lampung ialah "Indonesia mini". Dan Gubernur Lampung, Sjachroedin Z.P. dengan lantang mematahkan isu murahan ini dalam pidato pembukaan Pergelaran Kesenian Lampung di Saburai, tanggal 23 Juli, karena "Indonesia mini" jika diartikan sebagai tempat berkumpulnya beragam suku/etnik pasti bisa didapatkan di mana saja di wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke.
Jika di daerah lain di luar daerah Lampung filosofi "di mana bumi di pijak--di situ langit dijunjung" dapat terlaksana dengan mulus dalam arti seseorang harus segera "mem-Palembang-kan" dirinya dengan dialek: "Berapo ongkos ke Plaju, Mangcek?" (Palembang) atau mem-Betawi-kan dirinya dengan dialog "lu-gue" ketika di Jakarta dan seterusnya sampai harus memelayukan bahasanya ketika kembali ke kampung halaman setelah menjadi TKW/TKI di negeri jiran.
Di Lampung justru sebaliknya. Bahkan, muncul joke: Ada dua orang sedang terlibat pembicaraan berbahasa Lampung, lalu datang orang ketiga yang tidak bisa berbahasa Lampung. Dan agar yang bersangkutan bisa langsung terlibat pada pembicaraan, maka kedua orang itu serta-merta mengganti bahasanya bukan dengan bahasa Indonesia justru bahasa ibu si orang ketiga!
Ketiga fakta yang penulis sebutkan di atas merupakan hambatan utama dalam pemasyarakatan bahasa Lampung, kesemuanya bersumber dari tidak adanya rasa bangga menjadi orang Lampung bahkan merasa liom (malu) dan merasa diri kampungan jika berkomunikasi dalam bahasa ibunya.
Lampung sebagai kesatuan budaya rasanya tidak mungkin mengundang kontroversi; lain halnya jika menjadikan Lampung sebagai kesatuan politik dan pilihan menjadikan bahasa Lampung sebagai alat berkomunikasi antarsesama warga--sebagaimana halnya yang terjadi di seluruh wilayah NKRI--dapat dijadikan sebagai benang merah yang mengikat warga untuk membangun lampung dengan kebersamaan dalam persepsi, misi, dan visi sehingga kebangkitannya sebagai provinsi yang unggul dan memiliki daya saing dapat segera terwujud. Dan Semboyan "Demimu Lampungku-padamu baktiku" seyogianya membara di setiap jiwa warga Lampung.
Di Masyarakat Adat
Bahasa daerah Lampung merupakan salah satu dari 700 bahasa ibu yang ada di Indonesia, sampai hari ini tetap tumbuh dan berkembang, terutama di masyarakat adat di seluruh wilayah Lampung sungguhpun dalam upaya pemasyarakatannya masih dilakukan dengan setengah hati dan kurang mendapat dukungan maksimal dari pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Namun, masyarakat adat Lampung di perdesaan tetap setia memakai dan membesarkannya seperti halnya bisa kita dengar pada setiap Sabtu malam, di RRI Tanjungkarang dalam acara Ragom Budaya Lampung. Kumandang kesenian sastra lisan Lampung yang disuarakan berbagai kelompok masyarakat adat dari seluruh pelosok Lampung yang datang berbondong-bondong dengan tanpa dibayar sesen pun merupakan bukti nyata eksistensi dan revitalisasi bahasa Lampung di tengah upaya pemarginalan yang maksimal dari para elite dan tidak tersedianya pejuang budaya yang peduli dengan perkembangan bahasa lampung di level provinsi.
Elite Cuma Sibuk Seremoni
Minimnya dukungan budaya dari para elite di level provinsi tidak membuat perkembangan bahasa Lampung terpuruk, tetapi akan jauh lebih baik jika sikap moral para tokoh masyarakat adat Lampung lebih mengedepankan upaya dan strategi bersama memasyarakatkan bahasa Lampung ketimbang sibuk dalam kegiatan yang bersifat seremoni dan politik praktis thok!
Akan jauh lebih mulia jika para elite Lampung bersikap bijak untuk menyosialisasikan pembuatan Perda Penggunaan Bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari atau memperjuangkan terbitnya Peraturan Gubernur tentang Kewajiban Berbahasa Lampung bagi setiap pejabat dalam acara nonresmi, misalnya, ketimbang meneriakkan kegalauan bahwa 75 tahun lagi bahasa lampung akan punah.
Terlebih lagi penilaian seperti yang disuarakan Rektor Unila Muhajir Utomo; "Bahasa Jawa atau Minang tidak usah dimotivasi pemerintah sudah bisa berkembang dengan sendirinya, tetapi kalau bahasa Lampung, kan tidak? Bahasa Lampung membutuhkan komitmen dan kesungguhan pemerintah daerah untuk membangkitkan kembali bahasa daerahnya," (Lampung Post, 22-2-2007). Tentu akan jauh lebih mulia jika beliau berketetapan hati untuk membuka kembali program studi D-2 & D-3 Bahasa Lampung yang sejak tahun 2003 ditutup.
Revisi Program Mulok
Memang pemerintah daerah khususnya bidang pendidikan telah melaksanakan program dalam upaya pelestarian bahasa Lampung, yakni memasukkannnya dalam kurikulum muatan lokal sejak SD sampai SMA.
Dalam pelaksanaannya memang mengalami hambatan ketika harus diimplementasikan mengingat ukuran keberhasilan dari pembelajaran bahasa Lampung tersebut tidak muncul di tingkat operasional ketika siswa berkomunikasi. Hal ini terjadi mungkin akibat ditetapkannya skala prioritas dalam kurikulum tersebut pada kemampuan siswa menulis aksara Lampung (Kaganga) ketimbang dapat bicara bahasa Lampung.
Untuk ke depan, akan jauh lebih baik jika kurikulum tersebut direvisi, dalam arti untuk tingkat SD sampai SMP lebih fokus pada kurikulum pembelajaran bahasa Lampung secara aktif, sehingga hasilnya dapat dinikmati langsung anak didik baik dalam berkomunikasi verbal dengan lingkungan dan orang tuanya maupun untuk korespondensi. Untuk belajar aksara Lampung dapat dimunculkan di tingkat SMA.
Hal ini perlu segera dibenahi karena output muatan lokal bahasa daerah Lampung kini hanya sekadar mengantarkan anak didik untuk dapat menulis aksara Lampung dengan benar, sehingga terkadang muncul kebingungan dari para orang tua yang notabene biasa berbahasa Lampung ketika putranya memintanya untuk menyelesaikan pe-er yang ditulis dalam aksara Lampung!
Jika hal ini bisa dilaksanakan, penulis yakin bahwa generasi muda Lampung terutama di daerah perkotaan dapat berkomunikasi dalam bahasa Lampung dan tujuan pendidikan bahasa Lampung di sekolah akan menuai hasil yang maksimal. Sebaliknya jika kurikulum tidak di revisi, proses pemasyarakatan bahasa daerah Lampung akan terkendala dan hanya sekadar berfungsi sebagai penambah nilai untuk bisa lulus sekolah tepat waktu.
Tidak Cukup Sekadar Merek
Melampungkan kelampungan orang Lampung dengan menjadikan bahasa Lampung sebagai bahasa pergaulan antarsesama warga di seluruh wilayah Lampung pada akhirnya akan dapat membangun jati diri orang Lampung yang ber-piil pesenggiri bukan sekadar klise dalam sebutan kopi lampung, Plaza Lampung, dan sebagainya.
