May 16, 2008

Kriminalitas di Lampung: Berawal karena Kolonisasi

PEMBERITAAN mengenai tindak kejahatan dengan pelaku kejahatan asal Lampung di luar Lampung ataupun di wilayah Lampung sangat marak akhir-akhir ini. Sebagai provinsi termiskin kedua di Sumatera, ternyata dorongan memenuhi kebutuhan ekonomi bukan satu-satunya alasan pelaku kejahatan asal Lampung melakukan kejahatan di Lampung dan di luar Lampung.

Truk dan kendaraan melintas pelan di jalan lintas timur (jalintim) ruas Pidada, Bandar Lampung, pertengahan Februari 2008. Di ruas jalan nasional itu kerusakan berupa lubang lebar dan dalam terjadi secara terpisah-pisah namun merata sepanjang 500 meter. (KOMPAS/HELENA F NABABAN)

Timbulnya kriminalitas atau angka kejahatan di Lampung berhubungan erat dengan masa awal pembukaan dan pengembangan Lampung. Apalagi, di masa selanjutnya, pengembangan Lampung yang tidak disertai dengan distribusi pembangunan yang merata di semua wilayah.

Saksi sejarah kolonisasi Lampung, Raja Bastari Wijaya Sinungan (73), dalam sebuah wawancara awal Mei lalu, kepada Kompas menjelaskan, berbicara mengenai tindak kriminalitas di Lampung harus dirunut ke belakang saat Pemerintah Belanda mulai membuka Lampung.

”Tindak kriminalitas tidak semata-mata terjadi karena dorongan memenuhi kebutuhan ekonomi. Ada faktor pendorong lain yang secara signifikan membedakan penyebab kriminalitas yang dilakukan penduduk Lampung bersuku Jawa dan bersuku Lampung asli,” ujar Sinungan.

Sinungan menuturkan, bagi penduduk Lampung bersuku Jawa—masyarakat Lampung asli menyebut mereka Lampung baru—tindak kejahatan tidak dimulai saat penduduk Lampung baru datang ke Lampung, melainkan sesudah mereka datang dan menetap cukup lama di Lampung.

Tahun 1900-an dikenal sebagai era Pemerintah Belanda giat membangun dan mengembangkan perkebunan di wilayah Sumatera. Pemerintah Belanda menilai wilayah Lampung dengan kondisi tanah yang subur sangat tepat dikembangkan menjadi perkebunan karet.

Rencananya, perkebunan karet itu hendak dikembangkan di wilayah Rotterdam, wilayah itu sekarang menjadi wilayah Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, dan di Bergen yang sekarang dikenal sebagai Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Wilayah calon perkebunan itu terletak di sepanjang Sungai Way Sekampung yang mengalir dari wilayah barat ke timur Lampung.

Perkebunan

Belanda mendatangkan banyak masyarakat Jawa ke Lampung tahun 1905 sebagai buruh perkebunan karet dan langsung menempatkan mereka di Kolonisasi Gedong Tataan atau kolonisasi pertama. Mereka merupakan penduduk yang dikategorikan Belanda sebagai aktivis pergerakan politik waktu itu, yaitu Jong Java, dan membahayakan pemerintahan sehingga perlu disingkirkan. Mulai tahun 1905, era kolonisasi di Lampung pun mulailah.

Sebagai calon buruh perkebunan, Pemerintah Belanda tidak melengkapi penduduk Jawa yang dipindah ke Lampung dengan peralatan atau perbekalan layaknya transmigran pada era Orde Baru. Penduduk Jawa yang dipindah ke Lampung harus bisa mempertahankan hidup dengan bekal yang dibawa dari Jawa. Di Lampung mereka membuka lahan dan membangun rumah dan pertanian sendiri.

Penduduk Jawa yang dipindah ke Lampung akhirnya mampu membangun perkebunan dengan kondisi permukiman yang utuh. Pada perkembangannya, mereka minta kepada Pemerintah Belanda untuk tidak menjadikan mereka sebagai buruh perkebunan. Melihat sumber air yang melimpah, mereka minta izin kepada Pemerintah Belanda untuk membangun irigasi dan membangun sawah.

Situasi mantap itu mendorong Pemerintah Belanda mengembangkan wilayah perkebunan Bergen tahun 1928. Pemerintah Belanda kembali mengumpulkan masyarakat Jawa untuk didatangkan ke Lampung sebagai buruh perkebunan.

Kali ini bukan masyarakat yang aktif di pergerakan politik, melainkan masyarakat yang memiliki latar belakang meresahkan masyarakat yang dikumpulkan. Di Jawa mereka terbiasa melakukan judi, minum minuman keras, mencuri, ataupun tindakan-tindakan yang meresahkan. ”Namun, saat itu masyarakat asli Lampung tidak diberi tahu mengenai jati diri asli penduduk Jawa yang didatangkan pada kolonisasi kedua itu,” ujar Sinungan.

Dengan alasan mendatangkan mereka sebagai buruh perkebunan, kepala-kepala marga di Lampung mengizinkan penduduk Jawa gelombang kedua untuk menempati tanah-tanah adat milik masyarakat asli Lampung yang diminta Belanda. Mereka ditempatkan di lokasi kolonisasi yang dikenal sebagai Kolonisasi Sukadana atau yang sekarang disebut sebagai ibu kota Kabupaten Lampung Timur dan diatur oleh seorang mantri kolonisasi.

