May 11, 2008

Apresiasi: 'Pang Lipandang' dalam Gesekan Taman Suropati Chamber

IRAMA gesekan biola membius pengunjung gedung Wisata Makanan, JaCC, Tanah Abang, Jakarta, Sabtu, (2-5) pukul 19.00. Lagu daerah Lampung, Pang Lipandang, menjadi salah satu nomor spesial karena dikemas apik dalam simponi gesek yang amat lembut.

'Pang li pandang, pak lipang dang kik lidang, pang li pandang di pandang kaya nian....'

Bukan saja gesekan biolanya yang terdengar apik dan menghanyutkan, tetapi juga secara khusus lagu Lampung itu dimainkan oleh Ages Dwi Harso, pimpinan Komunitas Musik Taman Suropati Chamber. "Ini persembahan khusus untuk Lampung," kata Ages yang malam itu mengenakan pakaian daerah. Malam itu Lampung memang tersanjung.

Pergelaran yang melibatkan 50-an peserta musik gesek itu diberi tajuk Konser Musik Lagu Daerah, Persembahan untuk Ibu Pertiwi. Dan, inilah konser pertama Komunitas Suropati dengan mengambil momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Hampir seluruh lagu daerah yang merupakan kekayaan seni Tanah Air, yang mulai dilupakan pemiliknya sendiri, diperdengarkan dalam konser malam itu. Karenanya konser malam itu menjadi amat menyentuh, seperti menghadirkan kembali miliknya sendiri yang telah lama hilang.

Surapati Chamber lalu secara ganti-berganti mengalunkan lagu Sirih Kuning, disambung Bungong Jeumpa, Varia Jawa, Bolelebo, Burung Kaka Tua, Anak Kambing Saya, dan Manuk Dadali yang dimainkan amat kompak dan dengan spirit kebhinekaan yang kental. Lagi-lagi, decak kagum pengunjung dan riuh tepuk tangan menyambutnya.

Ratusan pengunjung pun--meskipun mereka penduduk Jakarta, mereka berasal dari berbagai daerah--seperti bernostalgia kembali mendengarkan lagu-lagu yang hampir dilupakan itu. Mereka terhanyut dan secara spontan ikut menyanyikan lagu-lagu itu. Bahkan, jika ada irama yang dinamis, pengunjung pun ikut menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu.

Dengan diselingi happening art oleh seorang penari dengan iringan gesekan maut biola seorang violis, konser kemudian menuntaskan sejumlah lagu: Selayang Pandang, Timpak Timpung, dan Hella Rotane. Menjelang lagu pamungkas, Sing Sing So dari Tanah Batak dinyanyikan secara khusus oleh Prof Payaman J Simanjuntak, anggota komunitas itu. Secara spontan para orangtua yang mengenakan ulos pun mengiringinya dengan gerak manortor.

Akhirnya, konser semakin berenergi ketika hadir bintang tamu, Nugie, yang dengan atraktif menyanyikan (sambil menari) lagu Papua, Yamko Rambe Yamko. Iringan musik gesek yang ditimpa perkusi pun menjadikan harmoni bunyi yang kian rancak.

"Bangsa yang besar, bangsa yang menghargai kekayaan budaya, kepada anak-anakku tercinta, yang sudah menjaga budaya bangsa Indonesia," kata Setiawan Djodi ketika jeda. Ia memberikan apresiasi tinggi pada pementasan Komunitas Musik Taman Suropati Chamber itu.

Cucu tokoh pergerakan Dr. Wahidin Sudiro Husodo itu, kemudian mengemukakan keprihatinannya terhadap ketidakpedulian kita terhadap seni tradisi yang dibiarkan punah. Sebab, katanya, bangsa mana pun, tak akan bisa besar tanpa menghargai miliknya sendiri. Ia menyebut Jepang dan China yang kini menjadi contoh bangsa yang menghargai kultur bangsanya sendiri.

"Selain dapat menumbuh-kembangkan apresiasi terhadap seni musik dan budaya bangsa, Komunitas Suripati juga sekaligus menumbuhkan bakat-bakat pemain musik remaja muda yang andal dan mencintai hasil karya budaya bangsa Indonesia," timpal Direktur Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kementrian Negara Perencanaan dPembangunan Nasional, Dadang Rizki.