Penyadaran untuk bersama berbahasa Lampung paling tidak dalam pergaulan sehari-hari, entah di pasar, kantor, rumah atau di mana saja dan kapan saja diharapkan akan dapat menumbuhkembangkan kesadaran menjadi orang Lampung sejati. Bagi penduduk asli memulainya dengan meminggirkan budaya liom ketika harus berkomunikasi dalam bahasa ibunya dengan siapa pun, dan pendatang mesti memiliki rasa bangga untuk menjadi orang Lampung.
Jangan Saling Menyalahkan
Siapa pun dia, dari mana pun asalnya, ketika merasa sudah pandai berbahasa Lampung mesti siap dan berani menyebarluaskannya kepada orang-orang terdekat di sekitarnya, begitu pula halnya kepada yang ingin belajar, maka dia harus berguru karena bagaimanapun juga takkan ada guru yang mencari muridnya!
Pemerintah daerah memang berkepentingan dan bertanggung jawab dalam pelestarian bahasa Lampung, tapi dalam prosesnya harus melibatkan seluruh warga tanpa terkecuali dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sebagai proyek moral pertanda rakyat Lampung sejati.
'Dialek' Lampung-Indonesia
Pada saatnya nanti Indonesia akan mengenal "dialek" Lampung--Indonesia yang khas dan unik di media TV Nusantara, sehingga peranannya dalam perkembangan bahasa Indonesia dapat diperhitungkan dan disejajarkan dengan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu dikenal.
Kondisi ini segera kami nikmati jika budaya liom ulun lappung dan budaya bangga pendatang yang tidak bisa bicara lampung binasa bersama berkat tuah piil pesenggiri yang menjadi kekuatan sejati rakyat Lampung. Jika prosesi sebambangan (bergabungnya dua kekuatan yang saling mencintai) ini terjadi, insya Allah bahasa Bumi Ruwa Jurai akan berkumandang di jagat Nusantara. Kimak ganta, kapan lagi, kimak kham, sapa lagi, puakhii. (Sukamaju, 29-8-07)
n Asaroeddin Malik Zulqornain, sastrawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 September 2007
Musik: Kangen Band, Antara Sukses dan Hujatan
Pacarku cintailah aku/ Seperti aku cinta kamu/Tapi kamu kok selingkuh.
PENGGALAN syair lagu bertajuk Selingkuh milik Kangen Band, boleh jadi amat akrab di telinga para pendengar musik Indonesia. Meski, tidak dipungkiri banyak orang yang 'malu-malu' mengakui suka dengan lagu tersebut.
Buktinya lagu tersebut membawa grup asal Lampung itu ke puncak popularitas. Warna musiknya mengingatkan kita pada musik-musik Malaysia yang marak 'menjajah' belantika musik Indonesia di era 80-an. Itulah ciri khas Kangen Band.
Memang tidak sedikit pendapat yang mengatakan lagu-lagu mereka 'kampungan'. Bahkan lebih ekstrem lagi, ada yang berpendapat munculnya lagu-lagu Kangen Band menandai runtuhnya kreativitas musik Indonesia.
Namun tidak demikian dengan Warner Music Indonesia (WMI) yang sudah berpengalaman dalam bisnis rekaman. WMI berani mengambil band yang terbentuk 4 Juli 2005 itu.
Album pertama mereka bertajuk Aku, Kau & Dia, yang dirilis WMI, pada Februari lalu terjual lebih dari 500 ribu keping. Angka penjualan yang tinggi itu memang mengejutkan. Terlebih lagi artis populer saat ini sulit mencapai penjualan hingga 500 ribu keping, karena persaingan di bisnis musik kian ketat.
Ketenaran Kangen membuat band itu bisa tampil dengan band-band lain yang sudah populer. Dalam konser akbar A Mild Soundrenaline 2007 misalnya, Kangen Band ambil bagian. Terakhir grup band itu masuk nominasi band paling ngetop dalam SCTV Award, bersaing dengan Ungu, Ada Band, dan Dewa.
Namun tidak semua orang senang dengan kepopuleran Kangen Band. Kesuksesan yang dirasakan kelompok asal Lampung itu terus mendapat hinaan dan makian. David, vokalis band Naif, misalnya, pernah mengecap Kangen Band sebagai band kampungan walau akhirnya ia ralat. Baru-baru ini beredar lagu yang dibawakan kelompok musik rap yang berisi caci-maki terhadap Kangen Band. Lagu tersebut telah beredar dua minggu lalu lewat jaringan ringtone telepon genggam.
Lagu yang sering disebut dengan Lagu Makian untuk Kangen Band itu lebih mengarah pada serangan pribadi dan kebencian yang tidak beralasan. Coba simak beberapa potong syairnya:
This is love song specially for Kangen Band. Yo amit-amit/ Baru sekali ini kejadian seumur hidup. Ada sampah jadi perhatian/You know Kangen Band yang personelnya udik... You check this, I will kill Kangen Band. ...yang lebih pantes jadi pengamen. Mereka adalah contoh kebodohan. Yang dipuja sama seperti saat pertama kali tenarnya Band Radja. Orang memang benar kalau kalian kayak gerombolan waria....
Kelompok rap ini juga mengarahkan kebenciannya kepada vokalis Kangen Band, Dodhy, dan mengarah ke kebencian fisik.
Sujana dari Positif Art Management, manajer Kangen Band, mengakui sudah tahu lagu tersebut. ''Yang membuat kami khawatir adalah syair lagunya bersifat ancaman. Setiap Kangen Band pentas, kami selalu minta keamanan lebih ketat,'' ungkap Sujana yang kini sedang menjajaki perlu tidak menempuh jalur hukum terhadap masalah tersebut.
Pengamat musik Bens Leo pun menilai lagu makian tersebut benar-benar tidak etis. ''Band bisa populer karena ada yang mengaturnya. Manajemen Kangen Band pandai mengambil pasar di kelas bawah yang masih kosong, makanya band itu langsung populer,'' ujarnya. (Eri Anugerah/H-3)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 16 September 2007
PENGGALAN syair lagu bertajuk Selingkuh milik Kangen Band, boleh jadi amat akrab di telinga para pendengar musik Indonesia. Meski, tidak dipungkiri banyak orang yang 'malu-malu' mengakui suka dengan lagu tersebut.
Buktinya lagu tersebut membawa grup asal Lampung itu ke puncak popularitas. Warna musiknya mengingatkan kita pada musik-musik Malaysia yang marak 'menjajah' belantika musik Indonesia di era 80-an. Itulah ciri khas Kangen Band.
Memang tidak sedikit pendapat yang mengatakan lagu-lagu mereka 'kampungan'. Bahkan lebih ekstrem lagi, ada yang berpendapat munculnya lagu-lagu Kangen Band menandai runtuhnya kreativitas musik Indonesia.
Namun tidak demikian dengan Warner Music Indonesia (WMI) yang sudah berpengalaman dalam bisnis rekaman. WMI berani mengambil band yang terbentuk 4 Juli 2005 itu.