Kedatangan penduduk Jawa itu membuat penduduk asli Lampung minggir ke arah sungai. Dalam kelompok-kelompok marga, masyarakat asli Lampung bermukim di sepanjang sungai yang melintas di wilayah Lampung di antaranya di Jabung dan Labuhan Maringgai, Lampung Timur.

Sistem hidup dengan cara berkelompok juga dilakukan penduduk Lampung baru. Mereka tinggal berkelompok di lokasi Kolonisasi Sukadana. Hanya saja, saking luasnya lokasi tersebut, kelompok-kelompok itu tersebar dan tidak memunculkan sikap gotong royong.

Transfer penduduk Jawa ke Lampung terus terjadi dari 1928 hingga 1930. Di Kolonisasi Sukadana ada satu kelompok yang dianggap gagal, yaitu kelompok yang tinggal di wilayah yang disebut Gedung Wani atau yang sekarang terletak di wilayah Way Jepara, Lampung Timur. Lokasi tersebut menghubungkan Jabung dengan Sukadana.

Kolonisasi baru

Lokasi kolonisasi yang baru itu terletak di Lampung Tengah sekarang, yaitu mulai dari Bumi Jawa mengarah ke barat hingga di Tegineneng. Lokasi itu diapit dua sungai besar, Way Rahman dan Way Sekampung. ”Dari sini berubahlah nama Kolonisasi Sukadana menjadi Kolonisasi Gedung Dalam,” ujar Sinungan.

Kolonisasi Gedung Dalam cukup luas dan mencakup 70 kelompok. Ke-70 kelompok tersebut merupakan percampuran penduduk Jawa yang didatangkan hingga 1937 serta penduduk yang sudah datang pada Kolonisasi Sukadana. Ke-70 kelompok itu akhirnya berkembang menjadi desa dan berkembang lagi menjadi kecamatan.

Mulai dari Kolonisasi Gedung Dalam tersebut, lanjut Sinungan, terutama ketika penduduk dari Pulau Jawa sudah mapan, segala bentuk kejahatan yang dilakukan Lampung baru marak. ”Kalau Kolonisasi Sukadana boleh saya katakan cukup bersih dari kejahatan. Namun untuk Kolonisasi Gedung Dalam, inilah era munculnya bentuk-bentuk kejahatan itu,” kata Sinungan.

Apabila dirunut, penduduk dari Pulau Jawa yang didatangkan pada dua kolonisasi terakhir sejatinya sudah memiliki bibit 5M atau singkatan dari bahasa Jawa minum, main, madat, madon, dan maling. Itu adalah istilah dalam masyarakat Jawa untuk menyebut perilaku tidak benar seperti suka minum minuman keras, suka berjudi, suka mengisap candu, suka bermain perempuan, dan mencuri. Sejak itu, segala bentuk kejahatan mulai terjadi.

Hal tersebut dibenarkan oleh tokoh masyarakat Metro yang sangat memahami seluk-beluk aksi kejahatan dan pelaku di wilayah Metro dan Lampung Timur namun tidak bersedia disebut namanya. Ia mengatakan, sebelum kedatangan penduduk dari Pulau Jawa, bisa dikatakan Lampung merupakan tempat yang paling aman.

Selain tanah sangat subur, penduduk juga hanya sedikit. Penduduk yang sangat sedikit itu tinggal dalam kelompok marga dengan keadatan dan keislaman yang kuat. Kehidupan masyarakat Lampung betul-betul enak. Mereka tidak perlu bersusah payah bekerja. Untuk hidup, mereka tinggal memetik kopi atau lada yang ditanam nenek moyang. Hidup mereka sangat nyaman sehingga mereka tidak mungkin berbuat jahat.

”Bisa dikatakan, Lampung sebelum kolonisasi sangat aman dan kaya. Namun akhirnya kekayaan alam itulah yang nantinya jadi bumerang,” kata tokoh masyarakat yang juga turunan kedua kolonisasi 1928 tersebut.

Hal yang memungkinkan terjadi perubahan sikap hidup masyarakat Lampung adalah pergeseran tata nilai. Pergeseran tata nilai itu terjadi begitu saja, tepatnya setelah kolonisasi mantap pada tahun 1930-1940.

Pada tahun-tahun itulah penduduk asli Lampung baru mengenal kejahatan. Sikap jahat itu mereka pelajari dari pendatang dari Pulau Jawa.

Selama kolonisasi, penduduk dari Pulau Jawa datang tanpa modal. Mirip seperti seleksi alam, penduduk yang ulet akan berhasil, yang tidak ulet akan gagal.

Dari komunitas yang bercampur tadi, di antaranya termasuk kelompok masyarakat Jawa yang memiliki bibit sikap jahat dan lantas mendirikan sindikat-sindikat. Sindikat itu bisa terdiri atas kelompok asal Pulau Jawa atau campuran Jawa-Lampung dan mereka berbuat jahat untuk mempertahankan hidup.

Kemunculan sindikat-sindikat itu dibarengi dengan perubahan tata nilai pada masyarakat Lampung yang sangat signifikan.

Masyarakat Lampung dianugerahi kehidupan yang enak dan cenderung menjadikan mereka hidup dalam kehidupan adat berbiaya tinggi. Sementara masyarakat Jawa tergolong ke dalam masyarakat yang harus bekerja keras. (hln/wad)

Sumber: Kompas, Jumat, 16 Mei 2008

No comments:

Post a Comment