Persembahan malam itu selain didukung oleh Lampung Post, Metro TV, dan Media Indonesia, juga oleh Pemerintah Provinsi Lampung. Keterlibatan pers menjadi amat penting karena lagu-lagu daerah kerap dipandang sebelah mata oleh publiknya sendiri.

Karena itu, kepedulian Komunitas Musik Gesek Taman Suropati, mestinya harus mendapat apresiasi. Yang menjadi menarik, inilah komunitas musik pertama, khsusnya di Jakarta, yang memilih taman sebagai tempat bermain. Menurut Ages, kini sudah ada permintaan untuk membuat komunitas serupa di beberapa taman. Bulan Juni nanti komunitasnya juga diminta main di istana presiden.

Komunitas Suropati yang berdiri tahun lalu itu setiap minggu (pukul 11.00--15.00) bermain di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka bermain di alam terbuka. Sifat keterbukaannya itulah yang menjadi ciri khas, termasuk dalam hal menerima anggota.

Anggota Komunitas Suropati bisa datang dari mana saja dan dari berbagai kelompok usia. Karena itu anggota komunitas amat beragam: murid SD, SMP, SMA, mahasiswa, pengamen, dan mereka yang sudah bekerja. "Syaratnya sederhana, punya alat musik gesek dan punya spirit kebangsaan," kata Ages yang telah beberapa kali diundang ke luar negeri karena aktivitasnya bermusik.

Dengan main di alam terbuka, Komunitas Taman Suropati mempunyai spontanitas yang tinggi. "Misalnya ketika jenazah mantan Presiden Soeharto melintas, mereka spontan membawakan lagu Gugur Bunga," tutur Ny Rita Zahara, salah satu orang tua yang anaknya ikut dalam komunitas itu.

Dalam komunitas itu peran orangtua sangat menentukan. Sebab, para orangtualah umumnya yang meyakinkan kepada anak-anaknya tentang betapa pentingnya musik daerah. "Tanpa kepedulian dan pengorbanan yang tinggi, kami tak bisa jalan. Karena, kami kan harus meninggalkan waktu untuk keluarga setiap hari Minggu. Pengorbanan ini kalau tidak ada pemahaman keluarga akan sulit," kata Ny Rita lagi.

Justru karena melibatkan para orangtua, suasana Komunitas Suropati menjadi penuh kekeluargaan. "Prinsipnya masing-masing dari kami bisa menyumbangkan apa yang kami miliki. Tidak harus materi," kata Bambang, anggota komunitas yang telah berusia, tetapi punya spirit yang menggelora.

Contoh yang paling kongkret ketika latihan menjelang konser. Para orangtua berbagai tugas untuk konsumsi 50-an anggota. "Setiap latihan kami berbagi tugas membawa konsumsi. Ini supaya menghemat, tidak beli di luar," kata orangtua lain, Ny Indah. Ia mengungkapkan, anaknya yang baru kelas IV SD merasa amat happy di Komunitas Suropati karena atmosfer kekeluargaannya yang kental.

Bahkan, Konser Musik Lagu Daerah Persembahan untuk Ibu Pertiwi malam itu, sesungguhnya tak akan bisa berjalan tanpa para orangtua. Mereka benar-benar "jungkir balik": mengurus izin konser, gedung, menghubungi para undangan, mencari sponsor, memasang spanduk, dan tetek bengek lainnya. Para orangtua amatiran itu ternyata juga mampu bekerja maksimal dan profesional. Dan, konser malam itu, benar-benar kian menggelorakan anggota komunitas untuk terus menyanyikan lagu-lagu daerah. Justru karena industri musik hanya peduli pada lagu-lagu masa kini yang amat komersial.

"Sebuah konser yang mengharukan, karena ternyata itu perjuangan para orangtua yang tak kenal lelah," kata Ny To Sei, seorang pengunjung yang malam itu merasa amat bahagia menikmati lagu-lagu daerah. JUNIARDI/S-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Mei 2008

1 comment:

  1. Anonymous3:06 AM

    Selamat atas suksenya Komunitas Biola Taman Suropati.
    www.kursusbiola.co.nr

    ReplyDelete