Album pertama mereka bertajuk Aku, Kau & Dia, yang dirilis WMI, pada Februari lalu terjual lebih dari 500 ribu keping. Angka penjualan yang tinggi itu memang mengejutkan. Terlebih lagi artis populer saat ini sulit mencapai penjualan hingga 500 ribu keping, karena persaingan di bisnis musik kian ketat.
Ketenaran Kangen membuat band itu bisa tampil dengan band-band lain yang sudah populer. Dalam konser akbar A Mild Soundrenaline 2007 misalnya, Kangen Band ambil bagian. Terakhir grup band itu masuk nominasi band paling ngetop dalam SCTV Award, bersaing dengan Ungu, Ada Band, dan Dewa.
Namun tidak semua orang senang dengan kepopuleran Kangen Band. Kesuksesan yang dirasakan kelompok asal Lampung itu terus mendapat hinaan dan makian. David, vokalis band Naif, misalnya, pernah mengecap Kangen Band sebagai band kampungan walau akhirnya ia ralat. Baru-baru ini beredar lagu yang dibawakan kelompok musik rap yang berisi caci-maki terhadap Kangen Band. Lagu tersebut telah beredar dua minggu lalu lewat jaringan ringtone telepon genggam.
Lagu yang sering disebut dengan Lagu Makian untuk Kangen Band itu lebih mengarah pada serangan pribadi dan kebencian yang tidak beralasan. Coba simak beberapa potong syairnya:
This is love song specially for Kangen Band. Yo amit-amit/ Baru sekali ini kejadian seumur hidup. Ada sampah jadi perhatian/You know Kangen Band yang personelnya udik... You check this, I will kill Kangen Band. ...yang lebih pantes jadi pengamen. Mereka adalah contoh kebodohan. Yang dipuja sama seperti saat pertama kali tenarnya Band Radja. Orang memang benar kalau kalian kayak gerombolan waria....
Kelompok rap ini juga mengarahkan kebenciannya kepada vokalis Kangen Band, Dodhy, dan mengarah ke kebencian fisik.
Sujana dari Positif Art Management, manajer Kangen Band, mengakui sudah tahu lagu tersebut. ''Yang membuat kami khawatir adalah syair lagunya bersifat ancaman. Setiap Kangen Band pentas, kami selalu minta keamanan lebih ketat,'' ungkap Sujana yang kini sedang menjajaki perlu tidak menempuh jalur hukum terhadap masalah tersebut.
Pengamat musik Bens Leo pun menilai lagu makian tersebut benar-benar tidak etis. ''Band bisa populer karena ada yang mengaturnya. Manajemen Kangen Band pandai mengambil pasar di kelas bawah yang masih kosong, makanya band itu langsung populer,'' ujarnya. (Eri Anugerah/H-3)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 16 September 2007
September 15, 2007
Seni Tradisi: Sastra Lisan Lampung Idealnya Diberikan di SMP
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pembelajaran sastra lisan daerah Lampung idealnya diberikan kepada para pelajar khususnya setingkat SMP. Sebab hanya dalam level ini pembelajaran muatan lokal bahasa Lampung diberikan. Sedang pada tingkat SMA kurang memungkinkan.
Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPTD Taman Budaya Lampung Pharzon Nashiruddin mengemukakan hal tersebut saat ditemui di ruang kerjanya, baru-baru ini. Untuk itu, dia mengatakan pelatihan teknis sastra lisan daerah Lampung tersebut diberikan pada tingkatan siswa SMP.
"Awalnya kami memang membidik siswa SMA. Namun ternyata di SMA pembelajaran muatan lokal terutama bahasa Lampung sudah tidak ada. Makanya sangat disayangkan bila diberikan pembelajarannya, tetapi tidak diaplikasikan di sekolah," kata Pharzon.
Padahal seharusnya di tingkat SMA, pembelajaran bahasa Lampung terutama sastra lisan daerah Lampung diberikan. "Namun ini tak mungkin. Karena siswa yang mengambil jurusan sastra saja di SMA belum tentu mendapatkan pelajaran sastra lisan Lampung," ujar dia.
Sehingga, Taman Budaya Lampung membidik peserta pelatihan sastra lisan daerah Lampung diberikan kepada siswa SMP. "Sebab siswa SMP, sejak SD sudah mendapat pelajaran bahasa Lampung. Begitu juga di SMP terdapat muatan lokal pelajaran tersebut, sehingga bisa saling menyambung dan berkaitan satu dengan lain," ujarnya.
Apalagi memang selain memberikan pengetahuan kepada para pelajar berkaitan dengan sastra lisan, kegiatan pelatihan juga bertujuan untuk melestarikan sastra lisan. "Jadi ini tetap sejalan dengan misi Taman Budaya Lampung yang menggali serta mengembangkan seni budaya daerah Lampung. Terlebih lagi ini juga sekaligus menyosialisasikan mengenai sastra lisan kepada para pelajar."
Karena itu, pelatihan sastra lisan Lampung digelar setiap tahun. Tahun ini, pelatihan berlangsung selama seminggu dari Selasa (4-9) hingga Senin (10-9) dan diikuti 45 pelajar SMP. Adapun materinya berupa muayak, ringget, dan wawancan. "Namun ke depan bisa berkembang ke sastra lisan lainnya sesuai dengan pematerinya seperti dadi, hahiwang, dan lainnya," kata dia.
Ia mengungkapkan materinya tak hanya berkutat pada persoalan sastra lisan saja, tapi juga muatan tari, musik daerah Lampung, seni pertunjukan, serta pengetahuan umum. n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 15 September 2007
Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPTD Taman Budaya Lampung Pharzon Nashiruddin mengemukakan hal tersebut saat ditemui di ruang kerjanya, baru-baru ini. Untuk itu, dia mengatakan pelatihan teknis sastra lisan daerah Lampung tersebut diberikan pada tingkatan siswa SMP.
"Awalnya kami memang membidik siswa SMA. Namun ternyata di SMA pembelajaran muatan lokal terutama bahasa Lampung sudah tidak ada. Makanya sangat disayangkan bila diberikan pembelajarannya, tetapi tidak diaplikasikan di sekolah," kata Pharzon.
Padahal seharusnya di tingkat SMA, pembelajaran bahasa Lampung terutama sastra lisan daerah Lampung diberikan. "Namun ini tak mungkin. Karena siswa yang mengambil jurusan sastra saja di SMA belum tentu mendapatkan pelajaran sastra lisan Lampung," ujar dia.
Sehingga, Taman Budaya Lampung membidik peserta pelatihan sastra lisan daerah Lampung diberikan kepada siswa SMP. "Sebab siswa SMP, sejak SD sudah mendapat pelajaran bahasa Lampung. Begitu juga di SMP terdapat muatan lokal pelajaran tersebut, sehingga bisa saling menyambung dan berkaitan satu dengan lain," ujarnya.
Apalagi memang selain memberikan pengetahuan kepada para pelajar berkaitan dengan sastra lisan, kegiatan pelatihan juga bertujuan untuk melestarikan sastra lisan. "Jadi ini tetap sejalan dengan misi Taman Budaya Lampung yang menggali serta mengembangkan seni budaya daerah Lampung. Terlebih lagi ini juga sekaligus menyosialisasikan mengenai sastra lisan kepada para pelajar."
Karena itu, pelatihan sastra lisan Lampung digelar setiap tahun. Tahun ini, pelatihan berlangsung selama seminggu dari Selasa (4-9) hingga Senin (10-9) dan diikuti 45 pelajar SMP. Adapun materinya berupa muayak, ringget, dan wawancan. "Namun ke depan bisa berkembang ke sastra lisan lainnya sesuai dengan pematerinya seperti dadi, hahiwang, dan lainnya," kata dia.
Ia mengungkapkan materinya tak hanya berkutat pada persoalan sastra lisan saja, tapi juga muatan tari, musik daerah Lampung, seni pertunjukan, serta pengetahuan umum. n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 15 September 2007
September 14, 2007
Workshop: Film Jadi Media Pembangunan Budaya
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Film bisa dijadikan media pengembangan kebudayaan bangsa sebagai salah satu aspek ketahanan dan pembangunan nasional.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Hermansyah MURP mengemukakan hal tersebut dalam pembukaan Worskhop Film Pelajar 2007 yang digelar di Hotel Kemala Bandar Lampung, baru-baru ini. Media pengembangan budaya bangsa tersebut merupakan fungsi strategis film guna meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
"Untuk itu Dinas Pendidikan melalui Sub-Dinas Kebudayaan menggelar kegiatan ini agar para pelajar sebagai generasi muda dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan kebudayaan bangsa melalui media film," kata Hermansyah.
Ia mengharapkan melalui kegiatan ini para peserta dapat menyerap pengetahuan teknis mengenai produksi film. Sehingga, nantinya bisa membangun wawasan budaya bangsa secara positif dan optiomal.
Sekaligus bisa membuat film bernuansa pendidikan. "Ini bisa dijadikan sebagai kontribusi bagi pembangunan daerah dan budaya bangsa. Sebuah film yang tidak saja menghibur tapi juga mendidik. Terutama film yang tidak melupakan setting budaya lokal."
Sebab, kata Hermansyah, potensi budaya Lampung sangat kaya dan beragam untuk diangkat dalam masyarakat. "Maka, kami mengharapkan para peserta bisa menerapkan ilmu yang didapatkan di komunitas masing-masing. Apalagi saat ini komunitas-komunitas film yang ada di Lampung baik di sekolah, kampus, dan masyarakat umumnya mulai tumbuh berkembang," ujarnya.
Adapun materi yang diberikan adalah tentang penyutradaraan, kamera, editing, skenario film, proses kreatif pembuatan film, dan film serta perkembangannya. Pematerinya, Dede S. Wijaya, Hermansyah G.A., Irwan Wahyudi, D. Pramudya Muhtar, Ibrahim Wardin, dan Isbedy Stiawan Z.S. n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 14 September 2007
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Hermansyah MURP mengemukakan hal tersebut dalam pembukaan Worskhop Film Pelajar 2007 yang digelar di Hotel Kemala Bandar Lampung, baru-baru ini. Media pengembangan budaya bangsa tersebut merupakan fungsi strategis film guna meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
"Untuk itu Dinas Pendidikan melalui Sub-Dinas Kebudayaan menggelar kegiatan ini agar para pelajar sebagai generasi muda dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan kebudayaan bangsa melalui media film," kata Hermansyah.
Ia mengharapkan melalui kegiatan ini para peserta dapat menyerap pengetahuan teknis mengenai produksi film. Sehingga, nantinya bisa membangun wawasan budaya bangsa secara positif dan optiomal.
Sekaligus bisa membuat film bernuansa pendidikan. "Ini bisa dijadikan sebagai kontribusi bagi pembangunan daerah dan budaya bangsa. Sebuah film yang tidak saja menghibur tapi juga mendidik. Terutama film yang tidak melupakan setting budaya lokal."
Sebab, kata Hermansyah, potensi budaya Lampung sangat kaya dan beragam untuk diangkat dalam masyarakat. "Maka, kami mengharapkan para peserta bisa menerapkan ilmu yang didapatkan di komunitas masing-masing. Apalagi saat ini komunitas-komunitas film yang ada di Lampung baik di sekolah, kampus, dan masyarakat umumnya mulai tumbuh berkembang," ujarnya.
Adapun materi yang diberikan adalah tentang penyutradaraan, kamera, editing, skenario film, proses kreatif pembuatan film, dan film serta perkembangannya. Pematerinya, Dede S. Wijaya, Hermansyah G.A., Irwan Wahyudi, D. Pramudya Muhtar, Ibrahim Wardin, dan Isbedy Stiawan Z.S. n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 14 September 2007
September 13, 2007
Obituarium: Djafar Amid Berpulang
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lampung kehilangan salah satu putra terbaiknya. Mantan Bupati Lampung Selatan, Djafar Amid, meninggal dunia di kediamannya di Bandar Lampung, Rabu (12-9), dalam usia 82 tahun dan dimakamkan di permakaman keluarga Way Hui, Bandar Lampung.
"Ini sesuai permintaan ayah," kata Iwan Nurdaya Djafar, salah seorang anak Djafar. Menurut Iwan, ayahnya telah mengalami komplikasi penyakit, termasuk osteoporosis sejak sekitar 7 bulan lalu. Bahkan, bagian lutut mantan anggota DPRD Lampung tiga periode ini sempat dioperasi.
Djafar yang sempat menjadi Ketua MKGR, Ketua IPHI, dan MDI Lampung meninggalkan 1 istri (Siti Kalang), 8 anak, dan 18 cucu. Sejumlah pejabat hadir dan karangan bunga dari berbagai kalangan, termasuk Bupati Lamsel Zukifli Anwar, Bupati Lamtim Satono, dan mantan Gubernur Lampung Oemarsono dikirim ke rumah duka.
Djafar yang gemar membaca dikenal sebagai sosok mengayomi, sabar, disiplin, jujur, dan sederhana. Dalam biografinya berjudul Ayah, sejumlah kalangan antara lain Siti Nurbaya (Sekjen DPD), Hairi Fasyah (Bupati Lampura), Eddy Sutrisno (Wali Kota Bandar Lampung) memanggilnya dengan sebutan ayah.
Selain berhasil dalam perjalanan karier, Djafar juga berhasil mengantar anak-anaknya menuju keberhasilan. Irfan Nuranda (putra ke-4) sempat menjadi Bupati Lamtim, Iwan Nurdaya (Kadis BKKCS Lamtim), dan Ida Budiarti (dosen FE Unila). Demikian juga yang lain menduduki posisi cukup bagus di jenjang karier mereka.
Sebelum menjadi bupati, menekuni dunia politik, dan dai, Djafar merupakan anggota TNI. Ia dikaryakan menjadi Bupati Lamsel atas perintah Pangdam Sriwijaya Himawan Soetanto.
Sosok Djafar memberi kesan mendalam pada banyak orang. "Salah satu kepribadian beliau yang dapat diteladani adalah kesederhanaan hidupnya meski pernah menjabat bupati dan jabatan lain," kata mantan Rektor Unila Alhusniduki Hamim.
Bagi Syaputro, mantan kepala dinas di Bandar Lampung dan Lamsel, Djafar adalah sosok pemimpin berjiwa keras karena kebenaran yang diyakininya, bekerja sungguh-sungguh, detail, jujur, dan tak pernah takut pada apa pun. HES/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 13 September 2007
"Ini sesuai permintaan ayah," kata Iwan Nurdaya Djafar, salah seorang anak Djafar. Menurut Iwan, ayahnya telah mengalami komplikasi penyakit, termasuk osteoporosis sejak sekitar 7 bulan lalu. Bahkan, bagian lutut mantan anggota DPRD Lampung tiga periode ini sempat dioperasi.
Djafar yang sempat menjadi Ketua MKGR, Ketua IPHI, dan MDI Lampung meninggalkan 1 istri (Siti Kalang), 8 anak, dan 18 cucu. Sejumlah pejabat hadir dan karangan bunga dari berbagai kalangan, termasuk Bupati Lamsel Zukifli Anwar, Bupati Lamtim Satono, dan mantan Gubernur Lampung Oemarsono dikirim ke rumah duka.
Djafar yang gemar membaca dikenal sebagai sosok mengayomi, sabar, disiplin, jujur, dan sederhana. Dalam biografinya berjudul Ayah, sejumlah kalangan antara lain Siti Nurbaya (Sekjen DPD), Hairi Fasyah (Bupati Lampura), Eddy Sutrisno (Wali Kota Bandar Lampung) memanggilnya dengan sebutan ayah.
Selain berhasil dalam perjalanan karier, Djafar juga berhasil mengantar anak-anaknya menuju keberhasilan. Irfan Nuranda (putra ke-4) sempat menjadi Bupati Lamtim, Iwan Nurdaya (Kadis BKKCS Lamtim), dan Ida Budiarti (dosen FE Unila). Demikian juga yang lain menduduki posisi cukup bagus di jenjang karier mereka.
Sebelum menjadi bupati, menekuni dunia politik, dan dai, Djafar merupakan anggota TNI. Ia dikaryakan menjadi Bupati Lamsel atas perintah Pangdam Sriwijaya Himawan Soetanto.
Sosok Djafar memberi kesan mendalam pada banyak orang. "Salah satu kepribadian beliau yang dapat diteladani adalah kesederhanaan hidupnya meski pernah menjabat bupati dan jabatan lain," kata mantan Rektor Unila Alhusniduki Hamim.
Bagi Syaputro, mantan kepala dinas di Bandar Lampung dan Lamsel, Djafar adalah sosok pemimpin berjiwa keras karena kebenaran yang diyakininya, bekerja sungguh-sungguh, detail, jujur, dan tak pernah takut pada apa pun. HES/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 13 September 2007
September 10, 2007
Sastra: Puisi Syaiful Penuh Petualangan
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Membaca buku terbaru penyair Lampung Syaiful Irba Tanpaka bertajuk Karena Bola Matamu (Bukupop, Jakarta, Mei 2007) ibarat membaca puisi nakal seorang remaja yang berpetualang fantasi. Namun, kata-katanya tetap terjalin indah.
Demikian penilaian penyair Y. Wibowo yang hadir sebagai pembedah dalam roadshow Sastra yang digelar di SMA Taman Siswa Telukbetung, Bandar Lampung, Sabtu (8-9).
Dia mengatakan kelebihan buku ini adalah sebagian besarnya berisikan keselarasan antara gejolak jiwa serta keliaran kata-kata.
"Namun meski dibuat begitu liar, kata-kata yang ditampilkan tetap tertata. Contohnya dalam karya berjudul 'Mengagumi Dirimu', semuanya terjalin dengan indah dan tertata meski berisikan gejolak."
Menurut Wibowo, menelaah buku ini mengibaratkan sebuah layang-layang. Wibowo juga menjelaskan buku kumpulan puisi ini merupakan sebatas catatan perjalanan seorang lelaki yang meletakkan letihnya dalam sepi.
Sedangkan penyair Isbedy Stiawan ZS mengatakan karya Syaiful umumnya tidak pernah jauh dari persoalan di sekitarnya. "Tapi di buku ini sepertinya ingin menggarap tema tunggal, yakni cinta. Akan tetapi, soal cinta memang menjadi jamak pemaknaannya. Sebab, bisa berisikan antar sesama, terutama lawan jenis sampai kepada Tanah Air dan Tuhan."
Namun di buku ini, kata Isbedy, cinta yang dihadirkan dalam puisi Syaiful justru didominasi cinta lain, yakni jenis cinta remaja. "Sedikit untuk istrinya dan untuk anak-anaknya, baik ditujukan bagi putra kembarnya ataupun putrinya," ujar dia lagi.
Dia juga mengatakan membaca puisi-puisi dalam Karena Bola Matamu seperti membaca halaman-halaman diari.
Sementara Ketua Komunitas Sastra Kha-Gha-Nga Yunanda Saputra mengatakan roadshow juga menghadirkan para pelajar yang akan membacakan puisi terbaru Syaiful tersebut. "Seperti tujuan awalnya bahwa kegiatan ini diharapkan bisa memberikan ruang apresiasi yang lebih terhadap dunia sastra terutama puisi bagi para pelajar." n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 10 September 2007
Demikian penilaian penyair Y. Wibowo yang hadir sebagai pembedah dalam roadshow Sastra yang digelar di SMA Taman Siswa Telukbetung, Bandar Lampung, Sabtu (8-9).
Dia mengatakan kelebihan buku ini adalah sebagian besarnya berisikan keselarasan antara gejolak jiwa serta keliaran kata-kata.
"Namun meski dibuat begitu liar, kata-kata yang ditampilkan tetap tertata. Contohnya dalam karya berjudul 'Mengagumi Dirimu', semuanya terjalin dengan indah dan tertata meski berisikan gejolak."
Menurut Wibowo, menelaah buku ini mengibaratkan sebuah layang-layang. Wibowo juga menjelaskan buku kumpulan puisi ini merupakan sebatas catatan perjalanan seorang lelaki yang meletakkan letihnya dalam sepi.
Sedangkan penyair Isbedy Stiawan ZS mengatakan karya Syaiful umumnya tidak pernah jauh dari persoalan di sekitarnya. "Tapi di buku ini sepertinya ingin menggarap tema tunggal, yakni cinta. Akan tetapi, soal cinta memang menjadi jamak pemaknaannya. Sebab, bisa berisikan antar sesama, terutama lawan jenis sampai kepada Tanah Air dan Tuhan."
Namun di buku ini, kata Isbedy, cinta yang dihadirkan dalam puisi Syaiful justru didominasi cinta lain, yakni jenis cinta remaja. "Sedikit untuk istrinya dan untuk anak-anaknya, baik ditujukan bagi putra kembarnya ataupun putrinya," ujar dia lagi.
Dia juga mengatakan membaca puisi-puisi dalam Karena Bola Matamu seperti membaca halaman-halaman diari.
Sementara Ketua Komunitas Sastra Kha-Gha-Nga Yunanda Saputra mengatakan roadshow juga menghadirkan para pelajar yang akan membacakan puisi terbaru Syaiful tersebut. "Seperti tujuan awalnya bahwa kegiatan ini diharapkan bisa memberikan ruang apresiasi yang lebih terhadap dunia sastra terutama puisi bagi para pelajar." n TYO/S-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 10 September 2007
September 9, 2007
Sastra: Dicari: Novelis Lampung!
-- Maman S. Mahayana*
SELEPAS saya membolak-balik catatan perjalanan novel Indonesia, sejak sebelum Balai Pustaka sampai sekarang, saya berdoa: semoga pengamatan saya salah. Di sana, tidak ada novel karya sastrawan Lampung! Padahal, Lampung punya sejarah panjang tradisi bersastra. Datang saja misalnya ke Kabupaten Way Kanan. Maka, di daerah itu kita akan menjumpai begitu banyak sastra lisan yang menarik. Bahkan, nyeleneh dibandingkan sastra lisan di daerah lain di Nusantara. Lampung pun punya sejarah aksara sendiri, sejajar dengan aksara Bali, Jawa, Sunda, Melayu dan sejumlah aksara daerah lain di Nusantara. Jadi, secara kultural, wilayah ini punya kekayaan tradisi yang membanggakan. Lalu, mengapa tak ada novelis dari kawasan ini yang mencatatkan diri dalam peta sastra Indonesia? Bukankah selama ini Lampung juga telah dikenal sebagai salah satu poros penting kesusastraan Indonesia?
Sebelum Indonesia merdeka, Balai Pustaka didominasi sastrawan Sumatera dengan Minangkabau yang paling banyak melahirkan sastrawan. Tetapi, ketika itu pun tak ada novelis Lampung di sana. Medan yang lebih jauh dari pusat pemerintahan, malah ikut bermain. Dua di antaranya, Muhammad Kassim dan Suman Hs., meski Suman kemudian hijrah dan menjadi warga Melayu di Riau. Keduanya bahkan dipandang sebagai perintis novel-novel komedi.
Pada dasawarsa 1930-an Medan begitu banyak melahirkan novelis. Terbitnya majalah Pedoman Masyarakat pertengahan tahun 1935-an yang dikelola Hamka dan Helmy Yunan Nasution, ikut menyuburkan penulisan novel. Di majalah itu juga kita dapat menjumpai iklan-iklan novel terbitan sejumlah penerbit Medan. Termasuk juga iklan sayembara penulisan novel (roman). Para novelis Medan ketika itu, cukup populer terutama dalam penulisan novel detektif dan kisah-kisah petualangan (adventure). Beberapa di antaranya, Merayu Sukma, Yusuf Sou'yb, S.M. Taufik, Zalecha, dan Ghazali Hasan. Jalur penerbitan dan distribusi buku Medan, Tebingtinggi, Bukingtinggi, dan Padang memungkinkan perkembangan sastra masa itu bergerak semarak.
Selepas merdeka, Balai Pustaka dikelola dengan kebijaksanaan membiarkan semangat dan ciri keindonesiaan. Pemerintah tak lagi ikut campur dalam soal yang menyangkut tema cerita. Keinginan untuk mempertahankan bahasa Indonesia yang khas Balai Pustaka, juga diperlakukan lebih longgar. Ada kesadaran dari redakturnya untuk mempertahankan unsur bahasa dan kebudayaan daerah yang masuk dalam naskah yang dikirim ke Balai Pustaka. Maka, unsur-unsur bahasa daerah (Sunda dan Jawa) dalam novel Atheis (1949) karya Achdiat Karta Mihardja dan Keluarga Gerilya (1949) karya Pramoedya Ananta Toer dibiarkan bertebaran dalam kedua novel itu.
Akibat kebijaksanaan Balai Pustaka itu, dominasi sastrawan Sumatera mulai pudar. Sastrawan dengan latar budaya Jawa dan Sunda, bermunculan. Meskipun demikian, Minangkabau (sekadar menyebut dua nama: A.A. Navis, Motinggo Boesje) dan Medan (Barus Siregar dan Bokor Hutasuhut) ditambahkan dengan mereka yang kemunculannya setelah hijrah ke Jawa (Mochtar Lubis, Iwan Simatupang, Nasjah Djamin). Palembang, selepas tahun 1950-an, memunculkan nama Bur Rasuanto dan K. Usman.
Sampai kini, poros-poros novel Indonesia di Sumatera itu masih memperlihatkan kontribusinya. Bahkan lebih semarak dibandingkan tahun 1950-an. Sumatera Barat, misalnya, masih merupakan penyumbang terbesar novelis Indonesia. Sekadar menyebut beberapa, Wisran Hadi, Darman Munir, Gus tf Sakai. Riau, selepas Ediruslan P.E. Amanriza, masih ada Sudarno Mahyudin, lalu muncul pula Taufik Ikram Jamil, Abel Tasman, Mohammad Nasir, Olyrinson, Hary B. Kori'un. Bahkan Juli lalu, Rida K Liamsi meluncurkan novel Bulang Cahaya (JP Book Surabaya dan Yayasan Sagang, 2007, 326 halaman), sebuah kisah percintaan Romeo dan Juliet model Melayu yang dikemas dalam bingkai besar terbelahnya keagungan kerajaan Melayu. Belum lagi menyangkut kawasan Kepulauan Riau, Bintan dan Batam, di antaranya, Samson Rambah Pasir dan Tusiran Suseno. Malahan, Tusiran Soseno tercatat sebagai pemenang kedua Lomba Novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, 2006.
Sementara itu, Aceh selepas bencana mahadahsyat--tsunami--seperti menggeliat dan tiba-tiba membangunkan kehidupan kesusastraan di sana menjadi lebih semarak. Sulaiman Tripa, misalnya, kini telah menghasilkan tiga novel, Safiah, Perempuan Perlasia (2003), Malam Memeluk Intan (2007) yang bercerita tentang tragedi tsunami, dan Kala Senja di Gampong Tua sedang dalam persiapan terbit. Para penyair dan cerpenis di sana makin bergiat menerbitkan karya-karya mereka. Ke depan, sangat boleh jadi Aceh akan memberi kontribusi penting bagi perjalanan kesusastraan Indonesia.
Palembang yang dalam satu dasawarsa terkesan redup-senyap dalam ingar-bingar kesusastraan Indonesia, belakangan ini memperlihatkan gairah yang menjanjikan. Para penyair dan cerpenis bermunculan dengan kualitas yang boleh disandingkan dengan sastrawan dari daerah lain. Toton Dai Permana lewat novelnya Angin niscaya akan menyemarakkan peta novel Indonesia. Sebelum itu, Taufik Wijaya telah memperlihatkan talentanya lewat Juaro (Pustaka Melayu, 2005, 164 halaman). Kini, novel berikutnya, Buntung dalam persiapan terbit.
Pengalaman sebagai juri dalam sejumlah sayembara penulisan novel, kerap membawa saya pada satu kesimpulan: tak ada naskah novel yang ditulis sastrawan Lampung. Ke manakah mereka? Apakah penyelenggaraan Krakatau Award sejak 2002 yang berkutat pada puisi dan cerpen itu berdampak juga pada proses kreatif yang lain hingga novel tak tersentuh? Atau, Krakatau Award sesungguhnya representasi dan sekaligus legitimasi atas ketakberdayaan menjamah novel?
Dulu saya agak akrab dengan nama-nama Aan Sarmany Adiel, Ahmad Yulden Erwin, Diro Aritonang, Iwan Nurdaya Djafar, Naim Prahana, Hasanuddin Z. Arifin. Mereka pernah cukup memukau. Saya, bahkan sempat mengagumi Iwan Nurdaya Djafar atas karya-karya terjemahannya yang cantik. Kini, mereka mungkin sedang asyik-masyuk dalam kubangan kemapanan.
Saya mencari Syaiful Irba-Tanpaka yang juga seperti tenggelam di antara nama-nama Ari Pahala, Dahta Gautama, Inggit Putria Marga, Jimmy Maruli Alfian, Lupita Lukman, Oyos Saroso, Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan, dan sederet panjang nama yang di luar jangkauan. Apakah di antara deretan nama itu tak ada satu pun yang punya napas berlebih untuk menulis narasi panjang?
Isbedy yang cerpennya bertebaran sesungguhnya sangat potensial menunjukkan kualitasnya sebagai novelis andal. Coba cermati sejumlah cerpennya. Di sana tersimpan potensi untuk menjadi narasi panjang. Saya kira, Isbedy patut lebih sabar untuk tidak tergesa-gesa menyelesaikan prosanya agar tak sekali jadi.
Iswadi Pratama juga sesungguhnya punya kemampuan yang sama. Penggarapan sejumlah naskah dramanya adalah miniatur novel. Bukankah tindak perbuatan melakukan transformasi naskah drama ke novel pernah dilakukan Putu Wijaya dalam "Bila Malam Bertambah Malam" dan Nano Riantiarno dalam "Primadona"? Kenapa Iswadi tak mau menunjukkan kualitasnya sebagai penulis novel yang andal, meski sesungguhnya ia mempunyai kualitas itu?
Boleh jadi nama-nama yang disebutkan tadi sesungguhnya novelis yang menjanjikan. Boleh jadi pula mereka belum menyadari kualitasnya sendiri, sehingga sudah cukup puas dengan puisi dan cerpen. Meski begitu, tentu saja mereka bebas memilih. Bukankah tak menulis apa-apa pun dan hidup sambil menikmati kemapanan tak berdosa lantaran tak dilarang Tuhan. Bahkan, jika tak ada satu pun novelis Lampung sampai entah kapan, Indonesia tak bakal runtuh dan kehidupan akan tetap berjalan sebagaimana biasa. Kebudayaan dan kesusastraan di Lampung juga tetap akan menggelinding. Hidup tanpa novel, seperti di Papua atau di daerah-daerah terpencil, bukankah tetap berjalan dan tak menimbulkan pemberontakan? Cuma, jika terbit sebuah novel karya sastrawan Lampung, sangat mungkin namanya akan tercatat sebagai perintis, sebagai sang pemula; novelis Lampung pertama!
Sebaliknya, jika novel dipercaya sebagai representasi intelektualitas, sebagai yang melengkapi lanskap peta kesusastraan, sebagai sumbangsih kultural yang membawa nama wilayah masyarakatnya, maka patutlah dipikirkan untuk segera melahirkan novelis(-novelis) andal. Dalam hal ini, pemerintah daerah (pemda) sesungguhnya bertanggung jawab secara kultural, intelektual, bahkan juga moral. Jadi, Pemda mestinya memfasilitasi sastrawan di wilayahnya untuk menulis novel sebagai usaha mengangkat citra, bahwa Pemda Lampung peduli pada kehidupan kebudayaan intelektual. Peradaban dan reputasi bangsa di dunia yang punya sejarah panjang kesusastraan, selalu dibesarkan para novelisnya.
Dalam banyak kasus, hanya wilayah terbelakang yang tak pernah melahirkan novelis? Pemda dan Dewan Kesenian Lampung niscaya sangat menyadari keprihatinan ini. Bangsa besar adalah bangsa yang selalu punya novelis. Novelis lahir dari bangsa yang merasa punya marwah dan martabat sebagai bangsa besar. Apakah Lampung termasuk kategori bangsa besar? Kita lihat saja nanti, bagaimana pemdanya punya perhatian atau tidak atas masalah ini. Di balik kecemasan ini, saya berdoa: semoga pengamatan saya salah!
n Maman S Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 September 2007
SELEPAS saya membolak-balik catatan perjalanan novel Indonesia, sejak sebelum Balai Pustaka sampai sekarang, saya berdoa: semoga pengamatan saya salah. Di sana, tidak ada novel karya sastrawan Lampung! Padahal, Lampung punya sejarah panjang tradisi bersastra. Datang saja misalnya ke Kabupaten Way Kanan. Maka, di daerah itu kita akan menjumpai begitu banyak sastra lisan yang menarik. Bahkan, nyeleneh dibandingkan sastra lisan di daerah lain di Nusantara. Lampung pun punya sejarah aksara sendiri, sejajar dengan aksara Bali, Jawa, Sunda, Melayu dan sejumlah aksara daerah lain di Nusantara. Jadi, secara kultural, wilayah ini punya kekayaan tradisi yang membanggakan. Lalu, mengapa tak ada novelis dari kawasan ini yang mencatatkan diri dalam peta sastra Indonesia? Bukankah selama ini Lampung juga telah dikenal sebagai salah satu poros penting kesusastraan Indonesia?
Sebelum Indonesia merdeka, Balai Pustaka didominasi sastrawan Sumatera dengan Minangkabau yang paling banyak melahirkan sastrawan. Tetapi, ketika itu pun tak ada novelis Lampung di sana. Medan yang lebih jauh dari pusat pemerintahan, malah ikut bermain. Dua di antaranya, Muhammad Kassim dan Suman Hs., meski Suman kemudian hijrah dan menjadi warga Melayu di Riau. Keduanya bahkan dipandang sebagai perintis novel-novel komedi.
Pada dasawarsa 1930-an Medan begitu banyak melahirkan novelis. Terbitnya majalah Pedoman Masyarakat pertengahan tahun 1935-an yang dikelola Hamka dan Helmy Yunan Nasution, ikut menyuburkan penulisan novel. Di majalah itu juga kita dapat menjumpai iklan-iklan novel terbitan sejumlah penerbit Medan. Termasuk juga iklan sayembara penulisan novel (roman). Para novelis Medan ketika itu, cukup populer terutama dalam penulisan novel detektif dan kisah-kisah petualangan (adventure). Beberapa di antaranya, Merayu Sukma, Yusuf Sou'yb, S.M. Taufik, Zalecha, dan Ghazali Hasan. Jalur penerbitan dan distribusi buku Medan, Tebingtinggi, Bukingtinggi, dan Padang memungkinkan perkembangan sastra masa itu bergerak semarak.
Selepas merdeka, Balai Pustaka dikelola dengan kebijaksanaan membiarkan semangat dan ciri keindonesiaan. Pemerintah tak lagi ikut campur dalam soal yang menyangkut tema cerita. Keinginan untuk mempertahankan bahasa Indonesia yang khas Balai Pustaka, juga diperlakukan lebih longgar. Ada kesadaran dari redakturnya untuk mempertahankan unsur bahasa dan kebudayaan daerah yang masuk dalam naskah yang dikirim ke Balai Pustaka. Maka, unsur-unsur bahasa daerah (Sunda dan Jawa) dalam novel Atheis (1949) karya Achdiat Karta Mihardja dan Keluarga Gerilya (1949) karya Pramoedya Ananta Toer dibiarkan bertebaran dalam kedua novel itu.
Akibat kebijaksanaan Balai Pustaka itu, dominasi sastrawan Sumatera mulai pudar. Sastrawan dengan latar budaya Jawa dan Sunda, bermunculan. Meskipun demikian, Minangkabau (sekadar menyebut dua nama: A.A. Navis, Motinggo Boesje) dan Medan (Barus Siregar dan Bokor Hutasuhut) ditambahkan dengan mereka yang kemunculannya setelah hijrah ke Jawa (Mochtar Lubis, Iwan Simatupang, Nasjah Djamin). Palembang, selepas tahun 1950-an, memunculkan nama Bur Rasuanto dan K. Usman.
Sampai kini, poros-poros novel Indonesia di Sumatera itu masih memperlihatkan kontribusinya. Bahkan lebih semarak dibandingkan tahun 1950-an. Sumatera Barat, misalnya, masih merupakan penyumbang terbesar novelis Indonesia. Sekadar menyebut beberapa, Wisran Hadi, Darman Munir, Gus tf Sakai. Riau, selepas Ediruslan P.E. Amanriza, masih ada Sudarno Mahyudin, lalu muncul pula Taufik Ikram Jamil, Abel Tasman, Mohammad Nasir, Olyrinson, Hary B. Kori'un. Bahkan Juli lalu, Rida K Liamsi meluncurkan novel Bulang Cahaya (JP Book Surabaya dan Yayasan Sagang, 2007, 326 halaman), sebuah kisah percintaan Romeo dan Juliet model Melayu yang dikemas dalam bingkai besar terbelahnya keagungan kerajaan Melayu. Belum lagi menyangkut kawasan Kepulauan Riau, Bintan dan Batam, di antaranya, Samson Rambah Pasir dan Tusiran Suseno. Malahan, Tusiran Soseno tercatat sebagai pemenang kedua Lomba Novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, 2006.
Sementara itu, Aceh selepas bencana mahadahsyat--tsunami--seperti menggeliat dan tiba-tiba membangunkan kehidupan kesusastraan di sana menjadi lebih semarak. Sulaiman Tripa, misalnya, kini telah menghasilkan tiga novel, Safiah, Perempuan Perlasia (2003), Malam Memeluk Intan (2007) yang bercerita tentang tragedi tsunami, dan Kala Senja di Gampong Tua sedang dalam persiapan terbit. Para penyair dan cerpenis di sana makin bergiat menerbitkan karya-karya mereka. Ke depan, sangat boleh jadi Aceh akan memberi kontribusi penting bagi perjalanan kesusastraan Indonesia.
Palembang yang dalam satu dasawarsa terkesan redup-senyap dalam ingar-bingar kesusastraan Indonesia, belakangan ini memperlihatkan gairah yang menjanjikan. Para penyair dan cerpenis bermunculan dengan kualitas yang boleh disandingkan dengan sastrawan dari daerah lain. Toton Dai Permana lewat novelnya Angin niscaya akan menyemarakkan peta novel Indonesia. Sebelum itu, Taufik Wijaya telah memperlihatkan talentanya lewat Juaro (Pustaka Melayu, 2005, 164 halaman). Kini, novel berikutnya, Buntung dalam persiapan terbit.
***
Pengalaman sebagai juri dalam sejumlah sayembara penulisan novel, kerap membawa saya pada satu kesimpulan: tak ada naskah novel yang ditulis sastrawan Lampung. Ke manakah mereka? Apakah penyelenggaraan Krakatau Award sejak 2002 yang berkutat pada puisi dan cerpen itu berdampak juga pada proses kreatif yang lain hingga novel tak tersentuh? Atau, Krakatau Award sesungguhnya representasi dan sekaligus legitimasi atas ketakberdayaan menjamah novel?
Dulu saya agak akrab dengan nama-nama Aan Sarmany Adiel, Ahmad Yulden Erwin, Diro Aritonang, Iwan Nurdaya Djafar, Naim Prahana, Hasanuddin Z. Arifin. Mereka pernah cukup memukau. Saya, bahkan sempat mengagumi Iwan Nurdaya Djafar atas karya-karya terjemahannya yang cantik. Kini, mereka mungkin sedang asyik-masyuk dalam kubangan kemapanan.
Saya mencari Syaiful Irba-Tanpaka yang juga seperti tenggelam di antara nama-nama Ari Pahala, Dahta Gautama, Inggit Putria Marga, Jimmy Maruli Alfian, Lupita Lukman, Oyos Saroso, Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan, dan sederet panjang nama yang di luar jangkauan. Apakah di antara deretan nama itu tak ada satu pun yang punya napas berlebih untuk menulis narasi panjang?
Isbedy yang cerpennya bertebaran sesungguhnya sangat potensial menunjukkan kualitasnya sebagai novelis andal. Coba cermati sejumlah cerpennya. Di sana tersimpan potensi untuk menjadi narasi panjang. Saya kira, Isbedy patut lebih sabar untuk tidak tergesa-gesa menyelesaikan prosanya agar tak sekali jadi.
Iswadi Pratama juga sesungguhnya punya kemampuan yang sama. Penggarapan sejumlah naskah dramanya adalah miniatur novel. Bukankah tindak perbuatan melakukan transformasi naskah drama ke novel pernah dilakukan Putu Wijaya dalam "Bila Malam Bertambah Malam" dan Nano Riantiarno dalam "Primadona"? Kenapa Iswadi tak mau menunjukkan kualitasnya sebagai penulis novel yang andal, meski sesungguhnya ia mempunyai kualitas itu?
Boleh jadi nama-nama yang disebutkan tadi sesungguhnya novelis yang menjanjikan. Boleh jadi pula mereka belum menyadari kualitasnya sendiri, sehingga sudah cukup puas dengan puisi dan cerpen. Meski begitu, tentu saja mereka bebas memilih. Bukankah tak menulis apa-apa pun dan hidup sambil menikmati kemapanan tak berdosa lantaran tak dilarang Tuhan. Bahkan, jika tak ada satu pun novelis Lampung sampai entah kapan, Indonesia tak bakal runtuh dan kehidupan akan tetap berjalan sebagaimana biasa. Kebudayaan dan kesusastraan di Lampung juga tetap akan menggelinding. Hidup tanpa novel, seperti di Papua atau di daerah-daerah terpencil, bukankah tetap berjalan dan tak menimbulkan pemberontakan? Cuma, jika terbit sebuah novel karya sastrawan Lampung, sangat mungkin namanya akan tercatat sebagai perintis, sebagai sang pemula; novelis Lampung pertama!
Sebaliknya, jika novel dipercaya sebagai representasi intelektualitas, sebagai yang melengkapi lanskap peta kesusastraan, sebagai sumbangsih kultural yang membawa nama wilayah masyarakatnya, maka patutlah dipikirkan untuk segera melahirkan novelis(-novelis) andal. Dalam hal ini, pemerintah daerah (pemda) sesungguhnya bertanggung jawab secara kultural, intelektual, bahkan juga moral. Jadi, Pemda mestinya memfasilitasi sastrawan di wilayahnya untuk menulis novel sebagai usaha mengangkat citra, bahwa Pemda Lampung peduli pada kehidupan kebudayaan intelektual. Peradaban dan reputasi bangsa di dunia yang punya sejarah panjang kesusastraan, selalu dibesarkan para novelisnya.
Dalam banyak kasus, hanya wilayah terbelakang yang tak pernah melahirkan novelis? Pemda dan Dewan Kesenian Lampung niscaya sangat menyadari keprihatinan ini. Bangsa besar adalah bangsa yang selalu punya novelis. Novelis lahir dari bangsa yang merasa punya marwah dan martabat sebagai bangsa besar. Apakah Lampung termasuk kategori bangsa besar? Kita lihat saja nanti, bagaimana pemdanya punya perhatian atau tidak atas masalah ini. Di balik kecemasan ini, saya berdoa: semoga pengamatan saya salah!
n Maman S Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 September 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)